“Dan angka itu setiap tahun terus meningkat,” ungkap Ketua Majelis Pengawas Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (MPO KSBSI), Rekson Silaban kepada JPNN.
Menurutnya, akibat dari sistem ini, pendapatan para buruh yang masih jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak, masih harus dipotong lagi untuk agen atau perusahaan outsourcing (OS) yang mempekerjakan mereka. Itu belum termasuk hilangnya sejumlah jaminan yang seharusnya diterima para buruh. Diantaranya jaminan perobatan dan lain sebagainya.
“Jadi memang saat ini outsourcing ini sangat bebas di Indonesia, sekalipun sudah ada batasannya. Tapi undang-undang tidak jelas dan terbuka di multitafsir. Selain itu pengawasan juga tidak jalan. Sementara undang-undang juga tidak membuat adanya sanksi," cetusnya.
Oleh sebab itu para buruh menurut Rekson, akan terus mendesak pemerintah untuk segera mengganti UU Nomor 13/2003. “Karena kebetulan UU tersebut juga sudah diamandemen MK (Mahkamah Konstitusi) sebanyak 6 kali. Buruh juga perlu menuntut agar semua izin bisnis OS di evaluasi ulang oleh tripartit di setiap daerah. Yang melanggar harus dicabut izinnya. Izin-izin baru jangan dikeluarkan dulu sebelum di evaluasi.”
Rekson sendiri tidak membantah bahwa sistem OS memang sebenarnya hampir berlaku di seluruh dunia. “Cuma bedanya, kalau dibanyak negara, itu sangat dibatasi dengan ketat. Kemudian juga ditetapkan secara jelas jenis pekerjaan yang bisa di OS. Dan upahnya dibuat lebih tinggi. Selain itu upah yang diberikan juga tidak boleh berbeda dengan pekerja lain, kalau pekerjaan yang dilakukan itu sama. Dan juga dibatasi jumlah persentase maksimum berapa buruh di satu perusahaan yang diizinkan di OS," lanjutnya.
Dan hal-hal inilah yang seharusnya menjadi kepedulian pemerintah. Karena ditambahkan Rekson kemudian, buruh seharusnya tidak bisa diperjualbelikan seperti barang. “Seperti dikatakan oleh ILO, labor is not commodity. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muhaimin Minta Buruh dan Pengusaha Maksimalkan Dialog
Redaktur : Tim Redaksi