Tekanan Reshuffle, Jokowi Harus Berani Berkata Tidak

Jumat, 08 Mei 2015 – 06:24 WIB
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Foto: Agus Wahyudi/dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Berbagai tekanan politik agar segera dilakukan reshuffle kabinet, diharapkan menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk menunjukkan kualitas leadership-nya

CEO Saiful Mujani Research and Consulting Djayadi Hanan menegaskan, presiden tidak boleh meletakkan pertimbangan melakukan reshuffle hanya berdasar pada tekanan politik. Presiden, menurut dia, harus lebih mengedepankan kriteria-kriteria obyektif ketika memutuskan merombak kabinetnya.
       
Sekuat apapun tekanan politik, menurut dia, tetap tidak boleh menjadi pertimbangan utama ketika hendak menggeser atau mengganti para menterinya.

BACA JUGA: Ini Daftar Penerima Uang Kegiatan Fiktif Kementerian ESDM, ada Daniel Sparingga

"Oke, presiden kita ini memang orang baru di pentas politik nasional, tapi enam bulan saya kira waktu yang cukup untuk bisa memahami," tutur Djayadi, saat dihubungi, kemarin (7/5).   
       
Dia menyatakan, sebagai seorang presiden dalam sistem presidensial, Jokowi memiliki banyak peralatan politik yang bisa digunakan ketika menghadapi tekanan politik. Baik, dari partai-partai pengusung maupun pihak-pihak di sekitarnya.

"Presiden harus sadar kalau dia punya kewenangan dan kekuatan yang luar biasa, harus bisa berkata tidak ketika menghadapi tekanan dan desakan yang semestinya tidak dilaksanakan," imbuhnya.
       
Djayadi kemudian memetakan pihak-pihak di balik munculnya wacana perlunya Jokowi segera melakukan reshuffle. Desakan paling besar adalah dari partai-partai pengusung, terutama PDIP. Selain itu, menurut dia, Wapres Jusuf Kalla juga termasuk yang secara langsung atau tidak langsung ikut pula mendorong.
       
Dia yakin, kalau seandaianya presiden akhirnya menyatakan tidak akan melakukan reshuffle dalam waktu dekat seperti diinginkan beberapa pihak tersebut, tidak akan ada yang bakal mundur atau meninggalkan pemerintahan.

BACA JUGA: Sebut Uang Suap dengan Istilah Air, saat Sidang Pengin Pipis Terus

"Sudah, yakin lah tidak akan ada yang mundur. Menjadi presiden ya memang harus begitu, harus sadar dan bisa menggunakan kekuatan dan kewenangan secara maksimal," tandasnya.
       
Djayadi termasuk yang memandang kalau perombakan kabinet belum menjadi kebutuhan pemerintah saat ini. Waktu enam bulan menjalankan pemerintahan terlalu pendek untuk dijadikan rentang waktu guna mem-punishment seorang anggota kabinet.

"Kalau sekadar evaluasi sampai ada warning keras seperti diberikannya rapor merah, masih oke lah, tapi kalau reshuffle tunggu hingga setidaknya satu tahun," katanya.
       
Dia menambahkan situasi saat ini sangat tidak kondusif. Kesimpangsiuran wacana reshuffle bisa mempengaruhi kinerja para menterinya. "Harus segera ada kepastian, tidak boleh dibiarkan terlalu lama situasi ketidakpastian ini," imbuhnya.  
       
Saat ini, Jokowi sedang berada di luar Jakarta. Hingga 11 Mei 2015 nanti, dia melakukan serangkaian kunjungan kerja ke sejumlah daerah. Mulai dari Maluku, Maluku Utara, hingga Papua. Presiden dan rombongan kemungkinan juga akan singgah ke Papua Nugini.  (dyn/dim)

BACA JUGA: Rini: Yang Menilai Atasan Saya

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Buah Mega: Ganti Menteri tak Perlu Tunggu Idul Fitri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler