jpnn.com, PADANG - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat kukuh menolak konsep Islam Nusantara.
Dengan berbagai alasan yang merupakan hasil rapat koordinasi MUI kabupaten/kota se Sumatera Barat di Padang, 21 Juli lalu, MUI Sumbar, tanpa ada keraguan menilai Islam Nusantara dalam konsep atau pengertian apa pun tidak dibutuhkan di Ranah Minang.
BACA JUGA: PBNU dan Pagar Nusa Gemakan Islam Nusantara hingga Malaysia
"Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi dengan embel-embel apa pun," salah satu bunyi hasil ketetapan MUI Sumbar yang ditandatangani Ketua Umum MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar.
Dalam beberapa hari ini, isu Islam Nusantara cukup menyita perhatian komunitas urang awak, khususnya di grup media-media sosial.
BACA JUGA: Ingat, Bung Karno Punya Jasa Besar Bagi Peradaban Islam
Mayoritas diskusi di grup tersebut mendukung penuh sikap MUI Sumbar yang menolak penanaman konsep Islam Nusantara di bumi Minangkabau.
Dalam sebuah tulisannya di Facebook, yang viral beberapa hari ini, Buya Gusrizal menjelaskan bahwa masyarakat Minang tidak butuh Islam Nusantara.
Berikut tulisan Buya Gusrizal.
“Amanah Kami Tunaikan”
Membiarkan umat bingung dengan pernyataan orang-orang yang mengusung “Islam Nusantara” sesuai seleranya seperti menuding Islam Arab sebagai Islam Radikal, Islam penjajah dan lainnya, berarti mengabaikan tugas keulamaan dalam menjaga kesatuan umat.
Suatu istilah yang dilahirkan oleh sebagian umat kemudian disebarkan dengan kekuasaan dari meletakkan tugu sampai mengarahkan berbagai institusi, itu jauh sekali dari “taswiyyatul manhaj” bahkan mengabaikan bagian umat Islam lain yang belum tentu bisa menerima konsep yang diusung tsb.
Ketika kaum sekuler, liberal dan pluralis menjadikan Islam Nusantara sebagai payung tumpangan mereka, itu bukan lagi perkara furu’ yang bisa didiamkan begitu saja.
Ketika sikap diambil oleh ulama Sumbar, kami bukan hanya membaca dan mendengar paparan konsep sehingga dengan enteng dikatakan “salah persepsi”.
Kami melihat perkataan, perbuatan dan sikap yang dilakukan di bawah konsep itu jauh melenceng maka kami memadukan antara pemahaman konsep dengan aplikasi di lapangan, itu lah langkah berpendapat dalam kasus aktual. Kalau tidak demikian, berarti kita membohongi diri sendiri.
Sikap sudah kami lahirkan.
Kami mengajak semua kembali kepada nama agama yang diberikan oleh Zat Yang Maha Menurunkan Syari’at Agama ini yaitu “Islam” (QS. Ali ‘Imran 19, 85, al-Maidah 3 dan al-Shaff 7) tanpa ada embel-embel apapun.
Mudah-mudahan tidak dilupakan bahwa telah dua kali saya juga mengkritik istilah “Islam Wasathiy” di hadapan pengurus lembagai keulamaan ini yaitu di Lombok dan di Bogor”.
Satu mumayyizat (keistimewaan) tidak bisa dilabelkan kepada Islam karena akan memunculkan pemahaman yang rancu di tengah umat.
Seluruh mumayyizaat harus difahami secara utuh dan tidak bisa berdiri sendiri.
Kalau hanya kekhususan budaya dan tradisi yang menjadi alasan menambah Islam dengan wilayah dan sifat lainnya, bagi kami itu bukanlah dalil karena semua tradisi dan budaya, tetap kita saring dengan konsep ‘uruf dalam dalil hukum.
Kami tegak menjaga Ranah Minang tempat kami menghirup udaranya, meneguk airnya sehingga kami merasakan detak nadi kehidupannya.
Karena kami yang hidup di tengah masyarakatnya maka kami bertanggungjawab mengatakan bahwa negeri kami tidak membutuhkan istilah “Islam Nusantara” itu dan juga tambahan apapun di belakang nama “Islam” karena kata itu sangat sempurna dalam pandangan kami.
Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan dakwah dan mengamalkan tradisi kami,
kami sudah memiliki konsep yang menyatukan ormas Islam apapun di Ranah Minang selama ini, yaitu:
“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai”
Kami tempatkan falsafah kehidupan itu dalam pengamalan agama kami yang semenjak ulama-ulama tua kami, namanya adalah “Islam” tanpa ada tambahan apapun karena kami tidak mampu menggandengkan apapun dengan nama yang sempurna itu.
“Sekali kata dikatakan, seribu fikiran menjadi timbangan, pantang bertarik surut ke belakang, kecuali Al-Qur’an dan Sunnah yang menentang”
Penduduk suatu negeri lebih tahu dengan celah-celah kampungya.
Dalam sebuah postingan lain, Buya Gusrizal juga menghargai pihak lain yang masih ingin mengembangkan Islam Nusantara. Namun, dia menegaskan, jangan paksakan hadir di Ranah Minang.
"Jika ingin mengembangkan Islam Nusantara silakan kembangkan di luar Minangkabau, jangan paksakan hadir di Ranah Minang, karena Sumbar sejak abad ke-14 Masehi sudah merumuskan tentang Islam berdasarkan konsep ABS-SBK (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah). Selama ini kami juga tidak melabeli Islam dengan Islam Minangkabau," tegasnya. (adk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adek