jpnn.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Petani Tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak adanya selipan pasal-pasal tentang pertembakauan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Pasal tersebut menyebutkan, rokok atau tembakau disamakan dengan narkoba.
BACA JUGA: Kajian Ilmiah Produk Tembakau Alternatif Perlu Didukung Semua Pihak
Tembakau memberikan nilai positif dan menguntungkan negara sementara narkoba membahayakan kesehatan sekaligus merugikan negara.
“Kalau narkoba itu tidak ada nilai ekonominya. Narkoba jelas merugikan pemakai dan negara. Kalau tembakau dan industri rokok, ada nilai ekonomi dan nilai sosialnya. Beda jauh sekali. Inikan ada industri tembakaunya dan inikan jelas yang namanya tembakau itu ada dampak positifnya untuk negara, ada menyumbang devisa negara, dan menyumbang kepentingan negara,” ujar anggota Fraksi Partai Golkar DPR Firman Subagyo.
BACA JUGA: Semen Baturaja Berhasil Menyulap Lahan Pascatambang jadi Budidaya Lebah Trigona
Firman mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membuat kebijakan dengan mengambil keputusan atas gugatan judicial review bahwa tanaman tembakau itu adalah tanaman halal bukan tanaman haram.
Bahkan, ketika ada anggota masyarakat yang menggugat industri rokok agar tidak boleh memasang iklan, gugatan itu dibatalkan MK alias ditolak.
BACA JUGA: Gandeng Plustik, Pegadaian Daur Ulang 1 Ton Sampah Plastik
“Semua produk yang resmi ada izin dan sebagainya itu adalah hak asasi manusia. Jadi, tidak ada satupun yang dilanggar industri rokok maupun tembakau apalagi petani tembakau,” papar Firman Subagyo.
Menurut Firman, seharusnya pemerintah berkeberatan dengan adanya sisipan pasal yang menyamakan rokok atau tembakau dengan narkoba di RUU Kesehatan.
Hal ini karena negara sudah memungut cukai dari rokok yang jumlahnya hampir mencapai Rp 220 triliun, ditambah pajak-pajak lain dari industri rokok.
“Kalau rokok atau tembakau mau disamakan dengan narkoba pertanyaan saya adalah kalau dianggap rokok itu mematikan karena asapnya, apakah asap industri tidak lebih bahaya? Apakah asap mobil tidak berbahaya daripada rokok? Ini kan ada kepentingan-kepentingan dagang,” seru Firman.
Atas dasar itu, Fraksi Partai Golkar sudah secara resmi meminta agar menghapuskan pasal 154 yang berisi pernyataan rokok mengandung zat adiktif atau mengandung narkoba.
Bunyi pasal tersebut tidak benar sehingga harus dicabut.
"Tembakau itu ada nilai ekonominya, ada nilai sosialnya. Tembakau itu juga menghasilkan cukai rokok yang cukup besar nilainya sampai Rp 178 triliun bahkan sekarang Rp 220 triliun lebih. Kalau industri rokok disamakan dengan narkoba bisa berdampak pabrik rokok akan tutup. Golkar mengedepankan kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan yang namanya petani harus dilindungi,” tegas Firman.
Sementara, Ketua APTI Jawa Barat Suryana menegaskan, pihaknya tidak menolak RUU Omibuslaw Kesehatan.
Yang ditolak adalah pasal 154 yang salah satunya adalah menyebutkan tembakau ataupun rokok mengandung zat adiktif yang berbahaya sehingga rokok disamakan dengan tembakau.
“Kami dengan tegas menolak pasal yang menyamakan Narkoba sama dengan rokok atau tembakau. Kami meminta itu segera dicabut. Tapi Undang undang kesehatannya kami terima,” tegas Suryana.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada