JAKARTA - Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Setyanto Santosa mengatakan proses hukum terhadap PT Indosat dan anak usahanya, PT Indosat Mega Media (IM2) ke pengadilan Tipikor sebagai tragedi hukum yang bisa mengubur industri telekomunikasi secara keseluruhan di Indonesia. Betapa tidak, jika Indosat dan IM2 dinyatakan bersalah dalam kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi seperti yang didakwakan Kejaksaan Agung, maka seluru pelaku usaha jasa penyelengga internet akan gulung tikar.
Hal itu diungkapkan Setyanto Santosa saat berbicara dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi I DPR. Selain Mastel, hadir dalam RDP itu adalah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
"Semua on track sesuai dengan UU 36/99 soal telekomunikasi. Kalau mereka dinyatakan bersalah, maka kami semua akan gulung tikar, penyelenggara jasa internet yang kebanyakan UKM, semua akan dikenakan denda Rp1,3 triliun," kata Setyanto Santosa dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi I DPR RI, Selasa (22/1).
Ditambahkan Setyanto, Mastel, BRTI dan asosiasi lain sudah sejak lama memberikan masukan kepada Kejaksaan. Namun, Kejaksaan tidak goyah dan justru bernafsu menyelesaikan masalah ini. “Nantinya pelaku industri kehilangan pegangan pedoman, karena regulator tidak dihargai. Padahal kita berjalan diatur regulator, namun surat-surat penjelasan regulator tak pernah digubris, malah sekarang sudah disidang di Tipikor," ujarnya.
Ditambahkannya, dikalangan pelaku industri telekomunikasi, Denny AK (pelapor IM2 dan Indosat) adalah sosok yang dikenal sebagai pemeras. Denny sendiri tertangkap tangan saat memeras Indosat dan divonis PN Jakarta Pusat 1,4 tahun penjara.
Sementara itu, Tantowi Yahya, anggota Komisi I mengatakan ada yang salah dalam sistem hukum kita. Apalagi antar lembaga negara salah tafsir soal suatu hal. "Artinya, kita melihat kecacatan dalam hukum kita, tugas kita untuk membenarkan hukum. Sudah ada kriminilisasi dalam sistem internet di negeri kita, “ tegasnya.
Politisi Golkar ini menilai kasus yang terjadi pada IM2 dan Indosat merupakan proses kriminalisasi. Kriminilisasi adalah penggiringan kriminal, proses ini bisa saja tidak murni, bisa saja penentuan terdakwa itu didasari oleh tekanan politik dan ekonomi.
"Saya yakin Kejagung sudah mendengar dengan baik penjelasan pelaku industri ini, namun tetap kepada pengadilan Tipikor. Dan bisa jadi pengadilan Tipikor tidak tahu soal ini. Dan ini juga meremehkan regulator (pemerintahan) karena tidak dianggap tidak tahu, saya melihat ini adalah pendholiman,” bebernya.
Tantowi juga membahas peran serta BPKP yang menghitung kerugian negara tanpa dasar yang jelas. Dia tidak setuju BPKP hanya menjadi mesin penghitung dan double standart.
“Kejagung kokoh dalam soal ini, tapi masalah lain seperti pencurian pulsa, Kejagung tidak melihat, padahal bukti-buktinya nyata. Saya berada di pihak Anda sekalian, kita tidak perlu takut, kita harus gugat,” cetus Tantowi didepan pelaku industri telekomunikasi.
Sedangkan Nonot Harsono dari BRTI menjelaskan, blunder Kejaksaan ini benar-benar mengancam ekonomi Indonesia, karena model bisnis yang seharusnya lazim, kemudian dinyatakan bersalah tanpa dasar.
“Penetrasi broadband 10 persen saja oleh masyarakat kita, mampu mendapatkan GDP Rp 100 triliun lebih. Dengan kasus ini, penetrasi kita terhambat. Dan penghambatan GDP itu setara Rp260 triliun (20 persen). Karena ISP dan masyarakat akan kena dampaknya. Masalah ini sepele, karena ada ketidakpahaman Kejagung antara frekuensi dari jaringan,” tambah Nonot.(esy/jpnn)
Hal itu diungkapkan Setyanto Santosa saat berbicara dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi I DPR. Selain Mastel, hadir dalam RDP itu adalah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
"Semua on track sesuai dengan UU 36/99 soal telekomunikasi. Kalau mereka dinyatakan bersalah, maka kami semua akan gulung tikar, penyelenggara jasa internet yang kebanyakan UKM, semua akan dikenakan denda Rp1,3 triliun," kata Setyanto Santosa dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi I DPR RI, Selasa (22/1).
Ditambahkan Setyanto, Mastel, BRTI dan asosiasi lain sudah sejak lama memberikan masukan kepada Kejaksaan. Namun, Kejaksaan tidak goyah dan justru bernafsu menyelesaikan masalah ini. “Nantinya pelaku industri kehilangan pegangan pedoman, karena regulator tidak dihargai. Padahal kita berjalan diatur regulator, namun surat-surat penjelasan regulator tak pernah digubris, malah sekarang sudah disidang di Tipikor," ujarnya.
Ditambahkannya, dikalangan pelaku industri telekomunikasi, Denny AK (pelapor IM2 dan Indosat) adalah sosok yang dikenal sebagai pemeras. Denny sendiri tertangkap tangan saat memeras Indosat dan divonis PN Jakarta Pusat 1,4 tahun penjara.
Sementara itu, Tantowi Yahya, anggota Komisi I mengatakan ada yang salah dalam sistem hukum kita. Apalagi antar lembaga negara salah tafsir soal suatu hal. "Artinya, kita melihat kecacatan dalam hukum kita, tugas kita untuk membenarkan hukum. Sudah ada kriminilisasi dalam sistem internet di negeri kita, “ tegasnya.
Politisi Golkar ini menilai kasus yang terjadi pada IM2 dan Indosat merupakan proses kriminalisasi. Kriminilisasi adalah penggiringan kriminal, proses ini bisa saja tidak murni, bisa saja penentuan terdakwa itu didasari oleh tekanan politik dan ekonomi.
"Saya yakin Kejagung sudah mendengar dengan baik penjelasan pelaku industri ini, namun tetap kepada pengadilan Tipikor. Dan bisa jadi pengadilan Tipikor tidak tahu soal ini. Dan ini juga meremehkan regulator (pemerintahan) karena tidak dianggap tidak tahu, saya melihat ini adalah pendholiman,” bebernya.
Tantowi juga membahas peran serta BPKP yang menghitung kerugian negara tanpa dasar yang jelas. Dia tidak setuju BPKP hanya menjadi mesin penghitung dan double standart.
“Kejagung kokoh dalam soal ini, tapi masalah lain seperti pencurian pulsa, Kejagung tidak melihat, padahal bukti-buktinya nyata. Saya berada di pihak Anda sekalian, kita tidak perlu takut, kita harus gugat,” cetus Tantowi didepan pelaku industri telekomunikasi.
Sedangkan Nonot Harsono dari BRTI menjelaskan, blunder Kejaksaan ini benar-benar mengancam ekonomi Indonesia, karena model bisnis yang seharusnya lazim, kemudian dinyatakan bersalah tanpa dasar.
“Penetrasi broadband 10 persen saja oleh masyarakat kita, mampu mendapatkan GDP Rp 100 triliun lebih. Dengan kasus ini, penetrasi kita terhambat. Dan penghambatan GDP itu setara Rp260 triliun (20 persen). Karena ISP dan masyarakat akan kena dampaknya. Masalah ini sepele, karena ada ketidakpahaman Kejagung antara frekuensi dari jaringan,” tambah Nonot.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Mulai Lirik Sepeda Motor Listrik
Redaktur : Tim Redaksi