jpnn.com - GURU mengaji yang satu ini menjadi bukti, keterbatasan fisik sesesorang tidak menyurutkan semangat untuk berbuat baik. Ini cerita pendek tentang perjuangan, suka dan duka Mudharik Bakri. Baca pelan-pelan, nggak usah terburu-buru.
Heriviya Yuvi, Sampang
BACA JUGA: Ribuan Massa Geruduk Gedung Sate
Mudharik memiliki keterbatasan fisik. Sejak lahir dia tidak memiliki kaki kanan. Dia pun lebih banyak berbaring dan tidak bisa beraktivitas seperti manusia pada umumnya.
Namun, pria 54 tahun itu punya keinginan besar untuk mencerdaskan Anak Bangsa. Keinginan warga Dusun Brumbung, Desa Montor, Kecamatan Banyuates, Sampang, Jawa Timur itu sudah tertanam sejak duduk di bangku madrasah ibtidaiyah (MI), pada tahun 1960.
BACA JUGA: Bima Turun Gunung Bersihkan Sampah Visual
Keinginan itu dimulai dari dirinya sendiri. Setelah lulus MI dia melanjutkan ke pesantren. Dia banyak menimba ilmu di sebuah pesantren di Desa Jatrah Timur, Kecamatan Banyuates. Keluar dari pondok, semangat untuk menularkan ilmunya itu juga menggebu-gebu. Keinginannya sama seperti ketika belum nyantri.
Sekitar 1978 dia pulang dari pesantren. Sejak saat itu Mudharik mulai dipercaya warga untuk mengajari anak-anak ngaji. Para tetangganya beranggapan, salah satu dari lima bersaudara itu memiliki ilmu kitab yang mumpuni. ”Kalau era saya dulu kan orang mondok itu sangat disegani,” tuturnya, dalam sebuah perbicangan ringan dengan Radar Madura, beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Terjebak di Jalan Buntu, Dua Jambret Diamuk Massa
Sejak saat itu, banyak anak tetangga yang datang untuk belajar mengaji. Sejak saat itu pula dia menjadi guru mengaji. Mayoritas santrinya anak-anak seumuran pelajar SD di dusunnya.
Pada 1990-an, santrinya mencapai 50 orang. Seiring waktu muridnya mulai menurun. Sambil bercanda, dia menduga itu karena program keluarga berencana (KB). ”Sekarang tinggal 17 santri,” terangnya.
Awalnya, dia mengajari anak-anak itu di sebuah gubuk kecil yang terbuat dari bambu. Belakangan dia berhasil membangun musala. Bangunan sederhana itu untuk para santri. Uang yang digunakan untuk membangun musala hasil pemberian keponakannya. Sejatinya, uang itu untuk keperluan pribadinya.
Belasan santri itu mengaji setiap bakda subuh dan setelah magrib. Selama ini dia mengajari mereka seorang diri. Saat liburan pondok Mudharik dibantu Mohdiyanto, keponakannya. Saat ini anak saudaranya itu masih belajar di salah satu pondok pesantren di Rembang, Jawa Tengah.
Dia berharap Mohdiyanto kelak dapat menggantikan dirinya. Namun, selama masih mampu membuka buku atau kitab, dia akan berusaha untuk mengajari anak-anak. Saat ini, kondisi tubuhnya terlihat lemah. Sesekali tangannya terlihat gemetar.
Mudharik mengaku memiliki sepetak tanah warisan kedua orang tuanya. Lahan itu dikelola oleh saudaranya. Dari tanah itu dia bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mudharik memiliki empat saudara. Salah satunya perempuan. Dialah yang menjaga dan merawat pria yang telah 38 tahun menjadi guru mengaji itu. ”Saya dirawat saudara perempuan yang nomor tiga. Ibunya Mohdiyanto. Mulai kebutuhan makan dan semacamnya, dia yang melayani,” tuturnya.
Selain untuk tempat belajar mengaji, musala itu juga ditempati salat tarawih tetangga sekitar. ”Semoga ini jadi bekal ibadah saya di akhirat nanti,” katanya penuh harap.
Lelaki yang memakai cincin akik hitam itu hanya tersenyum ketika ditanya terkait bantuan guru ngaji. Meski telah puluhan tahun mengajari anak-anak, dia baru mendapat bantuan itu pada 2015.
”Kebetulan tahun-tahun sebelumnya dia tidak terdata di kartu keluarga (KK) dan baru diketahui. Terkendala saat mengurus kelengkapan persyaratan. Beliau tidak memiliki KK dan KTP,” ungkap Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Banyuates Rony Salaki. Sejak 2015 lalu administrasi kependudukan Mudharik diproses oleh aparat desa setempat. (*/luq/adk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 25 Persen Penderita HIV-AIDS Adalah Ibu Hamil
Redaktur : Tim Redaksi