Tarif Cukai Tembakau Minim Sosialisasi

Kamis, 02 Agustus 2012 – 19:38 WIB
JAKARTA – Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Adrinof Chaniago, menegaskan, banyak aturan yang tak sinkron dengan kenyataan di lapangan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan disebabkan karena komunikasi yang kurang intensif pihak-pihak terkait.
           
Dia menegaskan, harusnya Kementerian Keuangan melakukan sosialisasi dulu kebijakan dengan pemerintah daerah sebelum memberlakukan kebijakan atau sebuah peraturan.
          
“Masalahnya sering kebijakan menteri itu tidak dipertimbangkan layak atau tidak, sehingga muncul kontradiksi dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan, soal kondisi lapangan, komunikasi dan persoalan urgensi dari kebijakan tersebut,” kata Adrinof, Kamis (2/8).
           
Disebutkan, contoh kebijakan itu antara lain, Peraturan Menteri Keuangan (PMK Nomor 191.04/2010 tentang tarif cukai hasil tembakau, PMK 241.11/2010 tentang bebas bea masuk impor beras, PMK 147.04/2011 tentang kawasan berikat, PMK 167.11/2011 tentang kenaikan tarif cukai, dan banyak kebijakan lainnya.
           
Lebih lanjut, Adrinof mencontohkan soal PMK 241.11/2010 yang banyak ditentang kalangan DPR dan pemangku kepentingan lainnya. Menurutnya, ini menunjukkan ada ketidaksinkronan di lapangan. “Kurangnya sosialisasi sehingga memunculkan resistensi,” beber dia.
          
Demikian juga PMK 191.04/2010, menurut dia, sejak dua tahun lalu dikeluarkan tetapi juklaknya baru terbit Juni 2012 oleh Dirjen Bea Cukai. “Ini bisa jadi akibat kejar target untuk realisasi anggaran dan perhitungan lainnya,” jelasnya.
           
Seharusnya, lanjut dia, para pihak terkait diajak komunikasi sehingga dapat diketahui kelebihan dan keunggulan dari PMK tersebut. “Untuk PMK 191.04/2010 misalnya, sebaiknya para pelaku industri di bidang tembakau bisa diajak bicara, karena menyangkut industri dan lapangan kerja,” kata dia.
           
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Malang (Gaperoma), Johny, menambahkan sebagai  pelaku dunia usaha sangat percaya dan mendukung dengan adanya peraturan yang wajar dan turut berperan bagi mendorong iklim usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
           
Dalam hal terkait dengan penerbitan atau pemberlakuan peraturan dimaksud pada formulasi peraturan dapat berpengaruh dalam industri rokok nasional. Namun, dia menilai, keluarnya PMK 191.04/2010 ini terkesan terburu-buru dan tanpa adanya sosialisasi yang baik terhadap para "stakeholders" maupun asosiasi dari industri rokok yang terkait. “Setiap peraturan yang dikeluarkan di dalam industri rokok, biasanya mempunyai dampak yang luas dan bukan hanya terkait dengan cukai dan pendapatan pemerintah saja”, ujar Johny.
           
Kesan terburu buru ini tercermin dengan ketidak siapan akan adanya Juklak maupun Juknis yang baru diterbitkan setelah 18 bulan peraturan ini dikeluarkan.  Seperti yang disebutkan diatas, kesan tidak adanya koordinasi dengan direktorat ataupun instansi yang terkait terkesan kental terjadi dimana sampai saat ini baru juklak dari dirjen Bea dan Cukai yang tersedia.
           
Sesuai dengan amanat PMK 191 perusahaan rokok yang memiliki hubungan istimewa (terkait kepemilikan), berimplikasi cukup berat dan membutuhkan waktu yang panjang dan energi yang besar. Konsolidasi perusahaan rokok dengan tingkat produksi kecil, dimaksudkan untuk peningkatan jenis cukai  dari tier rendah ke tier yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan agar penerimaan cukai menjadi lebih besar, yang tentunya berdampak pada harga rokok. Dan Hal ini berpotensi akan mematikan pabrik rokok yang tidak mampu bersaing dan pada akhirnya akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Stiker Tak Turun, SPBU Pasang Peringatan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler