jpnn.com, JAKARTA - Ahli virologi dari Universitas Udayana Prof. Ngurah Mahardika mengatakan kemajuan teknologi telah meningkatkan kemampuan untuk menemukan vaksin lebih cepat.
“Zaman dahulu tentu harus dapat agennya dulu yang murni. Setelah itu diperbanyak, dan kemudian baru disiapkan sebagai vaksin. Itu menempuh waktu yang lama," kata Prof Ngurah seperti dikutip dari laman resmi Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
BACA JUGA: Pengadaan Vaksin COVID-19 Jadi Prioritas Pemerintah di Akhir Tahun
"Zaman sekarang, teknologi telah memungkinkan melakukannya dengan cepat. Tidak perlu lagi agen penyakit dan bisa dibuat sintetis, jadi bisa sangat cepat. Zaman dahulu perlu waktu lama untuk menemukan bibitnya saja. Zaman sekarang hanya perlu waktu satu dua bulan saja untuk menemukan bibitnya,” imbuhnya.
Prof Ngurah menyebutkan, sedikitnya ada empat ragam vaksin yang dibedakan berdasarkan bahan dasarnya.
BACA JUGA: Pak Doni Dorong Daerah Siap Siaga Antisipasi Bencana Alam dan Covid-19
BACA JUGA: Begini Perkembangan Uji Klinis Fase 3 Vaksin Covid-19 di Indonesia
Pertama yang berbasis virus murni yang dimatikan sehingga tidak berbahaya bagi manusia, ada pula yang berbasis DNA atau mRNA, ketiga ada vaksin berbasis adenovirus, dan terakhir adalah vaksin berbasis protein.
“Ragam basis vaksin ini punya kelebihan dan kekurangan tentunya, seperti vaksin berbasis virus yang dimatikan yang saat ini diujicobakan di Indonesia adalah jenis paling lazim, sehingga regulasi penggunaanya jauh lebih ringkas. Sementara vaksin berbasis DNA dan adenovirus memang belum ada contohnya yang beredar di masyarakat sehingga regulasinya memakan waktu lama,” kata Prof Ngurah.
Meskipun teknologi mengakselerasi penemuan vaksin baru, faktor kunci yang tidak boleh dikesampingkan dalam prosedur adalah, memastikan tingkat keamanannya.
Pada dasarnya peneliti dan pengembang vaksin mengkompromikan aspek kualitas, daya guna, dan keamanannya, termasuk keamanan vaksin Covid-19 yang nanti hendak ditemukan harus terjamin.
“Untuk aspek keamanan ini dimulai sejak fase pre klinis, yang diujikan pada hewan, lalu Fase I yang melibatkan sukarelawan manusia, Fase II yang melibatkan ratusan sukarelawan, dan Fase III yang melibatkan ribuan sukarelawan. Pada semua fase, aspek keamanan dan daya guna menjadi perhatian serius. Lebih-lebih pada Fase III, ketika melibatkan ribuan hingga puluhan ribu orang,” tutur Prof Ngurah Mahardika.
Tidak sampai di situ saja, setelah beredar di masyarakat vaksin akan terus dimonitor dan diaudit terus menerus untuk memastikan keamanan vaksin yang beredar tersebut nantinya.
Perlu diketahui juga, bahwa Indonesia sangat memungkinkan untuk mengembangkan vaksin Covid-19 secara mandiri. Namun kerja sama dalam masa pandemi Covid-19 seperti saat ini bukanlah hal yang tabu.
Kerja sama bertujuan untuk mendapatkan data berkualitas tinggi.
Peneliti dan ilmuwan di Indonesia juga membuka data kajian dalam negeri untuk memberi sumbangsih kepada keilmuan dunia dan menerima input positif dari peneliti luar negeri.
“Tanpa kerja sama saya kira Indonesia mampu, tetapi untuk mencapai kemajuan yang pesat dirasa perlu dengan jalan kerja sama antarnegara dan keilmuan dunia,” pungkas Prof Ngurah. (pen/ssw/mjs)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Adek