"Pilgub Sumut kali ini hanya lah rutinitas lima tahunan saja, tak ada yang istimewa, tidak ada gairah," ujar Ray Rangkuty kepada JPNN di Jakarta, kemarin (22/11). Setidaknya, Ray sebagai putra Sumut yang lama berkiprah di Jakarta, tidak merasakan ada sesuatu yang "ngeh" untuk dibicarakan dengan sesama putra Sumut yang berdomisili di ibukota.
"Sama sekali tidak ada gregetnya," imbuh mantan Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP) dan Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) itu.
Mengapa tidak bergairah? Ray merasa, lima pasangan cagub-cawagub itu tidak ada satu pun yang bisa diharapkan membuat perubahan di Sumut. Dia membandingkan dengan pilgub DKI, yang langsung menyedot perhatian publik begitu muncul Joko Widodo. "Pilgub DKI sangat bergairah karena Jokowi dianggap mewakili perubahan. Kalau di pilgub Sumut, tidak ada harapan perubahan," cetusnya.
Dibandingkan pilgub Jawa Barat yang sama-sama digelar 2013, kata Ray, pilgub Sumut juga kalah jauh. "Di Jabar ada wajah-wajah baru. Ada Teten Masduki, ada Rieke Dyah Pitaloka, yang membawa harapan adanya perubahan," kata Ray.
Karenanya, aktivis antikorupsi itu menilai, pilgub Sumut hanyalah rutinitas lima tahunan belaka. "Akan biasa-biasa saja, untuk urusan rutin lima tahunan saja," ucapnya enteng.
Meski demikian, dia mengakui, karena tidak ada yang menonjol, maka pertarungan pilgub Sumut akan ketat. Masing-masing pasangan, menurut dia, sudah punya basis dukungan yang jelas. Namun, dukungan yang terbentuk bukan lantaran dipengaruhi oleh visi, misi, atau pun program yang diusung.
"Tapi lebih dipengaruhi faktor suku dan agama. Itu faktor yang sangat menentukan karena faktanya, masyarakat Sumut tidak pernah membicarakan mengenai isu-isu yang dibawa masing-masing calon," paparnya.
Dia yakin, pilgub akan berlangsung dua putaran. "Karena pemilih tersebar, perkiraan saya dua putaran," pungkasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sipol Hanya Alat Bantu, Bukan Alat Penentu
Redaktur : Tim Redaksi