jpnn.com, JAKARTA - Kontroversi taksi online di tengah masyarakat masih saja terjadi.
Keberadaan angkutan online ini sejak pertengahan 2014 telah menimbulkan persoalan tersendiri dalam dunia sistem transportasi darat.
BACA JUGA: Ini Aspirasi di Diskusi Bahas Taksi Online
Selain menimbulkan kegamangan pada regulator untuk mengaturnya, juga menimbulkan konflik horizontal dengan sesama pelaku transportasi.
Regulator merasa gamang untuk membuat regulasi, karena angkutan online ini disambut gegap gempita oleh masyarakat yang merasa tertolong dengan adanya angkutan online guna mendapatkan layanan angkutan yang lebih murah dan mudah.
“Di sisi lain regulator menyadari bahwa praktek angkutan online tersebut bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ) maupun PP NO. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Kegamangan regulator bertambah ketika regulasi yang dibuatnya sebagai payung hukum untuk angkutan online dimentahkan oleh Mahkamah Agung (MA),” kata Ketua Inisiatif Strategis untuk Transportasi (INSTRAN), Darmaningtyas, saat diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (2/10).
Sedangkan konflik horizontal yang terjadi dengan sesama pelaku transportasi, lanjutnya, memiliki dimensi yang kompleks.
Pertama, angkutan online roda empat (taksi online) berhadapan dengan taxi plat kuning atau taxi regular.
Kedua, angkutan online roda dua (ojek online) berhadapan dengan ojeg pangkalan (Opang).
Ketiga, lanjutnya ojek online berhadapan dengan angkutan perkotaan (Angkot). Keempat, antar pelaku angkutan online itu, baik sesame operator aplikasi maupun berbeda operator berkompetisi antar mereka, baik dalam bentuk perang tariff, bonus, maupun layanan.
“Ujungnya, pengemudi menjadi korban (cicilan mobil tidak terbayar karena terlalu kompetitif, akhirnya mobil ditarik oleh leasing,” tegasnya.
Darmaningtyas melanjutkan, konflik horizontal antara angkutan online dengan plat kuning awalnya terjadi karena plat kuning yang merupakan angkutan legal itu justru makin terjepit dengan kehadiran angkutan online yang ilegal
Sementara angkutan plat kuning tetap dibebani dengan berbagai macam pajak yang harus mereka bayar dan regulasi yang harus mereka patuhi, tapi posisinya semakin terjepit.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri (PM) No. 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang dimaksudkan untuk memberikan pengaturan bagi keberadaan angkutan online tersebut.
PM tersebut kata dia, harusnya secara efektif berlaku mulai 1 Oktober 2016.
Namun sebelum PM No. 32/2016 tersebut dilaksanakan, terjadi perubahan kepemimpinan di Kemenhub dan berimplikasi pada revisi PM No. 32/2016 menjadi PM No. 26 Tahun 2017 tentang Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, yang mulai resmi berlaku per 1 April 2017.
“Implementasi PM No. 26/2017 ini juga tidak serta merta berlaku penuh per 1 April 2017, tapi mengalami dua masa transisi atau tahapan. Transisi pertama per 1 Juni 2017, mencakup Akses Digital Dashboard karena diperlukan sinkronisasi IT Kemenkominfo dengan Kemenhub, Stiker RFID yang terkoneksi dengan data base angkutan, dan Stiker RFID yang terkoneksi dengan data base angkutan,” paparnya.
Transisi kedua adalah per 1 Juli yang mencakup KUOTA dengan memperhatikan hasil riset, TARIF usulan dari masing2 daerah yg akan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atas hasil kajian/analisa, dan PAJAK karena Perlu proses penyesuaian dengan Kemenkeu secara teknis. Dalam PM No. 26/2017 ini juga diakomodasi usulan diperbolehkannya mobil 1000 CC sebagai sarana taxi online.
“Penetapan angkutan online sebagai angkutan sewa khusus, persyaratan kapasitas silinder mesin kendaraan minimal 1.000 CC, persyaratan keharusan memiliki tempat penyimpanan kendaraan, kepemilikan atau kerjasama dengan bengkel yang merawat kendaraan, pengujian berkala (KIR) kendaraan, digital dashboard, stiker dan penyediaan akses, pengenaan pajak pada perusahaan penyedia aplikasi, pemberlakuan tarif batas atas dan bawah, dan STNK atas ama badan hukum,”
Adanya pengaturan beberapa hal terhadap keberadaan taxi online, termasuk masalah batas atas dan batas bawah tarif diharapkan persaingan dengan taxi plat kuning lebih fair, sehingga bisa mengurangi konflik horizontal.
Mengingat substansi konflik lebih kepada perbedaan tarif yang terlalu jauh, yang satu karena tidak diregulasi sama sekali dan mendapatkan subsidi dari aplikator dapat pasang tarif yang rendah atau murah, sementara plat kuning karena diregulasi terlalu ketat, akhirnya tarifnya tinggi.
Bahkan tariff untuk angkutan plat kuning itu ditentukan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah.
Namun sayang, pada saat PM No. 26/2017 ini harus diimplementasikan secara penuh per 1 Juli 2017, telah muncul Putusan MA No. 37 P/HUM/2017 yang mengabulkan gugatan enam pengemudi taxi online pada tanggal 20 Juni 2017.
Putusan MA itu membatalkan 14 pasal dan mencakup 18 poin yang diatur dalam PM No. 26/2017, sehingga memaksa Kementerian Perhubungan harus membuat regulasi baru.
“Jika Kementerian Perhubungan tidak membuat membuat regulasi baru, selambat-lambatnya tiga bulan setelah diterimanya putusan, maka PM No. 26/2017 minus 14 pasal dan 18 poin yang dibatalkan oleh MA tersebut tetap berlaku sebagai payung hukum bagi angkutan online,” ujarnya.
Konsekuensi logis dari penerapan PM No. 26/2017 minus 14 pasal dan 18 poin yang dibatalkan oleh MA sebagai payung hukum taxi online adalah persaingan bebas yang tidak berimbang akan terus terjadi, karena taxi plat kuning akan tetap dijerat dengan banyak aturan, sementara taxi online tanpa aturan sama sekali.
“Hal itu dapat berdampak pada munculnya konflik horizontal yang tiada ujung, dan berakhir dengan bangkrutnya usaha taxi plat kuning. Ketika taxi plat kuning bangkrut dan taxi online keluar sebagai pemenang persaiangan, tidak tertutup kemungkinan tariff taxi online akan dinaikkan sampai ke angka keekonomisan (alias mahal). Namun karena tidak ada pilihan lain, masyarakat harus menelannya lantaran taxi plat kuning keburu bangkrut,” ungkap Darmaningtyas.
Dia menyarankan, agar masyarakat tetap terlindungi untuk memilih jasa angkutan taxi yang selamat, aman, nyaman, dan tarif terjangkau; baik sekarang maupun yang akan datang, diperlukan ketegasan dari regulator untuk mengaturnya.
“Ketegasan itu penting mengingat sejumlah kota di Eropa pun sudah melarang dan membatasi gerak taxi online ini, terutama UBER melalui berbagai regulasi,” imbuhnya.
Ternyata UBER, kata dia, akhirnya tunduk pada aturan di suatu negara, ketika negara tersebut bersikap tegas.
Apalagi ketika ditengarai bahwa UBER terlibat aksi suap untuk tetap dapat beroperasi di Indonesia, maka diperlukan ketegasan regulator untuk mengaturnya.
“Tanpa ada ketegasan, konflik horizontal antar pelaku transportasi plat kuning versus plat hitam akan terus terjadi. Sebagai negara yang berdaulat sebaiknya negara perlu tegas dan menjalankan Undang-undang (UU LLAJ) yang dibuatnya, tidak boleh ragu,” tandasnya. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia