Terbang Wedar Jatuh dari Langit, Gempar, Harus Ada Kemenyan

Senin, 27 September 2021 – 11:16 WIB
Terbang Wedar di Desa Gading yang ukurannya besar, dipercaya jatuh dari langit. Foto: Mukhamad Rosyidi/Jawa Pos Radar Bromo

jpnn.com, PASURUAN - Warga Dusun Wedar, Desa Gading, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan meyakini Terbang Wedar bukan sekadar kesenian rebana biasa.

Konon terbang atau rebana raksasa itu jatuh dari langit ratusan tahun lalu dan warga Wedar menjaganya turun-temurun.

BACA JUGA: Konon Ada Benda Jatuh dari Langit ke Gunung Merapi, Begini Penjelasan BPPTKG

Rebana besar itu kini disimpan di rumah salah seorang warga. Ukuran gendang pipih bundar itu memang tak lazim. Diameternya sekitar satu meter dan ukurannya 40 sentimeter.

Sihab Alwi, 58, salah seorang penabuh mengatakan, terbang tersebut diperkirakan berusia ratusan tahun.

BACA JUGA: Mukjizat, Jatuh dari Langit, Dua Orang Ini Selamat, Hanya Patah Kaki

"Usianya kurang tahu pasti. Kakek-kakek saya dulu itu tidak ada yang tahu. Namun, ceritanya terbang ini tiban (jatuh dari langit, red) dulunya,” kata Sihab.

Dia menceritakan dahulu ada seorang sesepuh desa bernama Mbah Kluntung.

BACA JUGA: Misterius, Warga Sumenep Dengar Ledakan, Lalu Ada yang Jatuh dari Langit

Si Mbah menjemur kulit binatang untuk dijadikan terbang. Setelah kulit itu kering, Mbah Kluntung kemudian membuat rebana dengan ukuran yang tak biasa.

"Entah apa yang melatarbelakangi pembuatan terbang itu," kata Sihab.

Setelah jadi, terbang itu diserahkan Mbah Kluntung kepada warga dusun yang berada di barat dusunnya. Namun, warga di sana menolak.

Dengan penolakan warga itu, Mbah Kluntung kemudian membuang terbangnya tersebut ke arah timur yakni ke Dusun Wedar.

Konon jatuhnya terbang bersinar saat itu membuat warga gempar.

Warga Wedar ternyata juga menolaknya dan kembali melemparkan ke arah barat.

"Setelah di barat ditolak lagi, dan kembali dilempar ke timur. Dari situ kemudian terbang itu menetap," kata Sihab.

Cerita menetapnya terbang itu diketahui oleh Mbah Soleh Semendi.

Mbah Semendi kemudian bertapa di sungai besar di sekitar Winongan.

Sekembalinya dari bertapa, Mbah Semendi membawa terbang yang ukurannya sama. Namun, itu katanya merupakan yang perempuan.

"Jadi yang dibuat Mbah Kluntung itu adalah yang laki-laki, sedangkan yang perempuan yang dibawa oleh Mbah Semendi," kata Sihab.

Sejak saat itu terbang tersebut digunakan untuk acara-acara penting.

Seperti acara selamatan desa, orang-orang yang bernazar, dan lainnya. Tradisi itu berlangsung sampai sekarang.

"Kalau orang bernazar mengundang Terbang Wedar ini dan ternyata lupa, di rumahnya akan didatangi ular sebagai pengingatnya," kata Sihab.

Terbang Wedar juga sering diundang jika ada acara pernikahan, khitanan. Peminat kesenian ini juga masih banyak.

Dalam sebulan rata-rata ada tiga sampai lima kali undangan untuk Terbang Wedar.

Sekali tampil, kelompok Terbang Wedar bisa hingga tiga jam untuk berselawat.

Saat ini masih ada satu kelompok yang melestarikan kesenian Terbang Wedar. Penabuhnya juga tidak sembarangan. Ada ritual khusus sebelum memainkannya.

Mulai dari menyiapkan sandingan yang berisi beras, pisang, dan lain sebagainya. Juga, tidak lupa untuk menyalakan kemenyan.

Jika itu tidak dilakukan, dipercaya akan menyebabkan pemainnya sakit setelah memainkannya. Juga akan berdampak pada suaranya.

"Memang begitu. Itu tidak bohong. Ketika tidak dilakukan, pasti begitu. Sudah ada yang sakit," ujarnya.

Riyawan Budi Santoso, 29, salah seorang ketua RT setempat mengatakan terbang itu memang dijaga dengan baik oleh warga. Meskipun usianya sudah tua, tetapi kayunya tidak dimakan rayap.

"Masih terjaga. Tidak rusak sama sekali. Hanya memang kulitnya yang sudah beberapa kali diganti karena sobek,” tuturnya.

Dia menjelaskan setiap acara selamatan desa, Terbang Wedar selalu diikutkan. Bukan hanya di desanya, tetapi juga desa tetangga. (mukhamad rosyidi/fun/radarbromo)


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler