jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, kombinasi antara kenaikan bunga kredit dan bunga simpanan justru membuat masyarakat memilih menyimpan uang di bank dan menahan diri untuk meminjam kredit baru.
Menurut dia, masyarakat kelas menengah akan mengalihkan sebagian uang pendapatan ke bank di tengah ketidakpastian ekonomi dan pelemahan kurs rupiah.
BACA JUGA: Distribusikan Kartu Berlogo GPN
Jika simpanan di bank terlalu besar dan sedangkan pertumbuhan kreditnya melandai, hal itu akan mengganggu fungsi intermediasi perbankan.
Bagi pelaku usaha, sambung Bhima, naiknya bunga kredit mengakibatkan cost of borrowing atau biaya pinjaman meningkat.
BACA JUGA: BI Agresif Distribusikan Kartu Berlogo GPN
Kondisi itu akan ditransmisikan ke kenaikan harga barang produksi lokal. Omzet pelaku usaha turun.
Imbasnya, masyarakat sebagai konsumen harus membayar lebih barang yang dibeli.
BACA JUGA: Alasan Utama BI Pertahankan Suku Bunga Acuan
’’Efeknya akan kontraktif ke perekonomian alias menghambat pertumbuhan ekonomi. Era bunga mahal membuat ekonomi tahun ini hanya tumbuh maksimal 5,1 persen, jauh di bawah target APBN 5,4 persen,’’ tutur Bhima, Jumat (27/7).
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, bunga kredit modal kerja tercatat 11,97 persen pada April 2018.
Pada Juli ini terdapat kenaikan 16 bps menjadi 12,13 persen. Di sisi lain, bunga deposito perbankan pada April 2018 tercatat 5,56 persen, kemudian naik 15 bps pada Juli 2018 menjadi 5,71 persen.
Menurut dia, kenaikan suku bunga kredit maupun deposito masih cukup terkontrol karena tingkat kenaikannya tidak besar.
’’Rata-rata bunga deposito satu bulan naik jadi 5,71 persen. Tidak terlalu besar. BI melakukan adjustment untuk menghadapi gejolak global. Ekonomi domestik masih memerlukan stimulus, BI melakukan pelonggaran makro dan mencukupi likuiditas,’’ kata Mirza. (ken/c20/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Membedah Peran Kelapa Sawit Bagi Pertumbuhan Ekonomi
Redaktur : Tim Redaksi