jpnn.com, JAKARTA - Fenomena grey charter menjadi keprihatinan mendalam para pelaku industri pesawat carter di Indonesia.
Selain faktor jaminan keselamatan penumpang, potensi pendapatan negara dari sejumlah sektor pajak juga potensi menguap.
BACA JUGA: Pulang dari Manila, Timnas Indonesia Tak Lagi Gunakan Pesawat Carter, Kenapa?
Keprihatinan para pelaku industri carter itu di antara yang paling mengemuka dalam dua hari perhelatan Asian Sky Forum: Business Aviation 2024 di Hotel Shangri-La, Jakarta, yang ditutup pada Kamis (27/6).
“Memang belum ada angka statistik persisnya, tetapi melihat realitas di lapangan setidaknya 2-3 movement (penerbangan carter di Indonesia) itu grey,” ungkap Chief Marketing Officer Jetset Harilal Mohanan.
BACA JUGA: Piala AFF 2022: Timnas Indonesia Bertolak ke Filipina Pakai Pesawat Carter
Grey Charter adalah penerbangan yang dilakukan pesawat yang teregister sebagai pesawat pribadi.
Namun, disewakan secara komersial untuk mengangkut penumpang.
BACA JUGA: Industri Penerbangan Non-Airline Akan Melesat Hingga 300 Persen
Sederhananya, pesawat ‘pelat hitam’ namun beroperasi sebagai pesawat ‘pelat kuning’. Sebab tidak teregister secara resmi sebagai pesawat carter.
Dmpak yang sudah pasti adalah minimnya atau bahkan ketiadaan jaminan keselamatan bagi penumpang yang diangkut, termasuk ketiadaan asuransi. Sebagian besar pesawat pribadi itu pun teregister di luar negeri dengan pilot asing pula.
“Di sini (Indonesia, red), kita belum ada regulasi yang solid terkait situasi ini. Terus terang, ini meresahkan secara jangka pendek maupun panjang,” ujar imbuhnya.
Pasar pelaku industri yang sudah teregister secara resmi di Kementerian Perhubungan ini otomatis tergerus oleh aktivitas mereka.
Sedangkan secara jangka panjang, image industri carter potensi tercederai ketika semisal ada kecelakaan yang melibatkan pesawat grey charter.
Kejadian jatuhnya pesawat di Malaysia pada Agustus 2023, lalu yang menewaskan sejumlah orang sebagai contohnya.
”Kami berharap regulator (pemerintah, red) punya konsen terhadap hal ini,” imbuh Harilal.
Chief Operations Officer Jetset Dhede Damanik menambahkan perhatian pemerintah ini penting karena potensi pengembangan industri penerbangan non-airline di Indonsia, dalam hal ini pesawat carter, cukup besar. Di Asia, Indonesia saat ini setidaknya sudah tercatat memiliki penerbangan carter tertinggi ketiga setelah Singapura dan Jepang.
”Kita di Indonesia itu rata-rata sudah 200 movement take off-landing per bulan. Ini sudah sekitar setengahnya dari Singapura,” ungkapnya.
Dengan angka yang tinggi itu, lanjut dia, maka sudah semestinya ada regulasi yang lebih baik terkait fenomena grey charter di Indonesia. Hal ini menyangkut potensi pendapatan negara pula.
“Kami operator yang resmi teregister di (Kementerian) Perhubungan ini kan bayar pajak, semua invoice kena pajak, kalau mereka kan tidak wajib pajak,” imbuh Dhede.
Di kesempatan yang sama, Presiden Direktur Premiair Tony Hadi juga berharap ada kesadaran pula di internal ekosistem industri penerbangan non-airline untuk bersama-sama menekan perkembangan fenomena grey charter yang terus marak hingga saat ini.
“Yang kami sesalkan itu, jangan sampai nanti semisal muncul satu persoalan. Semua akan jadi hancur. Jadi, ayolah kita lurus-lurus saja,” ujar Tony.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari