jpnn.com, JAKARTA - Dalam belantika politik nasional, tak dapat dohindari bahwa Demokrat merupakan partai tokoh. Naik turunnya elektabilitas partai sangat tergantung pada tokoh sentral di Partai Demokrat (PD). Siapa pun pasti paham bahwa tokoh sentral di Demokrat saat ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia merupakan founding father yang memiliki rekam jejak yang panjang dalam dunia politik, militer dan pemerintahan, yang puncaknya memimpin Indonesia selama dua periode.
SBY juga memiliki kualitas personal yang langka, kharismatik dan diterima di semua kalangan. Rekam jejaknya mendamaikan konflik berdarah di Ambon dan Poso hingga mendamaikan konflik berdarah yang menahun di Aceh menjadi prasasti sejarah yang akan terus diingat.
BACA JUGA: 45 Taruna Akademi Partai Demokrat dapat Wejangan Pak SBY
Ketika banyak partai yang pecah lalu membentuk partai-partai sekoci baru, Demokrat relatif stabil karena peran sentral SBY. Kita bisa lihat bagaimana Golkar, Nasdem hingga PKS yang terkenal militan bisa pecah dan terpaksa memunculkan partai-partai baru seperti Gerindra, Perindo hingga Partai Gelora akibat tidak adanya sosok pemersatu partai.
Adanya tokoh sentral di satu sisi adalah anugerah. Selain membuat partai menjadi solid, akseptabilitasnya mudah dikonversi menjadi elektabilitas partai dalam kontestasi Pemilu. Sejarah membuktikan hal ini di Demokrat. Namun di sisi lain, keberadaan tokoh sentral di partai membuat Demokrat punya ketergantungan yang luar biasa pada sosok SBY. Ketika Demokrat gagal meregenerasi tokoh sentral baru, ujung sejarahnya mudah ditebak. Ia akan makin mengecil, bahkan bukan tidak mungkin menjadi partai gurem dalam konteks perpolitikan nasional.
BACA JUGA: Ferdinand Demokrat: Sekalipun Dibayar Rp 100 Triliun, Saya tidak Akan Masuk Partai GeloraÂ
Semua kalangan mengakui kehebatan SBY. Namun ingat, ia juga manusia biasa yang tidak mampu melawan takdir. Ia tidak mampu melawan usia yang menua, tidak mampu melawan takdir untuk ditinggal lebih dulu oleh Ibu Ani. Oleh karena itu, Demokrat perlu segera regenerasi. Suksesi kepemimpinan Partai Demokrat yang jatuh pada tahun 2020 merupakan momen yang menentukan dalam proses regenerasi partai ini ke depan. Kuncinya adalah transisi kepemimpinan PD dari SBY kepada penerus baru dengan kualifikasi kepemimpinan yang mendekati.
Tentunya proses regenerasi tidak bisa seketika. Tidak semudah membalik telapak tangan. Peran SBY masih sangat dibutuhkan. Proses transisi menuju regenerasi partai merupakan keniscayaan.
BACA JUGA: Herzaky: Pemerintah Sebaiknya Fokus Pada Nasib Nasabah Jiwasraya
Siapa Penerus SBY?
Melihat sejarah ke belakang ada benang merah dan rumusan penting yang menjadi kunci bagi penerus SBY dalam memimpin PD. Pertama, ia haruslah memiliki DNA ideologis SBY. SBY punya platform dan pandangan yang ia tanamkan dalam partai dengan ideologi “Demokratis dan Religius,” dan juga diimplementasikan dalam mempimpin RI dengan program “Pro Poor, Pro Growth, Pro Jobs & Pro Environment”.
Kedua, memiliki DNA biologis SBY. Memang ini terkesan berbau dinasti. Tetapi jika kita kembali menengok sejarah, Reputasi dan elektabilitas Demokrat ambruk ketika dilepaskan ke pihak lain non trah keluarga besar Yudhoyono. Ini soal “sense of belonging”. DNA biologis di tubuh ketum memungkinkan pemimpin Demokrat ke depan tidak hanya menjadikan partai ini hanya sebagai tangga untuk panjat politik, tetapi juga memiliki rasa memiliki untuk membesarkan partai layaknya anak sendiri.
Ketiga ia harus punya modal politik yang kuat untuk membangkitkan optimisme partai. Perolehan suara Demokrat yang menurun dua Pemilu terakhir tidak bisa disangkal cukup menurunkan moril para kader. Pemimpin PD ke depan harus memiliki daya lecut baru, freshness, yang bisa membakar moril para kader. Parameternya jelas. Ia haruslah sosok yang memiliki akseptabilitas publik yang tinggi dan diharapkan jadi pemimpin bangsa ked epan. Alat ukurnya hasil survei. Ia harus masuk dalam jajaran tokoh yang diharapkan jadi presiden RI ke depan sehingga Demokrat berpeluang mendapatkan efek ekor jas yang membantu meningkatkan elektabilitas partai.
Keempat, ia harus diterima oleh semua kelompok di Demokrat sebagaimana SBY bisa mempersatukan semua kepentingan di partai tersebut. Tanpa hal itu, Demokrat akan disibukkan oleh permasalahan-permasalahan internal yang tidak perlu menguras energi, padahal di saat yang sama PD harus bergerak memenangkan hati dan pikiran masyarakat.
Kelima, ia harus mengerti dan memahami permasalahan dan tantangan PD saat ini. Baik permasalahan yang mencuat ke publik maupun permasalahan sistemik di organisasi. Contoh masalah yang mencuat ke permukaan adalah ketidakdisiplinan banyak kader dalam komunikasi publik, yang membuat mereka bingung dan bahkan menimbulkan antipati terhadap partai. Juga permasalahan internal, contohnya adalah adanya kader-kader PD yang dibajak partai lain.
Melihat kelima rumusan di atas, sebetulnya sangat mudah membaca siapa sosok penerus SBY dalam memimpin partai berlambang Mercy ini ke depan. Ia adalah AHY. Karena AHY lah kader Partai Demokrat yang paling memiliki kualifikasi tersebut.
Jelas ia merupakan putra biologis dan anak ideologis SBY. AHY juga punya modal politik yang paling kuat. Selain SBY, tidak ada satu pun di internal PD saat ini yang memiliki akseptabilitas publik setinggi AHY. AHY bahkan dalam semua survei masuk dalam tokoh yang diharapkan jadi pemimpin RI ke depan, bersama tokoh-tokoh lain non-PD. Ini faktor kunci kesuksesan PD ke depan. AHY juga dengan gaya bicara dan gesture politiknya yang santun, diterima di semua kelompok. Bahkan tidak hanya di internal PD, ia diterima di berbagai kelompok & kalangan politik di Indonesia. Ia juga diterima di dunia internasional.
AHY memang baru tiga tahun di dunia politik, meski ia menjabat wakil ketua umum dan pernah menjabat ketua pemenangan pemilu Demokrat (Kogasma), tentunya ia perlu belajar cepat untuk memahami permasalahan dan tantangan PD saat ini. Solusinya adalah bergerak mengakar ke bawah, meminta nasihat dan masukan SBY dan tokoh-tokoh senior PD, serta membangun tim yang solid yang mengombinasikan pengalaman juga spirit anak muda. Kombinasi ini akan memungkinkan Demokrat melaju secara efektif dan efisien menghadapi dinamika ke depan, terutama Pilkada 2020 yang sudah di depan mata, juga Pemilu dan Pilpres 2024 yang sangat signifikan menentukan posisi Partai Demokrat ke depan.
Penutup dari tulisan ini, saya mengambil kutipan Roy T Bennett dalam bukunya The Light in the Heart. Ia mengatakan “Great leaders create more leaders, not followers.” SBY sudah paripurna menjadi pemimpin. Sekarang saatnya bagi SBY melahirkan pemimpin hebat baru di tubuh Partai Demokrat yang bisa membawa partai biru berlambang Mercy ini kembali berjaya dan sukses menghadapi berbagai dinamika dan tantangan di masa depan.(***)
Penulis adalah Pengamat Politik sekaligus Direktur Manilka Research.
Redaktur & Reporter : Friederich