jpnn.com, SURABAYA - Guru honorer atau guru tidak tetap (GTT) kini semakin mendapat perhatian dari pemerintah.
Dalam petunjuk teknis bantuan operasional sekolah (BOS) yang terbaru disebutkan bahwa dana BOS bisa digunakan untuk membayar gaji guru honorer.
BACA JUGA: Geruduk Rumah Bupati, Para Guru Menangis
Itu sesuai dengan Permendikbud Nomor 8 Tahun 2017 tentang Juknis BOS.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rachman mengatakan, dana BOS bisa dipakai untuk membayar personel.
Termasuk pada jenjang SMA/SMK. Perinciannya, maksimal 15 persen dari total dana BOS digunakan untuk membayar guru honorer di sekolah negeri.
Sementara itu, maksimal 50 persen untuk sekolah swasta.
Agar guru honorer bisa dibayar melalui BOS, guru yang bersangkutan harus di-SK-kan terlebih dahulu.
Surat keputusan (SK) itu dibuat pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan.
Terutama untuk guru honorer di sekolah negeri.
Saiful menyebutkan, saat ini SK tersebut sedang diproses.
Pihaknya sudah memiliki data guru honorer atau GTT sebanyak tiga ribu orang.
"Kita pakai itu sebagai pedoman," terangnya.
Guru honorer memang dibutuhkan di sekolah. Apalagi, semakin banyak guru pegawai negeri sipil (PNS) yang pensiun.
Diperkirakan, hingga 2019 ada 32 ribu guru produktif yang pensiun di Jawa Timur.
Ketua PGRI Jawa Timur Ichwan Sumadi mengkritisi kebijakan penggajian guru honorer melalui dana BOS tersebut.
Menurut dia, kebijakan itu termasuk kurang bijak. Untuk bisa digaji dana BOS, guru yang bersangkutan harus mendapat SK dari pemerintah daerah.
"Itu pun rata-rata honorer yang diangkat sebelum 2005," jelasnya.
Padahal, jumlah guru honorer sangat banyak. Mestinya, imbuh dia, jika niatnya mendanai dan ingin mengisi kekosongan guru, guru honorer harus mendapat perhatian penuh.
Sejak SMA/SMK dikelola provinsi, gubernur Jawa Timur melalui surat edaran (SE) memutuskan bahwa tiap-tiap SMA/SMK bisa menarik dana masyarakat melalui SPP.
Dana tersebut, salah satunya, digunakan untuk membayar guru honorer.
Ichwan menyayangkan adanya pandangan atau kebijakan yang tidak boleh menarik dana dari masyarakat untuk pendidikan.
Padahal, dana dari masyarakat itu sangat dibutuhkan lembaga pendidikan.
"Demi putra-putri seharusnya tidak masalah, yang penting dengan pengawasan ketat untuk kebutuhan sekolah," tuturnya.
Yang terpenting, jelas dia, adalah adanya pendidikan berkualitas, tapi tetap dijangkau masyarakat.
Sebab, jika pendidikan gratis, tapi sekolah tidak bisa membiayai untuk diri sendiri, tentu itu akan menjadi persoalan tersendiri.(puj/ant/c7/dos/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia