jpnn.com - jpnn.com - Pemerintah mengkaji aturan baru mengenai tarif listrik energi baru dan terbarukan (EBT).
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran mengungkapkan, dalam aturan tersebut, tarif listrik EBT tidak diperbolehkan melebihi biaya pokok produksi (BPP) tiap daerah.
BACA JUGA: Solar Mahal, PLN Mestinya Beralih ke Gas dan Panas Bumi
’’Tujuannya, EBT lebih transparan dan akuntabel,’’ katanya di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta, Senin (23/1).
Pemerintah berusaha menjaga keekonomian EBT benar-benar terukur.
BACA JUGA: Kabel Listrik Kena Antena, Bapak-Anak Meninggal Dunia
Nantinya, harga EBT di berbagai wilayah tidak sama dan disesuaikan dengan potensi.
’’Tapi, yang jelas, maksimAL 85 persen dari BPP daerah, bukan BPP nasional,’’ ujarnya.
BACA JUGA: Mereka Warga Indonesia, 29 Tahun tak Nikmati Listrik
Tumiran menambahkan, penetapan tarif berdasar BPP daerah tersebut diharapkan bisa membuat harga listrik lebih kompetitif.
Dengan begitu, investasi EBT bisa menekan harga serta mengefisienkan skala produksi dan skenario investasi.
Anggota DEN Rinaldy Dalimi menjelaskan, penetapan tarif EBT yang berbeda-beda tiap wilayah diharapkan bisa menguntungkan investor dan membantu PLN.
Terlebih, tarif maksimal 85 persen BPP daerah itu merupakan usul PLN.
Rinaldy menjelaskan, tarif maksimum 85 persen BPP daerah tersebut memiliki beberapa kendala.
Yakni, potensi pengembangan di Pulau Jawa bisa menjadi lebih sulit dengan penetapan tarif itu.
Dia memerinci, BPP listrik di Jawa hanya mencapai Rp 800 per kWh.
EBT menjadi kurang ekonomis untuk dikembangkan dengan harga yang hanya berkisar Rp 650 per kWh.
’’Bisa saja opsi pilihan harga EBT di Jawa nanti maksimum sama dengan BPP nasional. Saat ini teman-teman di sektor EBT juga berupaya menekan harga, mengefisienkan skala produksi dan skenario investasi,’’ jelasnya.
Karena itu, diperlukan adanya kebijakan khusus untuk Jawa yang rencananya disamakan dengan BPP nasional.
Adapun BPP nasional saat ini mencapai Rp 1.400 per kWh.
’’BPP NTT sekitar Rp 2.000 per kWh. BPP Papua tinggi juga, lebih dari Rp 2.000 kWh. Jadi, 85 persen dari itu cukup tinggi. BPP di Jawa sudah rendah sehingga perlu ada langkah khusus supaya berkembang,’’ urainya. (dee/c22/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menunggu 25 Tahun, 9 Desa Akhirnya Nikmati Listrik
Redaktur & Reporter : Ragil