TOLO TV adalah stasiun televisi yang paling populer di Afghanistan. Tapi sekarang stasiun ini berjuang untuk masa depannya setelah Taliban kembali berkuasa.
Televisi berjaringan ini didirikan oleh Saad Mohseni, putra seorang diplomat Afghanistan, yang dibesarkan di Kabul, Islamabad, London, Tokyo, dan Australia.
BACA JUGA: Taktik Perang Mao Zedong dalam Kemenangan Taliban dan Amerika yang Tak Belajar dari Sejarah
Saad dikenal sebagai pengusaha media pertama di Afghanistan.
Dia dan saudaranya kembali ke Afghanistan setelah jatuhnya Taliban pada tahun 2001 untuk meluncurkan TOLO TV dan perusahaannya, Moby Media Group.
BACA JUGA: Taliban Gegerkan Dunia, Golkar Serukan Penguatan Nasionalisme dan Demokrasi
Saat ini ia sedang bernegosiasi dengan Taliban agar TOLO TV, yang memberikan layanan berita 24 jam, tetap mengudara.
Saad berada di London dan berusaha keras untuk mengamankan keselamatan 450 stafnya di Kabul.
BACA JUGA: Paspor Vaksin COVID-19: Kapan Perbatasan Internasional Dibuka, Bagaimana Perjalanan Bisa Dilakukan?
Berbicara kepada mantan koresponden ABC Afghanistan Sally Sara di program televisi The World Today, Saad mengatakan dia berharap Taliban tidak terlalu represif saat menguasai kembali kota Kabul.
Namun, dia menduga dalam waktu sekitar enam bulan kelompok fundamentalis ini akan mendirikan sebuah negara Islam berlandaskan hukum syariah.
"Saya pikir pada tahap pertama mereka mungkin masih membiarkan kami seperti saat ini," katanya.
"Tetapi pada fase kedua dan ketiga saya pikir kita akan melihat lebih banyak pembatasan."
Jatuhnya rezim Taliban sebelumnya pada tahun 2001 telah membuka era baru kebebasan media di seluruh Afghanistan.
TOLO News selama ini telah mempekerjakan presenter dan jurnalis perempuan, sementara kelompok fundamentalis Taliban melarang perempuan bekerja dan melarang anak perempuan pergi ke sekolah ketika mereka berkuasa dari tahun 1996 hingga 2001. Akankah perempuan Afghanistan tetap bisa bekerja di televisi?
Taliban telah berusaha untuk meningkatkan citra mereka di mata publik.
Selama ini mereka dikenal dengan sejumlah aturan yang kejam dan brutal, termasuk hukuman abad pertengahan seperti rajam sampai mati, hukum gantung, memotong tangan pencuri dan membunuh pria gay dengan menjatuhkan mereka dari tembok.
Berbicara pada konferensi pers pertama mereka sejak jatuhnya Kabul, Taliban mengatakan mereka akan menghormati hak-hak perempuan, tetapi hak-hak tersebut harus berada dalam batas-batas hukum syariah.
Minggu ini pembawa berita TOLO, Beheshta Arghand, mengajukan pertanyaan kritis kepada pejabat Taliban, Mawlawi Abdulhaq Hemand.
Ia mencecar pertanyaan terkait laporan pejuang Taliban yang telah mendatangi satu-persatu rumah di Kabul untuk mencari orang-orang yang ada di "daftar target pencarian".
Meski Taliban juga ada di jejaring sosial Twitter dan telah mengizinkan wartawan perempuan untuk mewawancarai mereka, banyak orang skeptis jika mereka telah berubah.
Saad mengatakan tidak jelas apakah Taliban sudah berubah.
"Apakah Taliban sudah berubah? Saya pikir ideologi mereka hampir sama," katanya.
"Apakah mereka lebih pragmatis? Ya, mungkin sebagian.
"Kami tidak tahu [ideologi] yang mana yang akan tampil, apakah itu sayap yang lebih moderat atau sayap yang lebih konservatif."
Dia mengatakan kekhawatiran terbesarnya adalah tentang keselamatan, dan perempuan dipaksa tidak mengudara lagi di layar kaca oleh rezim Taliban.
"Saya pikir ketakutan terbesar [kami] adalah jika mereka (para jurnalis perempuan) akan diberitahu bahwa mereka tidak bisa lagi muncul di Televisi." Taliban pernah menargetkan wartawan sebelumnya
TOLO TV sangat dihormati karena pemberitaannya yang berani, yang seringkali dilaporkan oleh jurnalis perempuan.
Sebagai salah satu perintis organisasi berita di Afghanistan, jaringan televisi ini juga sudah menggunakan teknologi terbaru dan memiliki akun media sosial dalam berbagai bahasa.
Pada tahun 2016, sebuah mini bus yang membawa pekerja TOLO diserang oleh seorang pengebom bunuh diri, hanya beberapa bulan setelah Taliban mengatakan TOLO TV adalah "target militer" yang sah.
Setidaknya 10 wartawan Afghanistan dan pekerja media tewas tahun lalu.
Namun Saad berpikir wartawan Afghanistan akan tetap berdiri teguh meski menghadapi berbagai risiko, termasuk ancaman pembunuhan.
"Mereka telah bekerja di industri ini selama 20 tahun. Mereka dapat berurusan dengan panglima perang dan preman, pejabat pemerintah dan sekarang Taliban."
Dia mengatakan Taliban mendatangi kantor TOLO di Kabul pada Senin pagi (16/08) dan memeriksa senjata serta lisensi senjata penjaga keamanan.
Saad berencana untuk kembali ke negaranya, meski ia mengaku sakit hati melihat jatuhnya Kabul dan kekacauan di bandara.
"Menyakitkan melihatnya, karena [seperti melihat] kemajuan 20 tahun dibuang begitu saja ke toilet," katanya.
"Tidak harus seperti ini."
Ia menyalahkan pemerintahan Presiden AS Joe Biden, yang memimpin keluarnya pasukan Amerika, dan pemerintah Afghanistan, yang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani.
“Kami sangat kritis terhadap pemerintah Afghanistan, khususnya Ashraf Ghani, termasuk cara dia pergi. Pada dasarnya kepergiannya memicu keruntuhan negara menjadi seperti ini.
"Dan pemandangan yang Anda lihat di bandara Kabul adalah akibat langsung dari kepergiannya." Anak muda yang berani menjadi inspirasi
Tapi Saad masih tetap optimistis karena diskusi yang terjadi di antara banyak pihak, termasuk Taliban dan tokoh internasional lain.
Ia juga merasa bangga dengan anak-anak muda yang cerdas secara digital dan mereka tidak pernah melihat pemerintahan Taliban, sehingga lebih sulit menyensor generasi muda.
"Hampir semua anak-anak ini tidak pernah mengalami pemerintahan Taliban," katanya.
"Menurut saya sulit untuk dibayangkan bila mereka kembali [ke masa itu]."
Ia juga mengatakan keberanian dan komitmen para jurnalis Afghanistan sebagai kerendahan hati mereka.
"Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari mereka ini, yang saya lakukan setiap hari."
Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari artikel ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sukamta: Pantau Perkembangan WNI di Afghanistan, Bila Perlu Lakukan Evakuasi