jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha dan Importir Ban Indonesia (ASPIBI) menyuarakan kekecewaannya lantaran revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2021 Penyelenggaraan Bidang Perindustrian yang tak kunjung selesai.
Hal ini lantaran PP tersebut telah direvisi selama 7 bulan dan belum ada tanda-tanda diterbitkan kembali. PP itu merevisi aturan mengenai komoditas seperti ban, besi dan alat-alat pendukung lainnya.
BACA JUGA: Harga Garam dan Cabai Jatim Anjlok, PKS: Importir Terus Bergentayangan
Revisi PP yang belum selesai tersebut berdampak pada impor ban yang hingga saat ini masih dibatasi maupun tertahan di bea cukai.
Padahal, para pengusaha ban pun memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Umum (API-U) yang legal.
BACA JUGA: Usut Kelangkaan Kedelai, Polisi Cek Gudang Importir Hingga Dugaan Penimbunan
“Kami ingin meminta kepastian dari pemerintah sampai kapan PP 28 Tahun 2021 dirilis, karena sampai setengah tahun berjalan belum ada kepastian sampai saat ini. Sedangkan kami di sini usaha atau bisnis harus berjalan,” ujar perwakilan ASPIBI saat diwawancara di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (11/5).
ASPIBI yakin keterlambatan penetapan neraca komoditas ban akan berdampak pada kelangkaan dan bahkan kekosongan pasokan ban dengan spesifikasi khusus yang belum mampu diproduksi di dalam negeri.
BACA JUGA: Kejagung Duga Importir Garam Beri Setoran ke Kemenperin
“End user kami baik yang swasta maupun BUMN sudah mulai teriak karena terjadi kekosongan pasokan ban baik untuk industrial maupun pertambangan,” kata dia.
Para importir sudah banyak dapatkan komplain dari pelanggan pengguna ban karena kesusahan stoknya. Konsumen bahkan saat ini pakai ban bekas, yang diperbaiki dan digunakan kembali.
“Kontraktor perusahaan besar sudah menyampaikan bahwa stok mereka cuma sampai Juni setelah kami tidak ada stoknya lagi. Dan rata-rata itu nikel, pertambangan, emas, dan itu otomatis berpengaruh kepada ekonomi indonesia secara keseluruhan,” tuturnya.
Menurut ASPIBI, bahan baku ban yang diimpor selama ini pun berbeda dari yang tersedia di dalam negeri. Sehingga tidak akan mengganggu produsen ban di Indonesia.
Apalagi, porsi ban impor untuk kategori khusus hanya 10 persen dari total penjualan di Indonesia.
Lamanya revisi PP 28 Tahun 2021 itu juga mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Secara hitungan kasar, untuk 1 perusahaan yang memproduksi ban off the road (OTR) radial 1 tahun mendapatkan 6 juta US Dolar.
Sementara, importir ban yang memegang API-U (Angka Pengenal Importir Umum) mencapai lebih dari 100.
“Untuk 1 perusahaan rata-rata nilai import setahun 6 juta US Dolar. Katakanlah setengah tahun berarti sekitar 300 juta US Dolar nilai importir yang berkurang,” tambah perwakilan ASPIBI tersebut. (mcr4/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi