Tak Maksimalkan Fungsi Intelijen

Selasa, 04 Desember 2012 – 10:26 WIB
INSTRUKSI Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) supaya aparat pemerintahan aktif memantau media sosial menjadi perdebatan banyak kalangan. Tujuannya sebagai antisipasi supaya pemerintah tidak terlambat dalam mengatasi setiap gejolak di masyarakat. Apakah ini pertanda SBY tidak lagi percaya dengan fungsi intelijen?
--------
Pengamat sosial Arie Sudjito menilai, instruksi tersebut hanya langkah taktis yang harus diambil presiden dalam rangka memastikan tidak munculnya koflik yang berkelanjutan di tengah-tengah masyarakat. "Itu memang perlu dilakukan, karena melihat situasi belakangan (berbagai konflik) itu harus ada tindakan cepat dari para pemegang kebijakan daerah setempat," ungkap akademisi dari UGM Jogkakarta tersebut kepada INDOPOS.

Arie menjelaskan, dengan situasi warga yang rentan terprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan udah sepatutnya para kepala daerah semakin peka terhadap kondisi sosial di daerah yang dipimpinnya. Setidaknya dengan sering memantau perkembangan informasi seputar isu-isu konflik darimedia massa.

"Tapi, instruksi itu saya kira bukan untuk membatasi gerak media, karena bukan itu substansinya. Tapi, lebih pada bagaimana aparatur daerah lebih sensitif melihat kondisi sosialnya ketika ada pemberitaan yang mengarah pada munculnya konflik di daerah setempat," urainya.

Seperti diketahui, dalam pidatonya di depan para kepala daerah, Pangdam dan Kapolda seluruh Indonesia beberapa awaktu lalu, SBY mengaku mengikuti konflik dan kekerasan terjadi di banyak tempat, termasuk dari pemberitaan media. Ia meminta  para bupati, para Wali Kota, Gubernur dengan jajaran kepolisian setempat, terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan media massa dan aktif memantau media sosial lainnya.

"Jangan sampai keadaan menjadi gawat, menjadi lebih runyam, lebih membara karena pemberitaan yang tidak tepat, pemberitaan yang tidak semestinya. Pers pun juga punya etika, punya kode etik, sayang kepada bangsa dan negaranya. Kalau pemberitaannya tidak tepat, membikin makin keras, makin berdarah, itu kekerasan dan konflik komunal yang ada di tempat-tempat di wilayah Indonesia," kata SBY.

Menurut Arie, tidak menampik bahwa munculnya instruksi tersebut juga dikarenakan tingkat kepercayaan kepala negara atas kinerja intelijen di daerah. "Memang salah satunya itu, kurang percaya dengan kinerja intelijen, apalagi laporan intelijen belakangan ini kan sering tidak valid," tandasnya.

Namun, menurut pengamat militer dan intelijen, Al Araf, arahan tersebut ganjil. ”Memantau seperti apa yang dikehendaki, menurut saya itu tidak perlu. Yang utama adalah menghindari tindakan represif yang biasa dilakukan aparat,” ucap Al Araf kepada INDOPOS, Jumat (30/11).

Sejauh ini, dari pengamatannya pemerintah sudah mempunyai data konflik di setiap daerah. Mereka sudah memiliki pemetaan daerah mana saja yang disinyalir sangat rawan akan konflik. Selain itu, daerah biasanya juga sudah hafal dengan karakteristik masyarakat, sehingga kenapa masih meminta untuk memantau media sosial dan pers. “Justru banyak kepala daerah yang memicu konflik, misalkan seperti kasus Ahmadiyah,” bebernya.

Seperti diketahui, dalam beberapa kasus kekerasan di tanah air, pemerintah dinilai selalu terlambat dalam melakukan antisipasi. Fungsi intelijen yang lemah dituding sebagai penyebab terlambatnya antisipasi pemerintah. Namun, pihak intelijen sendiri berdalih bahwa pihaknya tidak pernah terlambat dalam memasok informasi ke aparat terkait.

Hanya yang menjadi masalah adalah, pemilik kekuasaan untuk melakukan eksekusi atas informasi yang selalu lamban mengambil keputusan. Sehingga, ketika kerusuhan meledak dan pemerintah terlambat, intelijen yang dijadikan kambing hitamnya.

Ia menambahkan tidak ingin berspekulasi terlalu jauh soal pernyataan makna memantau dari Presiden SBY, namun sambungnya arahan itu jelas tidak diperlukan. Soal peran intelijen, pihaknya menegaskan bukannya SBY sudah tidak percaya lagi dengan Badan Intelijen yang biasa memasok informasi kepadanya, tetapi tindakan represif yang dilakukan aparat yang justru perlu diawasi. “Tugas intelijen sudah bagus yakni memasok informasi dan data kepada pihak yang berkepantingan. Itu sudah cukup,” tukasnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat intelijen lainnya, Wawan H Purwanto. Namun ia bersikap lebih bijak dengan memandang imbauan tersebut sebagai tindakan preventif untuk mengurangi potensi konflik di sejumlah daerah yang marak belakangan. Pasalnya dari media sosial dan pers perkembangan atau update berita setiap waktu bisa dilihat dan dapat dipelajari. “Itu imbauan biasa saja, mungkin dari media sosial informasi konflik lebih cepat diketahui dan bisa dicegah,” katanya saat dihubungi INDOPOS, Jumat (30/11).

Sementara itu, anggota Komis I DPR–RI Teguh Juwarno mengaku tidak habis pikir dengan arahan presiden tersebut. Dirinya menilai hal tersebut terlalu berlebihan mengingat peran dan fungsi media sosial yang ada saat ini sudah sangat masif di tenagh masyarakat. “Saya juga tidak paham apa maksudnya. Kalau konteksnya soal keamanan negara kan sudah ada BIN dan jajaran intelkam di kepolisian. Menurut saya respon SBY terhadap perkembangan sosial media jangan berlebihan lah,” ujar Teguh pada INDOPOS, kemarin, (30/11).

Lebih lanjut, Teguh juga menjelaskan, pihak istana sebaiknya bisa lebih pro aktif dalam memantau perkembangan sosial media, dengan lebih fokus menyerap aspirasi masyarakat  yang bersuara lewat media sosial. Bukan malah terkesan alergi dan diminta untuk diawasi.

“Di era demokrasi ini justru media sosial ini menjadi kekuatan pengimbang atau pilar ke 5 demokrasi yang sekaligus mengimbangi media mainstream yang sudah ada. Media sosial juga bisa artikan sebagai sarana lain masyrakat bisa bersuara bebas, jadi kenapa harus diawasi ketat, bukan malah disikapi dengan bijak?,” tandas Sekertaris Fraksi PAN ini.

Sementara itu, pengamat politik dan ekonomi Ichsanurdin Noersy menilai SBY atau pihak istana gagal menyikapi perkembangan media sosial yang ada. Bukanya malah menjadikan sebagai alat istana untuk mensosialisasikan kebijakan dan jembatan komunikasi dengan seluruh masyarakat luas. Justru malah terkesan dianggap sebagai musuh yang harus awasi.

”SBY harus belajar dari Obama, Lihat Obama bersama stafnya mereka bisa mendayagunakan jutaan email pendukung dan akun twitter serta face book untuk tetap mendukungnya. Bahkan, Obama menggunakannya guna menghadapi partai Republik di parlemenya, terutama untuk soal Fiscal Cliff dan penggunaan reservasi minyak,” tegasnya pada INDOPOS, kemarin.

Hal ini, lanjutnya, sangat berbanding terbalik dengan SBY yang hanya terkesan tak peduli dengan milis, twitter, dan facebook yang terkesan menyerang personal dirinya, bukan untuk soal bangsa ke depan.

”Saya pikir di sinilah letak kegagalan istana, SBY tidak termasuk pemimpin yang melindungi pengikut atau rakyatnya, kemudian SBY juga bisa dinlai gagal dalam mencerdaskan dan menyejahterakan, justru malah lebih asik untuk mengambil sikap berseberangan dengan terus memberikan instruksi pengawasan,” pungkasnya. (ris/sar/dms)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Istri Bupati Garut Akan Mengadu ke Komnas Perempuan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler