Tekan Stunting di NTB, Pendidikan Gizi di Sekolah Harus Diperkuat

Jumat, 11 Oktober 2019 – 19:58 WIB
Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes Imran Nur Ali (kanan) dan Direktur SEAMEO RECFON Dr. Muchtaruddin Mansyur (kedua dari kanan) saat meninjau Ponpes NU Darussalam. Foto: Mesya/jpnn.com

jpnn.com, LOMBOK - Angka stunting di Nusa Tenggara Barat (NTB) masih cukup tinggi. Data Kementerian Kesehatan peiode 2013-2018 menyebutkan, secara nasional kasus gizi kurang dan gizi buruk turun dari 19,6 persen menjadi 17,7 persen. Untuk kasus stunting atau balita pendek dan sangat pendek turun dari 37,2 persen menjadi 30,8 persen.

Sedangkan kasus balita kurus dan sangat kurus turun dari 12,1 persen menjadi 10,2 persen.

BACA JUGA: Gubernur Ganjar: Kades Boleh Gunakan Dana Desa untuk Mencegah Stunting

Untuk NTB, tren status gizi balita memang turun. Namun, jika dibandingkan dengan rerata angka nasional masih cukup tinggi. Kasus balita gizi kurang dan buruk terjadi peningkatan dari 25,7 persen menjadi 26,4 persen. Angka ini masih berada di atas rerata nasional yang mencapai 17,7 persen.

Kemudian angka stunting di NTB terjadi penurunan dari 45,2 persen menjadi 33,5 persen. Meskipun terjadi penurunan angka stunting NTB masih berada di atas rerata nasional yang saat ini 30,8 persen.

BACA JUGA: Pemerintah Semakin All Out Turunkan Angka Stunting

Dari data tersebut menurut Direktur SEAMEO RECFON Dr. Muchtaruddin Mansyur menunjukkan, NTB belum bisa melepaskan diri dari gizi buruk dan stunting. Itu sebabnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memasukkan program gizi untuk sekolah dalam rencara strategis nasional agar masalah stunting maupun gizi buruk di daerah bisa diminimalisir.

Program ini meliputi pendidikan gizi untuk guru, murid, dan orang tua. Sampai saat ini sudah 2.000 guru mendapatkan pelatihan tentang pendidikan gizi baik tatap muka maupun online.

Kemudian penyediaan makanan sehat melalui kegiatan kantin sehat. Juga pengembangan kebun gizi sekolah.

Pendidikan gizi ini tidak hanya untuk siswa SMP dan SMA, tapi juga menyasar ke PAUD serta SD. Dengan harapan, para siswa ini mulai sejak dini dibekali dengan perilaku hidup sehat dan memahami pentingnya asupan gizi untuk menciptakan SDM unggul.

"Anak-anak di daerah perdesaan banyak yang lulus SMA langsung menikah dan tidak lanjut kuliah. Makanya pemerintah memperkuat pendidikan gizi di sekolah agar anak-anak tersebut bisa paham tentang pentingnya gizi. Bagaimana bisa mendapatkan SDM unggul kalau anak-anak tidak dibekali dengan pengetahuan tentang gizi," tuturnya kepada JPNN.com di sela-sela kunjungan ke Pondok Pesantren NU Darussalam, Lombok Barat, Jumat (11/10).

Agar pendidikan gizi berjalan baik, lanjutnya,. peranan kepala sekolah sekolah menjadi penentu. Dia mencontohkan beberapa kepala sekolah di Lombok Barat yang bisa mengelola dana BOS untuk membuat kebun gizi dan kantin sehat. Kebun gizi ini bisa menjadi wahana belajar sekaligus mendorong jiwa entrepreneur siswa. Ini juga sebagai bagian dari pendidikan karakter.

"Saya kagum melihat cara para kepsek yang mampu menjadi manager yang baik untuk sekolah. Mereka memanfaatkan dana BOS untuk hal positif seperti membeli bibit tanaman jagung, cabai, dan lainnya. Jadi bukan hanya dipakai untuk beli buku," terangnya.

Dia optimistis, bila seluruh kepsek di NTB umumnya dan Lombok khususnya bisa melakukan hal serupa, angka stunting dan gizi buruk bisa menurun drastis. Sebab, mulai guru, siswa, orang tua murid, dan lingkungan sekolah mendukung pendidikan gizi. (esy/jpnn)

 

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler