Tantangan dan Peluang Diplomasi Prabowo-Gibran di Kawasan Pasifik

Oleh: Laurens Ikinia - Dosen asal Tanah Papua - Wakil Direktur Institute of Pacific Studies Universitas Kristen Indonesia Jakarta

Minggu, 25 Agustus 2024 – 14:21 WIB
Dosen asal Tanah Papua - Wakil Direktur Institute of Pacific Studies Universitas Kristen Indonesia Jakarta Laurens Ikinia. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Indonesia merupakan negara yang memainkan peranan penting di Kawasan ASEAN dan Pasifik, khususnya di Kawasan penyebaran etnis Melanesia.

Posisi Indonesia tentu tidak terlepas dari berbagai tantangan dan peluang dalam berdiplomasi dengan negara-negara di regio julukan “Blue Oceania”.

BACA JUGA: Warga Indonesia yang Tinggal dan Bekerja di Kawasan Pasifik Berbagi Pengalaman Mereka

Berdiplomasi dengan negara-negara Oseania sering menyebabkan atmosfer suhu di Jakarta yang cukup bergelombang.

Negara yang terletak di 6o LU (Lintang Utara) – 11o LS (Lintang Selatan) dan 95o BT (Bujur Timur) – 141o BT (Bujur Timur) ini berdiri pada Kawasan Asia di bagian baratnya dan Kawasan perairan Pasifik di bagian timurnya.

BACA JUGA: Pekerja Asing Dari Kawasan Pasifik Selamatkan Industri Buah Beri di Australia

Secara demogarfis, kawasan kepulauan Pasifik di Indonesia didiami oleh masyakat Indonesia berumpun Melanesia.

Mereka tersebar di beberapa provinsi, yakti Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara dan enam provinsi di Tanah Papua.

BACA JUGA: Apakah Negara Sudah Mengindonesiakan Tanah dan Orang Papua?

Menurut Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, dari 280 juta penduduk Indonesia, jumlah penduduk berumpun Melanesia yang mendiami kesembilan provinsi tersebut diperkirakan sekitar 13 juta jiwa.

Kenyataan posisi Indonesia secara geografis dan demografis tersebut secara politik sepenuhnya belum bisa meyakinkan negara-negara Melanesia untuk menerima Indonesia sebagai keluarga mereka.

Negara-negara Melanesia cenderung menerima Indonesia ketika Indonesia datang dengan kekuatan finansial yang besar. Mereka lebih menerima Indonesia dari aspek ekonomi dan pembangunan.

Tentu  segala upaya Indonesia yang sudah dilakukan belum meyakinkan para politisi dan mitra lainnya di Washington, Camberra, Wellington, Suva, Port Moresby, Port Villa, Honiara dan ibu kota negara Pasifik lainnya.

Indonesia harus memainkan perannya seperti yang sudah Australia, New Zealand (Selandia Baru) dan United States of America wujudkan di Pasifik.

Pada tahun 2011 Indonesia menerima hembusan angin segar dari gelombang lautan Pasifik dengan disambut sebagai Negara Pengamat (Observer Member) pada forum sub-kawasan di Pasifik, Melanesian Spearhead Group (MSG).

Pada tahun 2015 dengan segala upaya Indonesia kemudian menjadi Negara Anggota Asosiasi (Associate Member) pada forum tersebut.

Penerimaan ini telah menunjukkan negara-negara MSG yang terdiri dari Republic of Fiji, Papua New Guinea, Solomon Islands, Republic of Vanuatu and Front de Liberational De Nationale Kanak et Solcialiste (FLNKS) melihat Indonesia dengan lensa “Melanesian Way”.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode pertama mengeklaim Indonesia akan menjadi anggota penuh (Full Membership).

Namun, ternyata hal itu tidak semudah yang diungkapkan oleh beberapa menteri sebagaimana terpublikasi pada berbagai media masa. Sudah tentu Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan meneruskan perjuangan itu.

Setidaknya legasi yang akan diingat oleh generasi berikut adalah administrasi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil meluluskan Indonesia sebagai Observer Member pada forum MSG dan administrasi Presiden Joko Widodo menaikkan status dari Obeserver menjadi Associate Member pada forum tersebut.

Tinggal selangkah lagi Indonesia menjadi anggota penuh. Apakah hal itu akan terwujud dalam kepeminpinan Prabowo-Gibran, hanya waktu yang akan menjawab.

Sementara itu, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Timor Leste berstatus sebagai Observer pada forum sub-regional itu. ULMWP merupakan organisasi induk dari tiga organisasi besar yang memperjuangkan upaya pemisahan Papua dari NKRI.

Tiga organisasi yang dimaksud yakni Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB), Parlemen Nasional Papua Barat (PNWP), dan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

ULMWP didirikan pada tahun 2014 atas desakan MSG agar organ-organ perjuangan yang berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia menjadi satu.

Apa maksud MSG dengan persatuan ini tentu menjadi pertanyaan dan buah bibir para pemerhati isu Papua dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Apakah status ULMWP dan Timur Leste akan dinaikkan menjadi Associate Member dan kemudian Full Membership selayaknya sebagai keluarga Melanesia, hanya waktu yang akan menjawab.

Di Kawasan Pasifik, selain MSG ada juga Pacific Islands Forum (PIF) atau Forum Negara-Negara Pasifik.

Kedua forum tersebut selalu menjadi Battle Ground and Battle Stage antara pemerintah Indonesia dan ULMWP melalui negara-negara pendukungnya.

Pacific Islands Forum yang anggotanya terdiri dari 18 negara yang tersebar di Kawasan Oseania tersebut merupakan tempat bergulirnya bola panas, Isu Tanah Dan Orang Papua.

Mengingat ikatan emosional yang terbangun sebagai sesama serumpun dan sebagai bangsa yang pernah dijajah, setiap peristiwa yang mendatangkan luka dan duka di atas Tanah Papua selalu menjadi perhatian masyarakat Pasifik.

Apa lagi dengan berkembangnya teknologi informasi yang tak dapat membendung penyebaran informasi terkait berbagai peristiwa di Tanah Papua.

Dalam hitungan detik atau menit kejadian di Tanah Papua atau di wilayah Indonesia lain cepat tersebar ke belahan dunia lain.

Penduduk yang tersebar di kawasan Oseania terdiri dari tiga rumpun besar, yakni: Melanesia, Polinesia dan Mikronesia.

Fakta geneologi yang dipublikasi pada jurnal Melanesian origin of Polynesian Y chromosomes (2000) menyimpulkan bahwa mayoritas kromosom Y Polinesia dapat ditelusuri ke Melanesia dan Asia. Artinya, DNA orang Pasifik dan orang Indonesia ada persamaannya.

Dari sisi unsur-unsur kebudayaan, kita dapat menemukan banyak persamaan. Unsur-unsur kebudayaan yang dimaksud antara lain sistem Bahasa, sistem pengetahuan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi/mata pencaharian hidup, sistem religi dan sistem kesenian.

Secara antropologi lingustik, kita dapat menemukan banyak kemiripan, misalnya, dalam bahasa Indonesia (Melayu) angka 5 disebut “lima”, dalam bahasa Samoa disebut “lima” juga dan dalam bahasa Maori disebut “rima”.

Dalam bahasan Samoa ikan disebut “i’a” dan bahasan Maori disebut “ika”. Tentu masih ada banyak persamaan dalam antropologi lingustik.

Dalam sistem kekerabatan dan organisasi sosial, kita menemukan kemiripan pada unit-unit sosial dari kebudayaan suku Hubula di Lembah Baliem, Tanah Papua dan suku Maori di Selandia Baru.

Suku Hubula memiliki Oukul (sub klen), Oukul Oak (klen), Ap Doalek (konfederasi), Aogum (aliansi perang).

Hal ini mirip dengan unit-unit sosial Suku Maori, yaitu whanau yang artinya keluarga inti, hapu yang artinya klen dan terdiri dari beberapa keluarga. Iwi artinya konfederasi atau aliansi yang terbentuk dari beberap klen.

Satu hal yang enggan disangkal, ada banyak kemiripan dan persamaan yang dapat ditemukan dalam kebudayaan Nusantara dan ketiga rumpun besar di kepulauan Pasifik.

Belum lagi dilihat dari unsur-unsur kebudayaan yang lain. Hal-hal tersebut di atas kurang mendapatkan perhatian oleh pemerintah dari negara-negara bersangkutan.

Kalau seandainya ada suatu dorongan dari pemerintah untuk melakukan kajian yang lebih jauh, tentu akan membuka mata kita dan mencairkan kekakuhan dan ketegangan yang ada secara politik.

Selain dari pada itu, Indonesia dan negara-negara Pasifik yang rata-rata pernah dijajah oleh bangsa Eropa memiliki warisan kolonialisme yang tidak jauh berbeda dari satu dengan yang lain.

Perjalanan kebangkitan dari jerat mental terjajah ke mental yang sudah didekolonisasi di berbagai sektor mesti menjadi suatu common issue yang dapat diperbincangkan bersama.

Negara-negara Pasifik rata-rata pernah dijajah dan diduduki oleh Bangsa Eropa. Bangsa Eropa menduduki wilayah Nusantara dan Kawasan Oseania dengan tiga Misi, yakni Gospel, Gold and Glory. 

Negara-negara yang pernah menjajah dan menduduki Pasifik antara Kerajaan Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dan Amerika Serikat.

Jadi, negara-negara yang tersebut memiliki banyak warisan kolonialisme dan masih menduduki sebagian kawasan Oceania.

Sementara itu, Tanah Papua bekas kedudukan Kerajaan Belanda dan pada saat sebagai wilayah NKRI hingga hari ini masih menjadi daerah konflik yang menjadi buah bibir berbagai pihak baik di dalam negeri maupun di Luar Negeri.

Menteri Pertahanan RI Prabowo Subiantodalam kapasitasnya sebagai Menhan sekaligus Presiden terpilih melakukan kunjungan ke dua negara penting yang bersebelaan langsung dengan Indonesai di Kawasan Pasifik, yakni Australia pada Selasa 20 Agustus dan Papua New Guinea pada Rabu 21 Agustus.

Menariknya, dalam kunjungan bilateral itu Prabowo mengikutsertakan dua putra bangsa asal Bumi Cenderawasih, Natalius Pigai (mantan Komisioner Komnas HAM RI) dan John Wempi Wetipo (Wakil Menteri Dalam Negeri).

Kehadiran Natalius Pigai dan John Wempi Wetipo dalam pertemuan bilateral tersebut  memberikan makna  tersendiri kepada pemerintah Australia dan juga pemerintah Papua New Guinea.

Bila dimaknai, kehadiran mereka secara tersirat menunjukkan bahwa dalam pembahasan persoalan bangsa Orang Papua juga diikutsertakan. Ini merupakan suatu kehormatan besar dan historis.

Natalius Pigai, mantan Komisioner Komnas Ham RI 2012-2017 yang ikut dalam delegasi Menhan Prabowo melalui akun Twitter atau X@NataliusPigai2 mengungkapkan, "Diplomasi Internasional Bp Prabowo Presiden Terpilih ini saya menyaksikan sendiri dari dekat karena Bp hanya didampingi oleh Pak Sugiono dan Saya. Saya sudah meyaksikan kualitas diplomasi Internasional Bapak. Terima Kasih Rakyat Indonesia telah memilih Pemimpin Kelas Dunia. Tidak lupa saya ucapkan Terima Kasih ke Bp Joko Widodo, Presiden saat ini.”

Konfigurasi kedua figur tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran serius dalam melihat masalah di Kawasan Pasifik.

Salah satu persoalan di Kawasan tersebut yang hingga saat ini menjadi concern Orang Pasifik adalah masalah pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan, marginalisasi dan lainnya di Tanah Papua.

Kehadiran mereka juga memberikan signal bahwa hanya dengan “Melanesian Way of Politics”, persoalan Tanah dan Orang Papua dapat diselesaikan.

Hubungan baik antara Indonesia dan negara-negara kunci di Oseania secara tidak langsung berimplikasi kepada hubungan Indonesia dengan berbagai organisasi regional dan sub-regional yang ada.

Apakah dengan ini peluang Indonesia untuk menjadi Full Membership di MSG makin besar? Tentu membutuhkan upaya yang ekstra karena negara-negara Pasifik rata-rata memiliki pandangan terhadap kebijakan politik Luar Negeri yang cukup dinamis.

Indonesia tentu telah mewujudkan berbagai program bantuan kemanusiaan dan Pembangunan di beberapa negara Pasifik termasuk Solomon Islands, Vanuatu dan lainnya.

Tahun lalu, Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke PNG menyatakan akan memberikan beasiswa kepada 2.000 mahasiswa PNG untuk mengenyam pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Tanah Air (Indonesia).

Prabowo juga menegaskan untuk melanjutkan kerja sama yang sudah dijajaki oleh pemerintahan sebelumnya.

Pemerintah PNG menyambut kabar itu dengan rasa syukur. Hal itu diungkapkan oleh Perdana Menteri PNG James Marape.

Selanjutnya, PM Marape juga menegaskan untuk menghormati kedaulatan negara masing-masing.

Peluang kerja sama yang dibahas akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Namun, dengan melihat realita yang ada di Tanah Papua, OAP makin tersingkirkan dalam berbagai sektor.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memiliki suatu Badan atau Lembaga sebagai Task Force untuk benar-benar memastikan OAP sebagai eksekutor dari people to people connection and Business to Business Network.

Pada umumnya, Indonesia memberikan bantuan kepada negara-negara Pasifik dengan tiga misi.

Pertama, untuk memenuhi kebutuhan negara penerima dan kepentingan keutuhan wilayah kedaulatan NKRI secara politik.

Kedua, untuk menjembatani kepentingan peluang perdagangan dan investasi.

Ketiga, untuk membangun citra Indonesia di Kawasan Pasifik.

Beberapa tahun terakhir, dengan Dipomasi Tangan di Atas Indonesia sudah mengulurkan tangannya kepada negara-negara Pasifik.

Bantuan kemanusiaan kepada negara Pasifik menunjukkan bahwa Indonesia juga merupakan bagian dari “Blue Oceania Continent”.

Negara-negara penerima manfaat mengapresiasi keringanan tangan Indonesia. Selain bilateral affairs, people to people connection and cultural diplomacy adalah pendekatan yang ideal.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler