Penurunan jumlah mahasiswa dari Tiongkok bisa menjadi "bencana" bagi beberapa universitas Australia sehingga akan memaksa pemerintah turun tangan. Mahasiswa internasional selama ini dianggap sebagai "sapi perah" dalam sektor pendidikan tinggi. Ketergantungan pada TiongkokDi tahun 2017, sektor pendidikan tinggi Australia menghasilkan 32 miliar dolarUniversity of Sydney menduduki peringkat teratas dalam hal ketergantungan pada mahasiswa asal TiongkokPihak universitas menolak tudingan bahwa mereka terlalu mengandalkan mahasiswa asal Tiongkok untuk mendapat dana SPP
BACA JUGA: Pekerja Tak Berani Berkata Dibayar Rendah, Tunggu Majikan Dijerat Hukuman Berat
Peringatan ini disampaikan Profesor Salvatore Babones, peneliti Centre for Independent Studies, yang berkenaan dengan studi yang dirilis lembaga itu pekan ini.
"Universitas-universitas di Australia telah memperlakukan mahasiswa asal Cina sebagai sapi perah. Mereka mengandalkan mahasiswa Cina untuk ekspansi dan pendanaan universitas," katanya.
BACA JUGA: Nasib Inovator Muda Bidang Kanker Muda di Indonesia Ditelantarkan Usai Juara
Dia menyebutkan universitas di Australia terlalu terekspos ke pasar Tiongkok, sehingga proporsi mahasiswa internasional asal negara itu jauh melebihi mahasiswa dari negara lain.
"Pada kondisi ini, penurunan persentase kecil saja dapat menyebabkan kesulitan keuangan yang signifikan bagi suatu universitas," kata Prof. Babones.
BACA JUGA: Kardinal George Pell Kalah di Pengadilan Banding Australia
Laporan studi dari Centre for Independent Studies menyebutkan University of Sydney sebagai lembaga pendidikan tinggi yang paling tergantung secara finansial dari SPP mahasiswa Tiongkok.
Jumlahnya di tahun 2017 mencapai 500 juta dolar atau seperlima dari total pendapatan tahunan universitas tersebut. Photo: Ketergantungan pada mahasiswa asal Tiongkok dinilai berisiko pada kelangsungan universitas bersangkutan. (AAP: Dean Lewins)
Sementara University of Melbourne, Australian National University, University of NSW, University of Technology Sydney, University of Adelaide dan University of Queensland juga terlalu terekspos ke pasar Tiongkok.
"Jika mereka ini perusahaan yang terdaftar di bursa ASX, tentunya pihak regulator akan memaksa mereka mendiversifikasi risiko," ujarnya.
"Tapi karena universitas ini adalah entitas publik, mereka dapat berlindung di balik pemerintah dan menutupi risiko yang mereka ambil," kata Prof. Babones.
"Dalam krisis keuangan global tahun 2008 negara-negara di dunia menalangi bank-bank besar karena terlalu besar untuk dibiarkan gagal. Kegagalan bank akan menyebabkan ambruknya sistem keuangan," jelasnya.
"Kini kita menghadapi masalah serupa dimana universitas-universitas besar Australia terlalu besar untuk dibiarkan gagal."Diperlakukan seperti sapi perah Photo: Universitas ternama di Australia dituding terlalu menggantungkan diri pada pembayaran SPP dari mahasiswa internasional. (ABC News: Danielle Bonica)
Seorang mahasiswa University of Sydney asal Tiongkok, Abbey Shi , menyebutkan banyak keluarga di negaranya yang telah berkoban besar demi mengirim anak-anak mereka kuliah di Australia.
"Saya secara pribadi beruntung karena orangtuaku tidak harus seperti itu. Tapi saya tahu banyak rekan saya di kampus yang keluarganya seperti itu," kata mahasiswa jurusan ilmu hukum ini.
"Ada yang menjual rumah mereka di Tiongkok demi membiayai anak-anaknya kuliah di Australia," kata Abbey Shi kepada ABC News.
Dia mengaku mahasiswa asing tidak selalu mendapat dukungan begitu tiba di Australia.
"Ada titik dimana universitas-universitas di Australia memperlakukan mahasiswa internasional seperti sapi perah. Sementara dukungan yang mereka berikan sangat minim."
Kalangan universitas yang dihubungi terpisah membantah tudingan bahwa mereka terlalu terekspos ke pasar Tiongkok.
Ketua asosiasi perguruan tinggi Universities Australia Deborah Terry mengatakan pihak regulator menilai sebagian besar posisi keuangan universitas berisiko rendah.
"Sebagai lembaga pendidikan publik nirlaba, universitas kita dengan hati-hati mengelola uang pajak," katanya.
"Kalangan universitas terus memperhatikan secara hati-hati tren rekrutmen mahasiswa, dan menjaga keragaman sebagai bagian perencanaan bisnis mereka."
"Universitas-universitas di Australia mempertahankan standar penerimaan mahasiswa yang sangat tinggi - dan standar akademik yang tinggi itu menjaga kualitas dan menarik bagi mahasiswa internasional."
Hal serupa disampaikan Menteri Pendidikan Australia, yang menyebutkan posisi keuangan universitas publik saat ini kuat.
"Departemen kami memantau kinerja keuangan dan posisi masing-masing universitas secara setiap tahun," katanya kepada ABC News.
"Pemerintah bekerja sama dengan sektor ini dalam memperkuat persyaratan Bahasa Inggris bagi mahasiswa internasional dengan memperketat peraturan, meningkatkan pengambilan data dan pengawasan kemampuan berbahasa Inggris bagi pelamar visa," jelasnya.
CEO regulator universitas di Australia, TEQSA, Anthony McClaran secara terpisah menjelaskan, pihaknya memantau ketergantungan pada pasar tertentu di sektor pendidikan tinggi ini.
"Kita terkadang melihat pola konsentrasi berlebihan pada mahasiswa internasional umumnya atau mahasiswa dari satu negara, dan kami selalu merekomendasikan diversifikasi jika memungkinkan," kata McClaran.
Pada Desember 2018, Australia memiliki hampir 400.000 mahasiswa internasional yang kuliah di sana.
Secara proporsional, jumlah mahasiswa internasional ini 25 persen dari total mahasiswa. Sekitar 10 persen dari total mahasiswa di Australia saat ini berasal dari Tiongkok.
Sektor pendidikan tinggi telah menghasilkan pendapatan sebesar 32 miliar dolar di 2017, atau naik hampir dua kali lipat dari 19 miliar dolar di 2008.Standar penerimaan dipertanyakan Photo: University of Sydney merupakan universitas di Australia yang paling tergantung pada pembayaran mahasiswa asal Tiongkok. (AAP: Paul Miller)
Prof. Babones juga menuding universitas-universitas di Australia "mengompromikan standar penerimaan mahasiswa demi mengakomodir mahasiswa internasional".
Dia menyebut pihak universitas menyiapkan program Bahasa Inggris bagi calon mahasiswa asing yang lebih rendah sebagai pintu masuk.
Laporan Prof. Babone mengungkapkan beberapa universitas menerima mahasiswa yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris terbatas.
"Standar penerimaan diturunkan sedemikian rupa sehingga universitas-universitas di Australia menghasilkan uang dengan menambah mahasiswa," kata laporan itu.
"Universitas-universitas sekarang menerima mahasiswa internasional yang kurang memenuhi syarat demi pertumbuhan mahasiswa internasional."
Prof. Babones mendesak kalangan universitas untuk melaporkan jumlah mahasiswa internasional secara terperinci berdasarkan asal negara.
University of Sydney yang dihubungi menyatakan pihaknya mempertahankan standar penerimaan mahasiswa yang tinggi serta diversifikasi asal mahasiswa.
"Kami mengalami peningkatan mahasiswa dari Amerika Serikat dan Kanada dan berupaya meningkatkan jumlah mahasiswa dari India dan Asia Tenggara," kata jurubicara universitas itu.
Sementara Australian National University menyatakan senantiasa mempertahankan standar Bahasa Inggris dan akademik tertinggi saat menerima mahasiswa baru.
"Australian National University adalah universitas berbasis penelitian dan mendapatkan separuh penghasilan dari kegiatan penelitian berkualitas tinggi," kata jurubicaranya.
Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemkot di Melbourne Larang Menu Daging Tiap Hari Senin