JAKARTA – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S.Pane menilai aneh penjelasan kepolisian yang mengaku terpaksa menembak mati tersangka pengedar narkotika karena melawan dengan menggunakan senjata tajam.
“Kok tersangka dengan senjata tajam tidak bisa dilumpuhkan polisi dengan menembak kaki atau tangan ya? Kenapa polisi cendrung menjadi eksekutor. Dalam kasus ini juga yang patut dicermati adalah aksi bandar narkoba Malaysia yang makin agresif mengincar Indonesia, khususnya Sumatera Utara sebagai wilayah pasarnya,” ujar Neta kepada koran ini di Jakarta, Rabu (24/4).
Neta menilai, kecenderungan eksekusi tembak mati yang dilakukan aparat, disebabkan dua hal. Yaitu mengedepankan arogansi dan memerlihatkan jika polisi sebenarnya tidak terlatih dan tidak profesional. “Memang semua aksi bandar narkoba, terutama dari luar negeri harus diberantas dan dibasmi secara serius oleh polisi, tapi aksi tembak mati tidak bisa dibiarkan, karena pengungkapan jaringan penting untuk memutus mata rantai peredaran yang ada,” katanya.
Hal ini penting perlu dipertegas, karena sekarang ini menurut Neta, setelah teroris Malaysia memprakarsai aksi teror bom di Indonesia dengan tokohnya seperti Nordin M Top, bandar narkoba dari Malaysia juga mulai terlihat marak masuk dan mengincar Indonesia. “Jadi aksi-aksi ini patut diwaspadai pihak kepolisian agar Indonesia tidak kembali menjadi bulan-bulanan bandar narkoba asal Malaysia. Tapi kalau semuanya ditembak mati, bagaimana bandar besarnya akan terungkap?” katanya.
Menyikapi operasi Direktorat Narkoba Mabes Polri, di Medan, Selasa (23/4), IPW mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Sumut segera mengusutnya secara tuntas. Langkah ini perlu dilakukan guna mencari tahu apakah operasi sudah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. “Walaupun operasinya dilakukan tim Mabes Polri, tapi karena Tempat Kejadian Perkara (TKP)-nya di Sumut, yang harus mengusut terlebih dahulu adalah Propam Polda Sumut dan hasilnya bisa dikoordinasikan dengan Propam Mabes Polri,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri, Kombes Pol.Agus Rianto, menjelaskan operasi yang dilakukan di Medan merupakan pengembangan dari operasi penangkapan yang dilakukan Mabes Polri di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (18/4) lalu.
Menurutnya, dari operasi di Banjarmasin, polisi menemukan barang bukti sebanyak 7 kilogram sabu-sabu, 7.000 butir pil psikotropika jenis happy five, tepung ekstasi, dan cairan yang diduga mengandung bahan narkotika. Selain itu pihak kepolisian juga berhasil mengamankan tiga tersangka masing-masing yang saat itu tengah berada di Hotel Amaris, Hotel Jelita dan Hotel Mandiri, Banjarmasin. Masing-masing berinisial DN (32), RH (29) dan MR (23).
Para tersangka ini mengaku barang ilegal diperoleh dari Medan. Karena itulah kemudian tim turun ke Medan. Dalam operasi tersebut, kepolisian menangkap Ramadhan P Kesuma (RPK) dan Selly Satria Aprianto (SSA) alias Kiki dari Hotel Grand Aston. Namun karena mencoba melawan dengan menggunakan pisau, petugas terpaksa menembak keduanya hingga tewas di dua tempat terpisah.
Meski begitu, Agus memastikan polisi tim telah mengantongi identitas para pemilik narkotika yang disebut-sebut dipasok dari Malaysia tersebut. “Polri juga sudah berkordinasi dengan pihak Polisi Diraja Malaysia bidang narkotika untuk mengungkapnya. Mudah-mudahan kerjasama tersebut cepat terungkap," ujarnya yang memastikan polisi saat ini juga tengah memburu sejumlah tersangka lainnya, masing-masing Mursal, FR, Encek, dan WNR.
Sementara itu menanggapi penggerebekan yang diwarnai penembakan dua tersangka, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, menilainya sebagai imbas dari kebiasaan Densus 88 yang cenderung menembak mati seseorang yang dicurigai sebagai pelaku. “Jadi efeknya tidak terkendali. Jangankan pengedar narkoba, orang yang diduga pencuri kendaraan motor saja ditembak,” katanya.
Padahal polisi menurut Ray, dilatih dengan menghabiskan uang negara hingga ratusan miliar rupiah, agar benar-benar profesional. Dan menyadari betul, penggunaan senjata api dibolehkan jika kondisi yang ada mengancam jiwa sang aparat. “Selain itu senjata itu kan fungsinya juga untuk melumpuhkan,” katanya.
Karena atas operasi yang ada, Ray menilai pihak-pihak terkait perlu melakukan pengujian apakah benar kedua tersangka melakukan perlawanan. “Selain itu difinisi kata melawan ini juga perlu diperjelas. Apakah kalau tersangka yang ditangkap menggerakkan badannya sudah dapat dikatakan melawan petugas? Selain itu Komnas HAM juga saya kira harus menginvestigasi, agar polisi ke depan makin profesional dan tidak sewenang-wenang menggunakan senjata api,” katanya. (gir/jpnn)
“Kok tersangka dengan senjata tajam tidak bisa dilumpuhkan polisi dengan menembak kaki atau tangan ya? Kenapa polisi cendrung menjadi eksekutor. Dalam kasus ini juga yang patut dicermati adalah aksi bandar narkoba Malaysia yang makin agresif mengincar Indonesia, khususnya Sumatera Utara sebagai wilayah pasarnya,” ujar Neta kepada koran ini di Jakarta, Rabu (24/4).
Neta menilai, kecenderungan eksekusi tembak mati yang dilakukan aparat, disebabkan dua hal. Yaitu mengedepankan arogansi dan memerlihatkan jika polisi sebenarnya tidak terlatih dan tidak profesional. “Memang semua aksi bandar narkoba, terutama dari luar negeri harus diberantas dan dibasmi secara serius oleh polisi, tapi aksi tembak mati tidak bisa dibiarkan, karena pengungkapan jaringan penting untuk memutus mata rantai peredaran yang ada,” katanya.
Hal ini penting perlu dipertegas, karena sekarang ini menurut Neta, setelah teroris Malaysia memprakarsai aksi teror bom di Indonesia dengan tokohnya seperti Nordin M Top, bandar narkoba dari Malaysia juga mulai terlihat marak masuk dan mengincar Indonesia. “Jadi aksi-aksi ini patut diwaspadai pihak kepolisian agar Indonesia tidak kembali menjadi bulan-bulanan bandar narkoba asal Malaysia. Tapi kalau semuanya ditembak mati, bagaimana bandar besarnya akan terungkap?” katanya.
Menyikapi operasi Direktorat Narkoba Mabes Polri, di Medan, Selasa (23/4), IPW mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Sumut segera mengusutnya secara tuntas. Langkah ini perlu dilakukan guna mencari tahu apakah operasi sudah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. “Walaupun operasinya dilakukan tim Mabes Polri, tapi karena Tempat Kejadian Perkara (TKP)-nya di Sumut, yang harus mengusut terlebih dahulu adalah Propam Polda Sumut dan hasilnya bisa dikoordinasikan dengan Propam Mabes Polri,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri, Kombes Pol.Agus Rianto, menjelaskan operasi yang dilakukan di Medan merupakan pengembangan dari operasi penangkapan yang dilakukan Mabes Polri di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (18/4) lalu.
Menurutnya, dari operasi di Banjarmasin, polisi menemukan barang bukti sebanyak 7 kilogram sabu-sabu, 7.000 butir pil psikotropika jenis happy five, tepung ekstasi, dan cairan yang diduga mengandung bahan narkotika. Selain itu pihak kepolisian juga berhasil mengamankan tiga tersangka masing-masing yang saat itu tengah berada di Hotel Amaris, Hotel Jelita dan Hotel Mandiri, Banjarmasin. Masing-masing berinisial DN (32), RH (29) dan MR (23).
Para tersangka ini mengaku barang ilegal diperoleh dari Medan. Karena itulah kemudian tim turun ke Medan. Dalam operasi tersebut, kepolisian menangkap Ramadhan P Kesuma (RPK) dan Selly Satria Aprianto (SSA) alias Kiki dari Hotel Grand Aston. Namun karena mencoba melawan dengan menggunakan pisau, petugas terpaksa menembak keduanya hingga tewas di dua tempat terpisah.
Meski begitu, Agus memastikan polisi tim telah mengantongi identitas para pemilik narkotika yang disebut-sebut dipasok dari Malaysia tersebut. “Polri juga sudah berkordinasi dengan pihak Polisi Diraja Malaysia bidang narkotika untuk mengungkapnya. Mudah-mudahan kerjasama tersebut cepat terungkap," ujarnya yang memastikan polisi saat ini juga tengah memburu sejumlah tersangka lainnya, masing-masing Mursal, FR, Encek, dan WNR.
Sementara itu menanggapi penggerebekan yang diwarnai penembakan dua tersangka, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, menilainya sebagai imbas dari kebiasaan Densus 88 yang cenderung menembak mati seseorang yang dicurigai sebagai pelaku. “Jadi efeknya tidak terkendali. Jangankan pengedar narkoba, orang yang diduga pencuri kendaraan motor saja ditembak,” katanya.
Padahal polisi menurut Ray, dilatih dengan menghabiskan uang negara hingga ratusan miliar rupiah, agar benar-benar profesional. Dan menyadari betul, penggunaan senjata api dibolehkan jika kondisi yang ada mengancam jiwa sang aparat. “Selain itu senjata itu kan fungsinya juga untuk melumpuhkan,” katanya.
Karena atas operasi yang ada, Ray menilai pihak-pihak terkait perlu melakukan pengujian apakah benar kedua tersangka melakukan perlawanan. “Selain itu difinisi kata melawan ini juga perlu diperjelas. Apakah kalau tersangka yang ditangkap menggerakkan badannya sudah dapat dikatakan melawan petugas? Selain itu Komnas HAM juga saya kira harus menginvestigasi, agar polisi ke depan makin profesional dan tidak sewenang-wenang menggunakan senjata api,” katanya. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sindikat Narkoba, Dua Mahasiswa Ditembak Mati
Redaktur : Tim Redaksi