jpnn.com - Warga Rote, NTT, memanfaatkan lontar untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang. Tumbuh liar, upaya membudidayakannya selalu gagal.
BAYU PUTRA, Rote Ndao
BACA JUGA: Rakyat Rote Tunggu Janji, Bima Fanggidae Siap Buka Mata Jokowi
DENGAN cekatan Dominggus Koen memanjat pohon setinggi 12 meter di depan rumah itu. Lantas mengambil daun yang telah kering untuk mewadahi nira hasil sadapan.
Nira itu akan diolah menjadi gula lempeng untuk dijual. Hasil penjualannya digunakan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Artinya, di hari itu, pada akhir Agustus lalu, Dominggus, istri, serta ayah dan ibunya yang tinggal di rumah sederhana di Kampung Oedai, Kabupaten Rote Ndao, tersebut bisa makan.
’’Urusan perut, kami tak pernah khawatir. Selama masih ada lontar,’’ kata Daniel, sang ayah.
Lontar, atau di Jawa dikenal sebagai siwalan, memang roh keseharian warga kabupaten paling selatan Indonesia itu. Rote bahkan punya nama lain Nusa Lontar.
Meski, sebenarnya tanaman tersebut juga bisa ditemukan di bagian Nusa Tenggara Timur yang lain seperti Pulau Timor dan Pulau Sabu.
Bagi warga Rote Ndao, juga Sabu Raijua, nyaris tak ada bagian dari pohon-pohon yang tumbuh liar itu yang terbuang.
Dari tanaman yang masuk spesies Borassus flabellifer tersebut, bisa dibilang kebutuhan pangan, papan, dan sandang terpenuhi.
Mengutip situs Universitas Atma Jaya, Jogjakarta, daun tanaman yang umumnya tumbuh di daerah kering itu bisa dimanfaatkan sebagai media penulisan naskah. Juga bahan kerajinan semacam kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan, dan alat musik.
Tangkai dan pelepah pohon yang memiliki nama berbeda-beda di tiap daerah tersebut dapat menghasilkan sejenis serat yang baik. Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat, keras, dan berwarna kehitaman.
Kayu tersebut kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan.
Karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) dapat disadap untuk menghasilkan nira (legen).
Nira itu dapat diminum langsung sebagai legen (nira). Dapat pula dimasak menjadi gula. Atau difermentasi menjadi tuak.
Keluarga Daniel Koen bisa jadi contoh tentang betapa pentingnya lontar bagi warga Rote Ndao. Sudah 22 tahun dia bersama istri, Sarai Manafe, tinggal di rumah yang mereka sebut rumah daun.
Dinding dan atapnya dari lontar. Pagar halaman rumah yang juga ditempati anak pertamanya, Dominggus, bersama istri, Meri Mero, tersebut memanfaatkan pula tangkai daun lontar. Di halaman itulah beberapa pohon lontar tumbuh liar.
’’Orang Rote sejak dia lahir tidak dikasih susu, tapi langsung gula air hasil lontar,’’ terang tokoh masyarakat adat Rote Arkhimes Molle.
Meski berbentuk cair, gula air dapat dibilang merupakan makanan pokok bagi masyarakat tradisional di Rote.
Bila di Jawa ada ungkapan belum makan kalau bukan nasi, di kalangan masyarakat tradisional Rote, idiom yang sama digunakan untuk gula air.
Minuman itu berasal dari nira lontar yang diolah hingga kental seperti sirup. Untuk menyajikannya, tinggal dicampur dengan air. Lalu diminum.
’’Seorang pria dewasa di Rote sanggup bekerja di ladang seharian hanya dengan sarapan dua gelas gula air,’’ ungkap Molle yang juga mantan anggota DPRD Rote Ndao.
Litbang Kementerian Pertanian pernah merilis bahwa nira lontar memiliki kandungan glukosa 10,96 persen atau hampir 11 persen.
Nira lontar juga mengandung sukrosa 13–18 persen. Juga, sedikit protein dengan kandungan 0,28 persen.
Karena itu, seperti juga Daniel, Molle tidak khawatir dengan tingkat kemiskinan di Rote Ndao yang masih tinggi. Kepada Jawa Pos, Bupati Rote Ndao Leonard mengatakan mencapai 26 persen.
’’Mungkin mereka memang miskin. Tapi, selama ada lontar, mereka tidak akan kelaparan,’’ lanjut Molle.
Topi Ti’i Langga yang menjadi simbol kebesaran laki-laki di Rote juga dianyam dari daun lontar. Sampai dengan puluhan tahun silam, setiap rumah di Rote dipastikan memiliki topi tradisional tersebut.
Begitu pula sasando. Alat musik tradisional Rote yang sudah mendunia tersebut terbuat pula dari daun lontar.
Sasando merupakan sarana hiburan bagi warga tradisional rote. Mengiringi mereka ketika berkumpul dan bernyanyi bersama sehingga timbul kebersamaan.
Masyarakat tradisional Rote juga mengolah lontar menjadi sopi, tuak khas dari pulau tersebut. Kandungan alkoholnya lebih dari 40 persen.
’’Sekarang juga banyak yang diolah menjadi alkohol medik dengan kandungan 90 persen,’’ tutur Molle.
Belakangan, penggunaan sopi semakin dibatasi untuk mencegah dampak buruk minuman beralkohol.
Hanya dihidangkan pada acara-acara adat. Di acara-acara seperti itu, sopi dianggap memberikan kekuatan dalam mengambil keputusan.
Ada satu aturan tidak tertulis dalam pemanfaatan lontar. Masyarakat Rote hanya boleh mengolah lontar yang tumbuh di halaman rumah sendiri.
Masa produktif lontar bisa mencapai 50 tahun. Tapi, lontar baru bisa menghasilkan nira setelah berusia minimal 15 tahun. Bila dianggap sudah terlalu tua, lontar bakal ditebang untuk dijadikan bahan bangunan.
Belakangan, seiring perkembangan zaman, masyarakat Rote yang benar-benar memanfaatkan lontar secara keseluruhan semakin berkurang.
Rumah daun seperti yang ditempati keluarga Daniel Koen, misalnya, sudah banyak digantikan rumah seng. Itu sebutan untuk rumah berdinding batu atau kapur dan beratap seng.
Di sisi lain, Molle menuturkan, saat ini sudah banyak pengusaha kayu dari luar Rote yang justru memanfaatkan lontar. Pohon-pohonnya ditebangi untuk dijual menjadi bahan bangunan.
Meski demikian, sepengetahuan Molle, Rote tak perlu cemas bakal kehabisan lontar. Ada fenomena yang disebutnya sebagai anugerah Tuhan bagi Rote.
Berapa pun banyaknya lontar yang ditebang, seakan tidak pernah habis. ’’Di sisi lain, ketika Pemerintah Kabupaten Rote Ndao mencoba menumbuhkan lontar dengan cara budi daya, juga selalu gagal,’’ katanya.
Lontar tumbuh secara alami, meski lambat, tanpa perlu campur tangan manusia. Tidak perlu dirawat. Tinggal diambil manfaatnya bila mau. (*/c5/ttg)
Redaktur & Reporter : Soetomo