Tantangan Guru Daerah Terpencil Berat

Jumat, 14 Desember 2012 – 12:19 WIB
MEULABOH--Program Sarjana mengabdi pada daerah terdepan, terluar, terpinggir (SM-3T ), bertujuan memeratakan pendidikan di Indonesia telah digulirkan. Namun, akibat beratnya Medan yang dilalui untuk mengajar menjadi tantangan tersendiri bagi para guru SM-3T. Demikian diutarakan anggota Komisi X DPR RI, Raihan Iskandar, Lc,MM, Kamis (13/12), melalui telpon selularnya.

Salah satu contoh, kata Raihan, yaitu 2 guru muda program SM-3T Winda dan Geugeut yang mengabdi di Aceh tewas karena terseret arus sungai Simpang Jernih yang sangat deras. Daerah tersebut, kata Raihan, memang masih minim infrastruktur. “Tidak ada jalan raya, listrik, sinyal telepon, sarana transportasi yang minim, dan gurunya juga  dengan honor kecil,” ucapnya.

Raihan mengaku berduka dengan kejadian itu. Semoga hal ini tidak menyurutkan langkah mulia para guru-guru dalam program SM-3T untuk terus mengabdi pada daerah terpencil. “Pemerintah harus merespon insiden ini secara bijaksana. Hendaknya, jadikan kejadian tersebut sebagai cambuk agar terus melakukan mempercepatkan pembangunan infrastruktur dan pendidikan di Aceh," harapnya.

Anggota DPR RI, asal Daerah Pemilihan (Dapil), Aceh ini juga menjelaskan kalau anggaran dana Pemerintah untuk Aceh cukup besar. Aceh, tuturnya, juga mendapatkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar 6.1 triliun dari APBN pada Tahun 2013. Dana otonomi khusus ini dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Jika dicermati, pasca Tsunami memang terjadi pembangunan infrastruktur besar-besaran termasuk dalam bidang pendidikan yang sangat baik dan bagus di Aceh. Namun hal itu, terkesan belum merata sampai ke daerah terpencil. “Masih banyak sekolah yang minim infrastruktur sehingga akses ke sekolah itu sangat sulit dilalui,” detailnya.

Dengan adanya anggaran Otsus Rp 6,1 triliun, diharapkan Pemerintah Aceh benar-benar memanfaatkan dana tersebut sebaik mungkin dengan tepat sasaran penggunaannya.

Tantangan Pendidikan di Aceh, masih berkutat pada kompetensi guru, infrastruktur pendidikan, dan pemerataan. Ini terlihat dari hasil UKG yang sangat rendah. “Nilai UKG di Aceh hanya 37.62. di bawah nilai rata-rata nasional yang mencapai 43.84,” perjelasnya.

Hal ini, sambung Raihan, tentu menempatkan Aceh pada urutan ke-2 terendah nilai UKG se-Indonesia. Angka Partisipasi Kasar (APK) tahun 2011 untuk SD adalah 100.59, SMP 96.46 dan SMA 78.92. Dari data itu, diketahui bahwa angka putus sekolah dari SMP ke SMA masih cukup tinggi. Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh tahun 2010 adalah 71.70.

Sementara jumlah guru di Aceh sampai dengan tahun 2010, sekitar 76.000. Ini menandakan masih belum merata penempatan guru, misalnya ada di satu kecamatan yang hanya memiliki 18 guru PNS, sesadangkan SD hanya terdapat 9 unit, di situ.

Memang cukup berat tantangan, hal ini dianggankan Raihan, menjadi cambuk bagi Pemerintah Aceh untuk terus berjuang membangun kualitas dunia pendidikan di Aceh agar mampu menghasilkan sumber daya manusia yang dapat mengemban peradaban Aceh pada masa yang akan datang.(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yayasan Usakti Dituding Ingin Kuasai Aset

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler