jpnn.com - Apa jadinya kalau perut membesar bak orang hamil enam bulan, tapi berisi kista? Sudah pasti, yang terbayang adalah pembedahan dengan sayatan besar di perut. Tapi, di tangan dr Relly Yanuari Primariawan, kista berdiameter hingga 31 sentimeter pun bisa dipangkas habis dengan teknik laparoskopi.
Laporan Priska Birahy, Surabaya
============================
BACA JUGA: Ribuan Bayi Diguling-gulingkan, Para Pemuda Minta Disuapi
KISTA memang momok. Ia menebar harapan palsu saat membikin perut menjadi gede bak orang hamil. Tapi, yang dirasakan bukanlah tendangan atau gerakan bayi. Alih-alih janin, perut nan buncit tersebut malah berisi cairan kental.
Momok berikutnya membayangi. Perut harus diangkat dengan sayatan cukup besar. Kalau serangan kista parah, opsi lain adalah mengangkat kandungan. Hiii...
BACA JUGA: Diskusi, Puisi, hingga Bernyanyi, Bedah Buku Jadi Temu Kangen
Namun, bayangan buruk itu bisa sirna dengan hadirnya teknologi laparoskopi. Awalnya, teknik pembedahan dengan sayatan kecil itu banyak digunakan untuk keperluan diagnosis. Operasi-operasi pengangkatan jaringan yang mini pun bisa digarap dengan laparoskopi.
Nah, adalah dr Relly Yanuari Primariawan SpOG, dokter asli Banjarmasin, yang menggunakan laparoskopi untuk mengangkat kista itu. Bahkan, lelaki yang kesehariannya berkutat di klinik fertilitas RSUD dr Soetomo tersebut pernah mengangkat kista berdiameter 25 sentimeter dan 31 sentimeter dengan laparoskopi.
BACA JUGA: Kisah Bupati Kukar yang Takut Korupsi dan tak Peduli Gaji
Ukuran itu memang tidak terbilang wow dalam jagat kista. Tapi, pengangkatannya yang luar biasa. Lazimnya, kista berukuran bola tersebut harus melewati lubang besar di perut dengan metode konvensional.
Tapi, di tangan Relly, kista tersebut diambil lewat lubang dengan tiga sayatan kecil di dinding perut. Dari lubang itu dimasukkan laparoscopy set. Bentuknya mirip pipa dengan ujung kamera, lampu, dan gunting. Dokter tinggal melihat layar monitor yang terhubung dengan kamera yang sedang jalan-jalan di dalam perut itu. Bak main game.
Dokter tinggal mengambil kista itu berdasar gambar di monitor. ’’Kan terlihat gambar susunan perut dan letak kista,’’ ujar dokter yang menamatkan Fellow Endoscopy Gynecology di KIEL University, Jerman, pada 2004, tersebut.
Sambil menunjukkan sebuah video pengangkatan kista, dokter penghobi cycling itu berbagi kisah menariknya. Salah satu yang langka dan jarang dilakukan di metropolis adalah mengangkat kista gadis 18 tahun. Ukurannya 23 sentimeter. Alumnus Unair 1992 itu mengerjakannya pada Januari lalu. Memakan waktu sekitar dua jam, dengan cekatan tangan-tangannya mengoperasikan tiga alat yang dimasukkan ke dalam perut. Dengan perlahan, mata pisau menggunting kista dan memisahkannya dari kulit rahim. Setelah terlepas, kista lantas disedot keluar melalui pipa.
Bila tidak mahir dan tanpa skill oke, operasi bisa memakan waktu lama. Padahal, dengan teknik konvensional atau membelah perut, risikonya adalah perdarahan. Apalagi ukuran kista besar. Pengangkatan pun kian rumit.
Atas keberhasilan sebagai pionir pengangkatan kista denganlaparoskopi, bapak dua anak itu diundang ke sebuah seminar internasional pada 27–29 Maret. Di World Symposium on Endometriosis and Onkofertility, Atlanta, Amerika, itu, dia menunjukkan keberhasilan tersebut.
Selepas itu, berbagai ukuran kista pun dikerjakannya. Misalnya, pada seorang ibu muda asal Madiun yang dikerjakannya RS Bedah, tempatnya berpraktik. Kista berukuran 24x34x33 cm tersebut dilibasnya juga dengan teknik laparoskopi.
Perempuan 28 tahun itu datang kepadanya dengan keluhan perut membesar. Sebelumnya, dia sempat hamil, tetapi keguguran akibat ada kista di rahim. Lambat laun kista tersebut membesar dan membuatnya terlihat bak ibu yang mengandung enam bulan.
Setelah berkeliling dan mencicipi sekitar 10 diagnosis dokter, pada April lalu, dia menjatuhkan pilihan kepada dokter Relly.
Dia mengaku, seorang dokter menyarankan untuk angkat kandungan. Namun, justru oleh sulung di antara lima bersaudara itu, kista sebesar bola tersebut lenyap tanpa perlu mengangkat kandungan. ”Itu bergantung pada kemampuan. Dengan alat pun bisa dipisahkan antara kista dan kandungan,” ujar dokter yang kali pertama melakukan TLH (total laparoscopy hysterectomy), angkat kandungan dengan laparoskopi, pada 2005 di Surabaya.
Saat operasi, tiga lubang dibuat di daerah pusar. Yakni, bagian kiri dan kanan dekat panggul serta di bawah pusar. Agar pembedahan lancar, perut dikembungkan dengan gas CO2. Setelah itu, dokter memainkan gunting, penjepit, las, maupun morcellator untuk memisahkan kista dengan dinding rahim.
Setelah itu, dengan sabar dan telaten, kista disedot keluar dengan alat. ”Pekerjaan ini memakan waktu. Karena itu, nggak banyak yang bisa,” ungkap dokter yang pernah mengikuti workshop European Society of Gynecology (ESG) di Munich, Jerman, tersebut
Bak alat penyedot debu, kista disedot dengan mudah. Setelah tuntas, giliran dokter memasukkan alat penjahit. Rahim yang terbuka kembali dijahit. Tidak dibutuhkan waktu lama untuk pemulihan. Sekitar dua minggu, pasien bisa langsung beraktivitas lagi.
Selepas itu, lulusan spesialis kandungan pada 2001 tersebut kembali mendapat tantangan besar. Dia menangani pasien dengan kista 31 sentimeter. Kali ini pasien berusia 43 tahun itu harus menjalani angkat kandungan. Semuanya dikerjakan dengan teknik TLH. Meski terdengar mustahil dan aneh, penyakitnya bisa teratasi hanya dengan bantuan tiga sayatan kecil di perut.
Jelas hal itu menjadi kebanggaan bagi Surabaya. Memiliki dokter yang mampu membedah tanpa sayatan. Kini dalam setahun dia bisa menangani 150 hingga 200 pasien.
Tebersit harapan agar dunia pembedahan di Indonesia dapat menjalankan laparoskopi dengan bantuan robot. ”Robot itu membantu atasi human error. Misalnya, tremor,” paparnya sambil membetulkan baju sebelum melanjutkan operasi.
Menurut dia, terlalu lama mengoperasi bisa membuat tangan gemetar atau tremor. Nah, dengan bantuan robot, tremor itu bisa diredam. Pengendalian alat laparoskopi pun bisa berjalan mulus. Semoga. (*/c6/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dulu Jadi Bahan Ejekan, Kini Role Model
Redaktur : Tim Redaksi