Target 2025, Pemanfaatan Batu Bara Hanya 30%

Rabu, 04 Desember 2019 – 07:20 WIB
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Kaltim Post/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah berencana mengurangi konsumsi batu bara sebagai pembangkit energi di dalam negeri.

Dalam road map Kebijakan Energi Nasional (KEN) dirumuskan bahwa pemanfaatan batu bara dalam bauran energi nasional ditargetkan hanya 30 persen pada 2025. Jumlah itu pun ditargetkan untuk diturunkan menjadi menjadi hanya 25 persen pada 2050.

BACA JUGA: PLTU Celukan Bawang Diminta Beralih dari Batu Bara ke Gas

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia mengatakan, selain konsumsi batu bara yang tertinggal jauh dibandingkan negara lainnya di dunia, urusan pemanfaatan limbah batu bara pun setali tiga uang. Di negara maju seperti Amerika Serikat, India, China, dan Jepang mereka menyerap fly ash, bottom ash, dan gipsum sebagai bahan pembuatan jalan, jembatan, paving blok, semen, dan sebagainya.

Hendra Sinadia mengungkapkan, di negara lain limbah batu bara tidak dianggap sebagai limbah B3 atau bahan berbahaya dan beracun.

BACA JUGA: Produksi Batu Bara Diprediksi Menurun

“Limbah batu bara, abu batu bara itu bisa digunakan untuk bahan konstruksi di berbagai negara. Cuma di sini saja dianggapnya sebagai B3. Ini kan jadi masalah. Padahal di negara-negara lain seperti di Jepang. Limbah batu bara itu dijadikan bahan konstruksi, bahan bendungan, jalan. Jumlahnya besar, bisa dimanfaatkan sebenarnya,” urai Hendra dalam siaran persnya, Rabu (4/12).

Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman juga mengungkapkan hal menarik terkait pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU). Dirinya mengungkapkan pernah beberapa kali mengunjungi PLTU Paiton di Probolinggo Jawa Timur.

Selama kunjungan, dirinya justru mengaku tidak menemukan keluhan dari masyarakat sekitar. Sebagai catatan, PLTU Paiton sendiri sudah berdiri sejak 1994 sebagai salah satu PLTU terbesar dan penyuplai listrik terbesar di daerah Jawa-Bali.

“PLTU Paiton itu menggunakan batu bara sebagai bahan bakunya dan yang paling menarik dia hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai. Kami beberapa kali kesana, sejauh ini keluhannya tidak ada. Masyarakat malah sangat senang dengan kehadiran PLTU ini. Karena PLTU itu menjadi penopang ekonomi warga sekitar. Lalu terumbu karang dan biota-biota laut yang ada hidup di sekitar itu dan tidak terganggu dengan kehadiran PLTU itu,” jelas Ferdy.

Penemuan itu rupanya berbanding terbalik dengan asumsi yang dianutnya sebelum berkunjung ke Paiton.

“Saya pertama kali berasumsi ini PLTU deket banget dengan bibir pantai, kalau dia berdekatan dengan bibir pantai dia pasti merusak biota laut dan karang karangnya. Nah ternyata dari penelusuran tidak demikian. Malah masih terjaga dengan baik, tidak ada satupun yang rusak. Itu hasil penelusuran kami di lapangan. Lalu keluhan keluhan dari masyarakat terkait dengan polutan polutan itu ya kajian kami di paiton itu belum ada ya. Ketika kami menelusuri lebih jauh ternyata manajemen bilang bahwa proses awal dalam pembuatan rancangan desain Paiton dilakukan dengan hati-hati,” beber Ferdy.

Menurut dia, manajemen Paiton sedari awal sudah mengukur efek dan dampak jika terjadi kerusakan lingkungan hidup dari keberadaan PLTU itu.

“Sejak awal memang kalau kajian awalnya sudah merusak lingkungan hidup pasti tidak akan dikasih AMDAL oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan pasti akan diberi teguran-teguran. Nah pihak Kemen LHK sudah mengakui bahwa memang PLTU itu patut mendapatkan penghargaan karena memang pengelolaannya sangat bagus,” terang Ferdy.

Ferdy mengaku menemukan hal serupa pada PLTU unit 1 dan 2 di Cirebon. PLTU unit 1 Cirebon itu 660 megawatt dan akan dikembangkan ke unit 2 menjadi 1000 megawatt. Nah sama dengan Paiton, PLTU unit 1 Cirebon itu mengadopsi teknologi yang sama, menjaga jangan sampai mencemarkan lingkungan.

Sampai sekarang Kemen LH pada kedua PLTU itu belum mengeluarkan teguran apa apa. Bahkan PLTU itu menjadi rujukan para peneliti bahwa ada sampel yang cukup sukses untuk membangun PLTU.

Ferdy menyimpukan, meskipun secara teoritis batu bara mengandung karbon yang tinggi dan unsur polutannya besar tetapi resiko itu bisa diminimalisir dengan manajemen yang mengelola PLTU dengan baik. Itu sebabnya, perusahaan-perusahaan yang masuk dalam pengelolaan PLTU harus benar-benar dikawal benar oleh Kemen KLH dengan kerja sama Kementerian ESDM.

Sejalan dengan pertimbangan tersebut di atas, setiap PLTU yang ada di Indonesia sudah dilengkapi dengan Super Critical Represitator untuk me-reduce dan meminimalisasi sebaran fly ash buttom ash. (esy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler