jpnn.com - Seniman Betawi Benyamin Sueb pernah membintangi film sinema Tarsan Kota pada 1974.
Film itu mengisahkan Tarsan, yang sejak kecil hidup di hutan dan diasuh oleh seekor gorila, kemudian bermigrasi ke kota besar dan hidup bersama manusia yang satu spesies dengannya.
BACA JUGA: Pimpinan MPR dan Menko Polhukam Bahas Kondisi Papua, Tercipta Kesepakatan Ini
Berbagai kekonyolan terjadi ketika Tarsan hidup bersama komunitas manusia. Nilai-nilai tradisional yang selama ini dijalani Tarsan sebagai manusia hutan harus ditinggalkannya, karena lingkungan modern tidak memungkinkannya mengadopsi cara hidup seperti di hutan.
Tarsan, misalnya, punya pantangan untuk tidak memakan daging hewan. Ketika tinggal di kota, Tarsan terpaksa harus makan daging, karena tidak mudah menjadi vegetarian di kota. Karena melanggar pantangan, Tarsan dikeroyok oleh teman-temannya sendiri seperti monyet, ayam, dan kambing.
BACA JUGA: Kunjungi Papua, BNPP Tinjau Tambak dan Pabrik Sagu
Film komedi itu menceritakan konflik budaya tradisional dengan budaya modern dengan penuh senda gurau, meski dua nilai itu sering bertabrakan. Nilai-nilai budaya modern dianggap sebagai lebih maju dari budaya tradisional, meskipun dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
Budaya modern yang serbapraktis dan positivistik dengan bertumpu pada aturan hukum, menjadikan penyelesaian masalah hukum sering kaku dan malah tidak menghasilkan keadilan.
BACA JUGA: Kabar Duka: Kabinda Papua Mayjen Abdul Harris Napoleon Meninggal Dunia
Sebuah aturan hukum dibuat semestinya untuk menghasilkan keadilan. Namun, dalam praktiknya bukan keadilan yang didapat, tetapi justru malah kerugian.
Masyarakat tradisional punya mekanisme tersendiri untuk mengatasi berbagai konflik di lingkungan mereka. Dalam banyak kasus, mekanisme masyarakat tradisional ini terbukti lebih efektif dan efisien dibanding mekanisme hukum yang diterapkan oleh masyarkat modern.
Karena itu sekarang muncul gerakan untuk kembali ke nilai-nilai dan mekanisme tradisional. Di bidang hukum, Kejaksaan Agung Indonesia mendorong diterapkannya hukum retroaktif yang mengedepankan mekanisme musyawarah di antara para pihak.
Beberapa kasus pidana yang melibatkan kejahatan kecil--misalnya pencurian hasil panen di desa yang nilainya di bawah Rp 2 juta—akan lebih efektif dan efisien jika dilesesaikan dengan penerapan azas retroaktif. Masing-masing pihak saling bermusyawarah untuk membuat mufakat dan kemudian saling memaafkan.
Kehidupan masyarakat tradisional sering dipertentangkan dengan kehidupan masyarakat modern. Hidup manusia modern yang bertumpu pada teknologi dan ilmu pengetahuan serta ditopang oleh aturan hukum positif dianggap sebagai sintesa dari tata hidup tradisional.
Antropolog Jared Diamond melakukan penelitian partisipatif puluhan tahun di tengah masyarakat tradisional Papua, dan menyimpulkan bahwa nilai-nilai tradisional masih sangat relevan sampai sekarang. Bahkan, jika masyarakat modern ingin mendapatkan kembali kebahagiaan yang sejati mereka harus mempelajari kembali nilai-nilai masyarakat tradisional.
Dari hasil petualangannya di hutan-hutan Papua Indonesia dan Papua New Guinea, Jared Diamond menulis buku ‘’The World Until Yesterday’’ mengungkapkan kehidupan masyarakat tradisional yang masih sangat berguna untuk dipelajari manusia modern.
Modernitas dianggap sebagai tolok ukur kemajuan. Manusia modern lebih sejahtera dan lebih makmur. Makanan lebih terjamin dan kesehatan lebih terjaga. Namun, apakah benar manusia modern lebih sejahtera ketimbang masyarakat tradisional?
Diamond membuat pengamatan sederhana dengan memperbandingkan kedatangannya yang pertama ke wilayah Papua pada dekade 1960-an dengan kondisi pada 2000-an.
Tanpa harus melakukan riset ilmiah, Diamond memperbandingkan pemandangan di salah satu bandara kecil di Papua. Ketika ia kali pertama datang ia melihat orang-orang Papua yang badannya lebih langsing dan tegap.
Ketika kali terakhir dia meninggalkan Papua dia melihat orang-orang yang lebih gemuk dengan perut membuncit.
Itulah tanda kemakmuran, tetapi bukan kesejahteraan. Orang-orang yang sejahtera hidup dengan pikiran tenang dan kondisi fisik yang lebih bugar. Orang-orang yang makmur hidup dengan kebutuhan yang terpenuhi, tetapi badannya tidak sehat karena menimbun penyakit.
Menurut pengamatan Diamond, pada awal 1960-an tidak ada penyakit jantung, diabetes, atau ginjal di kalangan masyarakat tradisional Papua. Namun, memasuki milenium baru berbagai jenis penyakit modern bisa ditemui di lingkungan masyarakat tradisional Papua.
