Satu lagi kisah pilu tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Berangkat ke Jordania dengan tekad besar demi keluarga, Tarlem binti Unus Tajeum, TKI asal Subang, Jawa Barat, malah kehilangan nyawa.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
AWES bin Supriadi tampak galau. Pria 44 tahun itu mondar-mandir di depan ruang otopsi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, kemarin (8/1). Awes memang tengah resah menanti otopsi jenazah istrinya, Tarlem binti Unus Tajeum. Otopsi dilakukan karena dia ingin mendapat kepastian penyebab meninggalnya sang istri.
Awes mendengar kabar kematian istrinya dari Dinas Tenaga Kerja Subang pada 20 Desember 2011. Padahal, Tarlem meninggal pada 24 November. Jeda waktu yang hampir sebulan itu mengundang tanda tanya. Pihak keluarga merasakan adanya kejanggalan dalam meninggalnya Tarlem.
Nah, saat tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, kemarin, jenazah Tarlem dilengkapi dokumen dari KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) yang menyatakan bahwa dia meninggal karena sakit jantung.
Ketidakjelasan itu membuat Awes meradang. Dia akhirnya menyetujui proses otopsi jenazah istrinya. "Kami rela meskipun jenazah katanya rusak jika diotopsi," ujar pria kelahiran Subang, 5 Oktober 1967, itu.
Elly Anita, pendamping dari LSM Migrant Care, mengatakan bahwa awalnya keluarga diminta pihak pemerintah agar tidak melakukan otopsi terhadap jenazah Tarlem. Mereka ditakut-takuti bahwa jenazah akan rusak jika diotopsi.
Namun, pihak keluarga bersikukuh melakukan otopsi untuk mencari kepastian penyebab meninggalnya Tarlem. Hasil otopsi Tarlem itu bisa keluar dua pekan lagi.
Kedatangan jenazah Tarlem kemarin sempat diwarnai insiden kecil. Diceritakan Elly, jenazah sempat terombang-ambing karena proses serah terima yang tidak jelas. Ketika mobil yang membawa jenazah sudah meninggalkan bandara, tiba-tiba ada petugas dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang meminta kembali ke bandara. Alasannya, serah terima jenazah harus dilakukan di bandara.
Permintaan itu ditolak keluarga korban. "Akhirnya diputuskan serah terima dilakukan di RSCM saja. Masak sudah musibah, harus diperumit lagi," ucap Elly.
Selain misteri tentang penyebab kematian Tarlem, kasus tersebut diwarnai pemalsuan identitas korban. Hal itu terjadi pada dokumen keberangkatan. Elly mengungkapkan bahwa tanggal lahir Tarlem dipalsukan. Tanggal lahir Tarlem yang benar adalah 10 November 1968.
Namun, dalam paspor dan dokumen lainnya ternyata tertulis 10 Oktober 1980. "Kami akan proses pemalsuan ini," tegasnya.
Elly juga mempersoalkan dokumen dari KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan) Kelas I Soekarno-Hatta yang menyatakan bahwa Tarlem meninggal karena sakit jantung. "Padahal, hasil otopsi belum keluar. Kok bisa mengeluarkan keterangan resmi," ujar Elly.
Sambil menunggu proses otopsi rampung, jenazah Tarlem segera dikebumikan di kampung halamannya, Dusun Krajan, Desa Sukaraji, Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Meski begitu, hal tersebut tidak menyurutkan semangat Awes mencari kepastian atas meninggalnya sang istri. "Saya akan terus menunggu sampai otopsi selesai," kata Awes yang didampingi putranya, Wahyar Ilan, 20.
Awes menceritakan, awalnya berat melepas Tarlem bekerja ke luar negeri. Namun, niat sang istri untuk membantu ekonomi keluarga sangat kuat. Tarlem meminta izin kerja ke luar negeri pada akhir 2009. "Dia maksa betul ingin ke luar negeri," ucap pria yang bekerja sebagai kuli bangunan itu.
Awes pun tak kuasa membendung niat istrinya. Padahal, Tarlem tidak memiliki pengalaman kerja apa pun. Tarlem akhirnya berangkat ke luar negeri (Jordania) dengan bantuan PT Delta Rona Adiguna, sebuah perusahaan jasa pengerah tenaga kerja. Semua biaya ditanggung perusahaan. Tarlem sendiri hanya berbekal uang tunai Rp 100 ribu saat mengadu nasib ke Jordania pada April 2010.
Di awal bekerja, Tarlem rajin menghubungi keluarga. Setidaknya dua kali sebulan dia menelepon Awes. Walau hanya berbincang sekitar sepuluh menit, Awes mengatakan bahwa rasa rindu keluarga kepada Tarlem cukup terobati. Setiap menelepon, Tarlem bertanya tentang kondisi suami, anak, dan sanak keluarga lainnya.
Awes menuturkan, Tarlem bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Ahmad Muhammad dan Waisyah. Soal pekerjaan, Tarlem kepada Awes mengatakan bahwa tugasnya tidak terlalu berat. Yang menjadi masalah justru gaji yang kerap telat.
Hingga Tarlem dinyatakan tewas, sang majikan punya tunggakan gaji enam bulan. Gaji Tarlem adalah Rp 1,5 juta hingga Rp 1,8 juta per bulan. Dia rata-rata mengirimkan uang ke keluarga Rp 2,5 juta dua bulan sekali.
Uang kiriman Tarlem sangat membantu ekonomi keluarganya. Selain untuk biaya sekolah sang anak, uang kiriman itu digunakan untuk membeli tanah dan merenovasi rumah.
Awes menceritakan, uang kiriman dari Tarlem sudah bisa digunakan untuk membeli tanah seluas 15 bata. Satu bata itu luasnya sekitar 3,7 meter persegi. Sedangkan harga tanah di kampungnya Rp 400 ribu per satu bata. "Rencananya untuk mendirikan rumah," ungkap Awes tentang tanah tersebut.
Kali terakhir Awes berkomunikasi dengan Tarlem pada 13 November lalu, sebelas hari sebelum istrinya meninggal. Saat itu tidak ada perkataan Tarlem yang mencurigakan. "Istri saya cuma berpesan tetap menjaga anak," kata Awes.
Tarlem juga bercerita bahwa baru saja diajak umrah oleh majikannya. Dia berniat menceritakan hal itu saat pulang kampung nanti. Tarlem berencana pulang Maret nanti, bertepatan degan berakhirnya kontrak kerja di Jordania.
Awes mengatakan, selama ini istrinya tidak pernah mengeluh sakit. Karena itu, dia sangat penasaran dengan penyebab kematian Tarlem. Jika memang meninggal secara wajar, Awes dan keluarga bakal ikhlas.
Namun, jika ternyata ditemukan penyebab kematian tidak wajar, dia menuntut keadilan. Apalagi, kontrak kerja Tarlem belum berakhir. (*/c4/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasib Tragis Amar Abdullah, Korban Penganiayaan yang Malah Ditahan
Redaktur : Tim Redaksi