jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengatakan Indonesia relatif aman dari resesi ekonomi yang diperkirakan terjadi pada akhir 2023 atau awal 2024.
Namun, kata Hasran hal itu bisa terwujud jika pemerintah menerapkan kebijakan makro yang responsif, seperti pengendalian inflasi,
BACA JUGA: Ketidakpastian Potensi Resesi Ekonomi Bikin Harga Emas Cukup Menarik
"Misalnya saja, untuk mengontrol inflasi, Indonesia tidak hanya menggunakan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI, tapi juga dibarengi dengan menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar dan di tingkat petani," kata Hasran seperti dikutip dari Antara, Senin (23/2).
Resesi ekonomi adalah memburuknya kondisi perekonomian negara selama dua kuartal berturut-turut yang ditandai dengan penurunan produk domestik bruto (PDB), meningkatnya pengangguran, dan penurunan produktivitas di sektor riil.
BACA JUGA: Bos BRI Sebut Peluang Resesi Indonesia Cuma 3 Persen
"Penyebab utama resesi ekonomi kali ini adalah naiknya suku bunga bank sentral negara-negara kekuatan utama dunia sebagai upaya menekan inflasi," ujarnya.
Menurutnya, dampak kebijakan makro yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan inflasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi terlihat dari tingkat inflasi Indonesia yang berada di kisaran lima persen sepanjang 2022 dengan tingkat suku bunga acuan kisaran 5,5 persen.
Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di kisaran 30,1 persen, jauh dari batas aman 60 persen yang ditetapkan dalam undang-undang.
Cadangan devisa Indonesia juga berada dalam kategori aman, yakni setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Kendati demikian, sektor perdagangan masih sangat mungkin terdampak resesi global sehingga bisa menghentikan surplus neraca perdagangan yang sempat diraih Indonesia sejak awal 2020.
Surplus yang disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan crude palm oil (CPO) akan terhenti karena penurunan permintaan dan harga untuk komoditas tersebut di pasar global.
Kondisi itu akan membuat industri membayar biaya bunga pinjaman yang lebih tinggi. Oleh karena itu, untuk meminimalisir hal tersebut, industri akan lebih memilih mengurangi produksinya dan mengurangi jumlah tenaga kerja.
"Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli karena masyarakat akan memprioritaskan konsumsinya pada hal-hal yang dianggap penting. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor-sektor terkait," pungkas Hasran.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul