Hanif Hamraz, musisi Afghanistan yang tinggal di Indonesia, menyaksikan dengan penuh kekhawatiran kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan.
Sekitar setengah dari 13.000 pengungsi dan pencari suaka yang kini berada di Indonesia adalah warga Afghanistan seperti Hanif, yang berusaha masuk ke Australia.
BACA JUGA: Ribuan Konten Penyiksaan Binatang di Media Sosial Berasal dari Indonesia
Sebagian besar di antaranya merupakan etnis Hazara, yang menjadi sasaran Taliban karena identitas suku dan agama mereka sebagai penganut Syiah.
Peristiwa terakhir di Afghanistan menjadi alasan kuat mengapa para pelarian, terutama seniman dan musisi, tidak bisa kembali ke negaranya.
BACA JUGA: Menlu Retno Ungkap Kekhawatiran Indonesia terkait Taliban, oh Ternyata
Ketika Amerika Serikat menarik seluruh pasukanya akhir Agustus lalu, kelompok militan itu dilaporkan menyeret penyanyi tradisi Fawad Andarabi dari rumahnya di utara Kota Kabul dan membunuhnya.
"Dia tak bersalah, hanya seorang penyanyi yang ingin menghibur orang lain," kata Jawad, anak Fawadi kepada kantor berita Associated Press.
BACA JUGA: Gedung Putih: Taliban Tidak Pantas Dihormati
"Mereka menembak kepalanya," jelasnya.
Pada bulan Juli lalu, pejuang Taliban menculik, menyiksa, dan membunuh komedian Nazar Muhammad, yang dikenal sebagai Khasha Zwan, yang pernah membuat lelucon tentang Taliban di aplikasi TikTok.
Kebrutalan seperti inilah yang menyebabkan Hamraz melarikan diri ke Indonesia delapan tahun lalu. 'Saya tak punya masa depan'
Hanif yang kini berusia 29 tahun berada dalam ketidakpastian di Indonesia, yang belum menandatangani Konvensi PBB Tentang Pengungsi.
Indonesia juga tidak mengizinkan pengungsi untuk tinggal secara permanen.
Pernah tampil di berbagai kota bersama musisi Australia, termasuk di acara Kedutaan Amerika Serikat dan India, Hanif tidak memiliki hak untuk bekerja atau sekolah di Indonesia.
Peluangnya untuk dimukimkan kembali di negara ketiga penuh ketidakpastian.
"Masa depanku tidak jelas. Saya tak punya masa depan," katanya kepada ABC.
"Saya tidak bisa melakukan apa pun buat keluargaku."
Pada tahun 2014, pemerintah Australia mengadopsi kebijakan, di mana pengungsi yang terdaftar di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Indonesia setelah Juni tahun itu tidak akan pernah dimukimkan kembali di Australia.
“Perubahan ini akan mengurangi masuknya pencari suaka ke Indonesia dan mendorong mereka mencari pemukiman kembali di negara-negara suaka pertama,” kata Scott Morrison, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Imigrasi Australia.
Namun, di tengah perang yang menyebabkan jumlah pengungsi meningkat, para pencari suaka Afghanistan terus berdatangan ke Indonesia.
Tiga kelompok masyarakat di Australia telah memberikan surat dukungan bagi Hanif untuk dimukimkan kembali melalui program kemanusiaan.
Namun karena tiba di Indonesia pada Agustus 2014, dia tidak memenuhi syarat masuk ke Australia.
"Banyak pengungsi di Indonesia mungkin tidak akan pernah bisa ikut program pemukiman kembali," demikian pernyataan UNHCR.
Pihak Departemen Dalam Negeri saat ditanya soal perkembangan terakhir, menyatakan: "Kebijakan pemerintah Australia dalam memerangi penyelundupan manusia tetap tidak berubah."
"Kami akan terus mendeteksi dan mencegat siapa pun yang mencoba melakukan perjalanan ke Australia secara ilegal," katanya. Taliban membidik seniman
Seniman lainnya, Farahnaz Salehi, tiba di Indonesia sebagai pengungsi pada usia 14 tahun dan memilih lukisan sebagai cara mengekspresikan diri.
"Saya kira penderitaan yang menginspirasi saya. Juga kesedihan," ujar Farahnaz.
Terletak di antara Eropa dan Asia, Afghanistan selama berabad-abad merupakan tempat perkembangan seni dan puisi.
Dulunya Afghanistan memiliki patung Budha Bamiyan, situs warisan dunia dan sumber kebanggaan nasional yang dibangun pada abad keenam dan ketujuh.
Namun di bawah pemerintahan Taliban pada 1990-an, seni dilarang dan seniman dianiaya.
Taliban menghancurkan patung iyu pada tahun 2001, sebuah peristiwa yang bagi banyak orang Afghanistan melambangkan fanatisme dan kebiadaban.
Sejak menguasai Kabul kembali pada 14 Agustus, Taliban mulai menghapus mural di tembok-tembok kota itu, yang menggambarkan perempuan atau pahlawan nasional, dan menggantinya dengan propaganda.
Mereka memerintahkan stasiun radio untuk berhenti memutar musik dan menutup Institut Musik Nasional Afghanistan.
Warga setempat mengaku telah menghancurkan karya seni dan alat musik mereka karena takut diserbu aparat Taliban.
"Mereka menentang seni, menentang hak-hak perempuan, dan menentang segala budaya yang membuat negara kami menjadi indah," ujar Farahnaz, guru seni pada sekolah untuk pengungsi di pinggiran Jakarta.
"Tidak masalah jika kita berada di dalam atau di luar Afghanistan. Kita tetap punya kaitan dan punya rasa takut," ujarnya.
Pelukis dan fotografer, Ali Froghi, menggunakan dapur umum di fasilitas perumahan pengungsi sebagai studio bila ruangan itu sudah sepi.
Seperti Hanif dan Faraznas, Ali adalah pengungsi suku Hazara yang terjebak di Indonesia selama hampir satu dekade.
"Hanya satu hal yang ada di pikiranku, yaitu bagaimana saya bisa menyelamatkan hidupku," jelasnya saat ditanya mengapa melarikan diri.
Dia mencari tempat di mana dia bisa merasa tak takut akan dibunuh atau dianiaya karena faktor etnis atau kepercayaannya.
Tetapi karena kurangnya hak-hak dasar dan kekhawatiran tentang keluarganya di Afghanistan, banyak pengungsi kini terus terkatung-katung di Indonesia.
"Mereka (UNHCR) menyampaikan, bila merasa aman Anda bisa kembali ke Afghanistan," ujar Ali.
"Kapan kami bisa punya rumah? Sekecil apapun. Sehingga kami tidak usah takut besok kami akan diusir dari sini," ujarnya. Seniman Australia menggalang dukungan
Bulan lalu, ratusan pengungsi yang sebagian besar orang Afghanistan berdemo di depan kantor UNHCR di Jakarta.
Mereka menuntut soal dimukimkan di negara ketiga.
"Setiap hal yang kita anggap biasa seperti menunjukkan kartu identitas atau diizinkan masuk ke suatu tempat, itu seratus kali lebih sulit bagi pengungsi di Indonesia," kata Trish Cameron, seorang pengacara Australia.
Farahnaz Salehi mengatakan banyak pengungsi di Indonesia "telah menunggu begitu lama", dan banyak warga Afghanistan yang mengalami gangguan mental parah dan bunuh diri.
"Kami ini mengungsi semata-mata karena kami tidak aman," ujarnya.
"Hidup kami dalam bahaya dan akhirnya menjadi pengungsi. Kami menikmatinya? Pasti tidak," kata Farahnaz.
Menurut UNHCR, tidak kurang dari setengah juta warga Afghanistan telah mengungsi di tahun 2021 saja.
Meski sebelumnya Australia telah memulangkan pencari suaka Afghanistan, Menteri Imigrasi Alex Hawke bulan ini menjamin tidak ada orang Afghanistan yang akan dideportasi "bila situasi keamanan di sana tetap mengerikan".
Pemerintah mengalokasikan 3.000 dari 13.750 kuota pengungsi Australia untuk tahun ini kepada warga asal Afghanistan.
"Kami sangat mendorong warga Afghanistan yang berisiko untuk mengambil opsi ini," kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri kepada ABC.
"Prioritas akan diberikan kepada kelompok minoritas yang dianiaya, perempuan, anak-anak dan mereka yang memiliki hubungan dengan Australia," katanya.
Pernyataan bersama dari komunitas seniman Australia meminta Pemerintah Federal Australia berbuat lebih banyak untuk melindungi seniman, penulis, dan cendekiawan Afghanistan.
"Kelompok minoritas kembali menghadapi risiko ekstrem dalam lingkungan yang semakin tidak stabil," kata pernyataan itu.
"Generasi seniman dan kelompok kreatif Afghanistan telah bangkit dan menjadi tanggung jawab Pemerintah Australia untuk memastikan kehidupan mereka dilindungi," tambahnya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lockdown Berkepanjangan di Melbourne Tak Surutkan Aktivitas Warga Senior Asal Indonesia