jpnn.com - Sesuai konstitusi, Jokowi akan dilantik pada 20 Oktober 2019 untuk masa bakti 2019-2024. Ini merupakan periode kedua Jokowi, setelah kembali mengalahkan pesaing lamanya, Prabowo Subianto, dalam 2 (dua) kali pilpres yakni 2014 dan 2019.
Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menegaskan tidak memiliki beban lagi pada periode kedua ini. Apa benar Jokowi sudah tidak memiliki beban lagi?
BACA JUGA: PDIP Buka Pintu Koalisi untuk Semua Partai, Termasuk PKS
Jokowi telah mengumumkan kepada publik bahwa komposisi kabinetnya pada periode kedua adalah 55% untuk profesional, dan sisanya, 45% untuk partai politik. Tentunya berita ini menjadi kabar baik bagi kalangan profesional, namun kabar buruk bagi partai pengusung.
Dikatakan kabar baik bagi profesional karena ada ruang pengabdian yang lebih besar kepada kelompok profesional untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan. Kalau dalam pemerintahan Soekarno dulu kita pernah dengar Zaken kabinet (kabinet ahli). Apakah Jokowi hendak mengadopsi Zaken kabinet atau mengambil pola hibrida yakni dari kalangan ahli yang profesional dan kalangan partai politik.
Berita buruk bagi partai politik (parpol) adalah sempitnya ruang bagi parpol pengusung untuk mengisi posisi strategis dalam kabinet. Sementara parpol pengusung terdiri dari berbagai partai politik baik yang lolos parliamentary threshold (PT) maupun yang gagal. Partai yang lolos PT: PDIP, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP. Parpol pendukung Jokowi-Amin yang tidak lolos ke senayan adalah Hanura, PSI, Perindo, PKPI dan PBB.
BACA JUGA: Koalisi Jokowi Belum Sepakati Jabatan Ketua MPR buat Golkar, Ini Sebabnya
Jadi ada 10 (sepuluh) partai politik yang mendukung Jokowi-Amin dalam pilpres 2019. Dengan demikian, Jokowi mesti memikirkan distribusi peran dalam kekuasaannya kepada parpol pengusungnya.
Terbatasnya kursi kementerian yang diberikan bagi kalangan parpol bisa menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi Jokowi. Situasi akan semakin sulit manakala distribusi kekuasaan tidak merata/berimbang (berdasarkan kekuatan politik di Senayan) bagi partai koalisi.
Menguatnya Faksionalisasi Koalisi Jokowi
Hambatan utama Jokowi pada periode yang kedua adalah menjaga kondusivitas koalisi. Sejak beberapa bulan yang lalu, gelagat faksionalisasi sudah terlihat. Pada 22 Juli 2019 terjadi pertemuan 4 (empat) ketua umum partai koalisi Jokowi-Amin di DPP Partai Nasdem, yakni Surya Paloh selaku tuan rumah, Airlangga Hartanto (Ketua Umum Golkar), Muhaimin Iskandar (Ketua umum PKB) dan Suharso Monoarfa (Ketua Umum PPP).
Inti pertemuan menyoroti Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yang belum membahas komposisi kabinet, tetapi ada isu yang berkembang bahwa ada partai di luar koalisi yang hendak bergabung. Yang menjadi tanda tanya besar dari pertemuan ini adalah ketidakhadiran PDIP. Padahal PDIP merupakan partai yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam koalisi karena Presiden Jokowi merupakan kadernya. Apakah ini merupakan sinyal bahwa koalisi sedang ada goncangan politik.
Pada 24 Juli 2019 Prabowo menyambangi Mega dikediamannya di Menteng. Pertemuan ini mengejutkan mitra koalisi PDIP, sebab semua orang tahu bahwa Prabowo merupakan lawan berat Jokowi selama 2 (dua) kali pertarungan pilpres. Berbagai kecurigaan muncul di ruang publik, apakah ada kesepakatan baru antara Mega dan Prabowo untuk masuk dalam pemerintahan Jokowi-Amin?
Hingga saat ini publik masih menunggu. Pertemuan ini seolah-olah sebagai balasan terhadap pertemuan partai koalisi di DPP Nasdem (22 Juli 2019) yang dihadiri oleh 4 (empat) ketua umum koalisi, minus PDIP.
Pertemuan tersebut telah memicu mitra koalisi melakukan manuver politik. Sejam sebelum Mega menerima Prabowo, Surya Paloh (Ketua umum Nasdem) menerima kehadiran Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang merupakan kompetitor Ahok-Djarot dalam pilkada DKI Jakarta, 2017. Pertemuan Surya Paloh dan Anies telah menimbulkan persepsi bahwa Surya Paloh akan mendukung Anies dalam pilpres 2024 atau dalam politik jangka pendek mendukung Anies di pemerintahan DKI Jakarta.
Kalau dilihat dari dinamika politik yang terjadi, kelihatan sangat jelas bahwa beban yang paling berat bagi Jokowi ada dalam tubuhnya sendiri, yakni beban mengatur koalisi yang terlampau gemuk. Mendamaikan kelompok koalisi yang bersebrangan tidaklah mudah.
Dalam pelantikan anggota DPR RI pada 1 Oktober 2019 kemarin, seolah mengkonfirmasi keretakan hubungan elit koalisi Jokowi. Pada saat Surya Paloh hendak menjabat tangan, Megawati menghindar dan bahkan mengalihkan pandangan ketempat lain, seolah tidak ingin berjabatan tangan dengan Surya Paloh. Jokowi mesti cerdas melihat situasi ini agar tidak menjadi beban dalam pemerintahan 5 (lima) tahun kedepan.
Jokowi akan semakin kuat, manakala dia mampu menyelesaikan beban faksionalisasi dalam koalisinya. Jika tidak mampu melakukan rekonsiliasi politik secara ke dalam, maka faksi ini akan semakin menguat kedepan. Ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi pemerintahan Jokowi kedepan. Jokowi perlu mendeteksi secara dini agar faksi ini tidak melebar dan membebani kekuasaan selama 5 (lima) tahun ke depan.
*) Penulis adalah Pendiri Lembaga Kajian Isu Publik/LKIP
Redaktur & Reporter : Friederich