Usut punya usut, masyarakat tradisional Papua di masa lalu nyaris tidak pernah mengonsumsi gula dan garam. Sebagai masyarakat yang tinggal di pegunungan, garam sulit didapat kecuali dengan usaha pembuatan ekstra.
Gula juga termasuk barang mahal karena harus didatangkan dari wilayah yang jauh.
Diet orang-orang tradisional hanya terdiri dari umbi-umbian dan daging segar serta buah-buahan. Siapa pun yang mengonsumsi diet semacam ini dipastikan bisa terhindar dari penyakit degeneratif.
Namun, sejak orang-orang kulit putih lebih banyak masuk ke Papua dan mendirikan pabrik-pabrik industri dan memperkenalkan gaya hidup modern, orang-orang Papua ketularan gaya hidup modern, sekaligus ketularan berbagai penyakit yang dibawa oleh gaya hidup modern.
Salah satu--atau salah dua--makanan yang membawa banyak penyakit adalah gula dan garam. Segera setelah gula dan garam dikenal oleh masyarakat Papua pola makan mereka berubah. Makanan yang banyak mengandung garam dan gula menyebabkan berat badan meningkat dengan cepat.
Masyarakat tradisional juga mempunyai pola hubungan keluarga yang berbeda dengan masyarakat modern. Dalam pengamatan Jared Diamond pada 1960-an jumlah penduduk Papua masih sangat jarang, dan kebiasaan mereka hidup nomaden berpindah-pindah tempat membuat mereka menjaga jangan sampai anggota keluarga mereka meningkat dengan tajam, supaya tidak menyulitkan upaya untuk memberi makan.
Dalam masyarakat tradisional dikenal istilah infantisida atau pembunuhan terhadap bayi. Hal ini terjadi melalui dua mekanisme, pembunuhan bayi dilakukan secara selektif, dan pembunuhan alamiah yang terjadi karena penyakit dan kondisi alam. Di alam tradisional yang serbaterbatas, tingkat kematian bayi selalu tinggi.
Hal ini menjadi mekanisme alam untuk menyeleksi jumlah anggota keluarga atau anggota suku supaya tidak terlalu besar.
Masyarakat tradisional juga melakukan kontrol terhadap anggota suku yang sudah tua dan uzur. Dalam pengamatan Jared Diamond, ada suku yang melakukan eliminasi dengan keras terhadap orang-orang tua dan uzur.
Biasanya, ketika suatu suku melakukan perpindahan lokasi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, mereka akan menghitung berapa banyak rombongan yang bisa dibawa.
Orang-orang tua yang sudah uzur biasanya ditinggal karena dianggap tidak akan mampu berjalan mengikuti rombongan. Orang-orang tua ini diberi bekal secukupnya, tetapi umumnya orang tua menyadari bahwa ia hanya akan bisa bertahan beberapa hari saja.
Orang-orang tua ini tidak akan bisa mencari makanan sendiri dan tidak akan bisa mempertahankan diri dari serangan binatang buas. Mekanisme ini sama dengan eutanasia yang sekarang diterapkan oleh orang modern.
Salah satu nilai tradisional yang luhur yang diamati oleh Jared Diamond adalah bahasa. Saat ini ada sekitar 7.000 bahasa tradisional yang dipakai oleh suku-suku di pedalaman Asia sampai Afrika.
Di Papua saja ada sekitar seribu bahasa tradisional. Namun, bahasa-bahasa tradisional itu terancam punah karena modernitas.
Orang-orang tradisional itu rata-rata menguasai empat sampai lima bahasa tradisional di wilayahnya. Hal itu penting untuk berkomunikasi dan bertahan hidup. Manusia modern sekarang cenderung hanya menguasai satu bahasa saja.
Di Amerika Serikat, misalnya, anak-anak muda hanya menguasai bahasa Inggris karena orang tuanya tidak mengajarkan mereka bahasa lain.
Di Indonesia fenomena yang sama juga terjadi. Orang-orang tua cenderung mengajarkan anak-anaknya Bahasa Indonesia dan tidak mengajarkan bahasa daerah sebagai bahasa kedua. Akibatnya, bahasa-bahasa tradisional makin kehilangan penutur, dan suatu ketika nanti bahasa-bahasa lokal itu akan punah.
Modernitas membawa kepunahan bahasa sebagai simbol prulalitas. Hidup manusia modern serbanyaman dan praktis, tetapi bagi Jared Diamond nilai-nilai tradisional mempunyai keunggulan yang tetap relevan untuk diadopsi oleh masyarakat modern.
Jared Diamond menceritakan kisah Tarsan Kota versi Papua. Kali ini si Tarsan adalah seorang gadis bernama Sabine Kuegler, yang sejak balita hidup di hutan-hutan Papua bersama orang tuanya yang bekerja sebagai misionaris asal Jerman.
Sampai dengan usia menjelang 20 tahun Kuegler tinggal di lingkungan masyarakat tradisional. Ketika kemudian orang tuanya mengakhiri tugas dan pulang kembali ke Jereman, Sabine ikut serta. Ia bingung hidup di kota besar yang serba canggih dan cepat. Sampai berbulan-bulan Sabine tidak berani menyeberang jalan.
Sabine Kuegler menuliskan kisahnya dalam buku ‘’The Jungle Child’’ pada 2006. Ia menyimpulkan bahwa hidup modern membuatnya kehilangan hubungan dengan sekitar, dan ia ingin kembali ke Papua untuk hidup di hutan bersama keluarga tradisionalnya. (*)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror