Tangani Perubahan Iklim, Wamenlu: Indonesia Menjaga Kesepakatan Perjanjian Internasional

Selasa, 02 Februari 2021 – 23:56 WIB
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar. Foto: Kemlu

jpnn.com, JAKARTA - Isu perubahan iklim terus bergulir dengan segala dimensinya. Dalam kaitan ini, Indonesia berpegang teguh pada komitmen dan keputusan perjanjian internasional sebagai pedoman  bersama untuk melakukan langkah dan tindakan nyata maupun untuk mengatasi dampaknya.

Dalam kesepakatan multilateral seperti The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan juga Paris Agreement itu disampaikan bahwa masing-masing negara melakukan perannya sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawabnya dan dalam hal itu ada hal yang sangat penting bahwa konvensi Perubahan Iklim mengakui prinsip Common but differentiated responsibilities /CBDR.

BACA JUGA: Jokowi Ajak Negara-negara di Dunia Bekerja Sama Atasi Dampak Perubahan Iklim

Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan Indonesia memiliki komitmen bahwa isu perubahan iklim bagi masing-masing negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan global dengan Nationally Determined Contributions (NDC).

“Tujuan bersama negara maju dan berkembang memiliki kondisi berbeda (prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda). Ini sering terlupakan saja, padahal dalam perjanjian sendiri ada istilah perjanjian negara-negara anek-1 atau nonanek Indonesia, tetapi dalam implementasi terkesan bahwa tanggung jawab dan kewajiban seluruh negara dianggap sama,” ujar Mahendra Siregar, Senin (1/2/2021).

BACA JUGA: Soal Kudeta Demokrat, Reaksi Pengamat Ini Menohok AHY

Lebih lanjut, Mahendra mengatakan prinsip itu juga kadang dilupakan, di level antarnegara juga begitu, apakah itu dari kacamata menjaga pertumbuhan, dan mengatasi kemiskinan, itu diangap bukan merupakan hak yang sama bagi negara berkembang untuk menjaga keseimbangan, menjaga lingkungan dan untuk pembangunan sosial ekonomi (bottom line).

Mahendera mengatakan, di negara-negara maju, isu kesenjangan sosial atau pembangunan sosial-ekonomi dianggap sebagai hampir memasuki masa puncak dan tidak lagi jadi isu dan tidak terkait dengan iklim.

BACA JUGA: Menteri Siti Nurbaya: Indonesia Punya Target Ambisius Menahan Laju Perubahan Iklim

Persepsi yang berbeda ini atau cara penyampaian dan cara pandang berbeda, bisa menimbulkan salah pengertian.

“Diplomasi iklim harus disampaikan konteks dan komitmen serta tujuan yang menyeluruh, dan apa yang sudah disepakati bersama tidak dipenggal-penggal sehingga merugikan pihak pihak tertentu. Kemudian terkait dengan CBDR, hak-hak negara berkembang untuk menjaga keseimbangan lingkungannya juga tak terganggu,” ujar Mahendra.

Amankan Kepentingan Nasional

Persoalan ini, lanjut Mahendra terkadang kita jumpai, baik di tingkat multilateral yang ingin memaksakan pada pihak tertentu yang seakan-akan sama atau dalam hubungan bilateral yang berkehendak sama. Bahkan di tingkat yang sifatnya bukan pemerintah, baik bisnis, lembaga keuangan, semata-mata menerapkan standar tertentu harus begitu, karena alasan standar di negara pusatnya seperti itu.

Padahal dia ada di negara berkembang atau melakukan pembiayaan finansial di negara berkembang yang tujuannya mengatasi kemiskinan.

Belum lagi, seakan-akan dinilai dan kemudian diawasi oleh satu proses yang juga tidak mengindahkan konteks yang besar tadi, sehingga akhirnya mereka takut untuk melakukan pembiayaan pembangunan atau kegiatan bisnis karena ada pengawasan dari konsultan, LSM, atau seakan-akan ada teknologi pengawasan satelit bahwa mekanisme yang sebenarnya dalam proses yang sudah mapan dan diakui, apakah melalui audit dan survei, malah ada lagi yang melakukan pengawasan dari atas yang tidak sesuai dengan proses, kewenangan dan yurisdiksi dari negara di tempat dilakukan.

“Ini yang persoalan, balik lagi ke prioritas dan nilai-nilai yang berbeda, padahal sudah ada perjanjiannya dan ini diperlukan untuk menempatkan pada konteks yang benar dan terus menjalankan komitmen kita yang sudah dijalankan tetapi di lain pihak mengamankan kepentingan nasional kita yang sudah diakui dunia internasional untuk tetap bisa dijalankan.

Mahendra mengatakan kita harus belajar terus baik dari pencapaian dan kekurangan. Kita kan sudah komit dalam NDC yang 29 meski kita bukan anek 1, sekarang komitmen kita pada komitmen internasional dan kepentingan nasional dan kita tidak perlu ikut-ikutan dengan langkah-langkah pihak lain yang ingin membuat komitmen baru seperti dengan unilateral. Itu komitmen sepihak, tidak dalam format dan cakupan perjanjian internasional dan malah menjadikan orang lengah atau lupa untuk mempertanyakan komitemn mereka dalam perjanjian itu apakah sampai terdeliver, tetapi malah buat komitmen baru.

“Contoh ingin melakukan zero karbon ekonomi misalnya, itu kan komitmen nasional dan bukan yang tidak diakui perjanjian internasional, seakan-akan lebih hebat dari yang lain dan yang bersangkutan bisa memenangkan proses pemilihan bersangkutan. Menurut saya, itu politisasi Perubahan Iklim, padahal bagaimana komitmen Anda dalam NDC sudah tercapai apa tidak, termasuk komitmen pembiayaan 100 miliar dollar AS, kok malah membuat komitmen itu,” tambah Mahendra.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler