Tasawuf Gaya Dahlan Iskan

Selasa, 23 Juli 2013 – 06:45 WIB
SAYA mencoba melihat sisi tasawuf Dahlan Iskan yang kebetulan sama-sama alumni Pesantren- dan sama-sama dari Pesantren yang menganut tarikat muktabarah, hanya bentuknya berbeda, jika Dahlan Iskan dari keluarga tarikat Sathariyah, saya dari keluarga tarikat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (tapi sampai sekarang saya masih tetap di luar “ring” ajaran tarikat tersebut).

Pengamatan saya, ajaran tasawuf tersebut sangat berpengaruh membentuk kepribadian Dahlan Iskan apabila ditelusuri dua referensi yang menjadi acuan: Pertama, sikap hidup yang menjaga nilai-nilai kebenaran agama; Kedua, tulisan-tulisan baik berupa buku atau tulisan berseri yang selalu hadir di grup Jawa Pos. Ini ternyata berimplikasi pada sikap hidup Dahlan Iskan yang “sumeleh”(menerima kententuan Allah), yang menjadi filosofis etos kerja sampai menjadi Menteri BUMN saat ini.

Jika menelesuri asal kata tasawuf yang berarti: bulu wol, suci dan bijaksana, maka akan melahirkan rangkaian makna tasawuf yang berarti sikap hidup yang sederhana dilandasi suci hatinya dalam rangka menuntun perilaku yang bijak, baik ucapan, pikiran dan perbuatan. Rangkuman tersebut yang dalam bahasa etika sering disebut akhlaqul karimah (budi pekerti yang baik).

Makna tasawuf tersebut diwujudkan oleh Dahlan Iskan melalui kalimat pendek “sangkan paraning dumadi”( darimana dan akan kemana hidup dan semua kejadian). Ajaran tasawuf Sathariyah ini dijadikan filosofis hidup “ saya tahu kapan harus ngotot dan kapan harus sumeleh.” Ini adalah sikap optimisme tinggi. Artinya kesempatan hidup yang sebentar digunakan sebaik-baiknya untuk berkarya agar setelah meninggal mendapatkan prestasi terbesarnya yaitu ridho Allah Swt.

Untuk mendapatkan prestasi besar tersebut, Dahlan Iskan mencoba memaknai tasawuf sebagai berikut: Pertama, ikhlas. Dahlan Iskan mencoba sekuat tenaga mengamalkan ikhlas dalam menghadapi segala problem hidup. Latar belakang yang ditempa dengan kemiskinan dan didikan orang tua yang agamis ternyata juga melahirkan sikap “nrimo” (menerima) suatu kematian pada saat karir sedang menanjak.

Sikap menerima keputusan Allah terekam dengan jelas ketika “peredaran darah” dan “emosinya” normal pada saat akan menjalani transplantasi liver. Hati adalah sentral kehidupan. Kegagalan transplantasi adalah kematian (sebagaimana yang dialami oleh Cak Nur yang menimbulkan efek perubahan warna hitam pada kulitnya).

Sikap tegas menerima “ganti hati” adalah perwujudan puncak “kepasrahan”, yang pada dirinya sudah tidak memikirkan kekayaan, dan karir yang ada pada dirinya. Kedua, disiplin. Bagi Dahlan Iskan waktu adalah ibadah. Karenanya digunakan sebaik-baiknya untuk beribadah dalam berbagai bentuk seperti bisnis, belajar dan menulis.

Sesibuk apapun tulisan Dahlan Iskan selalu tampil di Koran Grup Jawa Pos. Tentu kalau saya membaca tulisannya, akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa Dahlan Iskan “disiplin dan tidak mau ambil pusing” ( mengingatkan saya pada Daisaku Ikeda, penulis artikel “manusia baru” yang jumlahnya lebih dari 5.700 seri).

Itu sebabnya mengapa tulisannya selalu inspiratif dan enak dibaca. Ketiga, bekerja keras dan tidak mengharap imbalan. Sangat sulit diterima secara akal, Dahlan Iskan yang telah bekerja sekitar 9 tahun di perusahaan milik BUMD Jatim tidak mengambil gaji yang sebenarnya haknya.

Sikap ini pun berlanjut ketika menjadi Dirut PLN. Ini fakta. Boleh sikap tersebut “dipelintir” menjadi multi tafsir. Tapi penulis melihat, bahwa Dahlan Iskan ingin memberikan suatu pembelajaran bahwa keberhasilan suatu pekerjaan apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Karena sikap tersebut akan mendatangkan “keberkahan” dalam hidup dan menjadi amal shaleh yang bisa dirasakan oleh masyarakat luas.

Terlepas dari segala kekurangan, sebagai manusia biasa Dahlan Iskan telah memberi suntikan etos kerja yang orientasi pada kualitas diri yang mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan individu. Jadi tidak menerima gaji sebagai simbol “pembunuhan” pada egoisme individu yang terkadang selalu ingin muncul sikap “keakuannya”.

Ketika hal ini berhasil, maka dengan leluasa bisa berbuat, berkarya dan bekerja dengan sepenuh hati. Keempat, sederhana. Hidup sederhana yang tercermin dari Dahlan Iskan yaitu sikap yang tidak kehilangan jati diri sebagai orang yang lahir dari keluarga miskin. Keberhasilan saat ini yang mengantarkan dirinya sebagai konglomerat tidak merubah tabiat orang kampung yang mencerminkan kesederhanaan, baik dalam berpakaian ataupun selera makan. Dahlan Iskan dengan mudah bergaul dengan rakyat sebagaimana yang dialaminya tempo dulu. Ia tidak “tidak risih” naik kereta api berdesak-desakan, naik ojek yang parkir di pinggir jalan, dan makan serta tidur di rumah rakyat biasa.

Tentu sikap “ndeso” Dahlan Iskan tidak melunturkan kualitas intelektualnya. Justru sikap tersebut telah berhasil melakukan kawin silang dua kutub “pejabat dan rakyat” yang sebelumnya sebagai bentuk perkawinan mission imposible. Kini sikap “ndeso” tersebut telah melahirkan brand baru pemimpin masa depan yang “merakyat dan mengerti kepentingan rakyat.”

Paparan tersebut membuktikan ajaran tasawuf yang dianut Dahlan Iskan bukan melahirkan sikap apatis atau jumud, tapi justru merangsang untuk berperilaku kreatif, solutif dan selalu memberi kontribusi kepada bangsa Indonesia yang saat ini membutuhkan orang-orang yang inovatif. Maka tidak berlebihan apabila UIN Walisanga Semarang member anugrah Doctor Honouris Causa kepada Dahlan Iskan. Walaupun DO waktu kuliah di IAIN Samarinda (IAIN Sunan Ampel Cabang Samarindah), tapi dia telah berhasil mendapatkan IPK cumlaude dalam karya nyata. Penghargaan itu sebagai bukti kebenaran tersebut.

Selamat kepada Dahlan Iskan, semoga model tasawuf-nya yang kreatif dan inovatif bisa menular kepada generasi muda.Wassalam.(Imam Ghozali. Peminat Sosial-Keagamaan)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saksi Sebut Indoguna Ikut Danai Munas PKS

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler