Terbiasa dengan Kekerasan, Assad Tetap Percaya Diri

Minggu, 05 Februari 2012 – 06:00 WIB

DAMASKUS - Presiden Bashar al-Assad sepertinya percaya diri tidak akan terusik di negaranya. Begitulah penuturan seorang politikus dari Lebanon, negeri tetangga, yang secara rutin berkunjung ke Syria dan beberapa kali bertemu Assad. Pria yang tak mau disebutkan identitasnya itu melukiskan gaya hidup Assad.
 
Menurut dia, presiden berusia 46 tahun itu tetap santai menikmati santap malam di sebuah restoran saat musuh (oposisi) berada di luar. "Gaya hidupnya belum berubah," tutur politikus tersebut kepada Reuters, Sabtu (4/2). "Dia menghabiskan malam di sebuah restoran di Damaskus," lanjutnya menunjuk keberadaan Assad pada 28 Januari lalu.
 
Padahal, kata dia, saat itu tentara pembangkang anggota FSA (Free Syrian Army) menguasai sejumlah wilayah di luar atau pinggiran ibu kota. Suara tembakan dan ledakan juga tidak henti terdengar di seantero wilayah Damaskus. Sejumlah pria bersenjata dengan penutup wajah menguasai pos-pos pemeriksaan di pinggiran kota. Assad juga seolah tak peduli saat itu meski sejumlah pengamat memerkirakan masa pemerintahannya tinggal beberapa pekan lagi.
 
Sikap tenang Assad itu agaknya bukan tanpa alasan. CNN menulis bahwa jauh sebelum revolusi Arab menyeret Syria ke dalam pusaran konflik politik, Assad sudah lebih dulu mengalami krisis.

Sebenarnya, putra kedua mendiang Presiden Hafez al-Assad itu tak tertarik pada politik. Dia pun memperdalam ilmu kedokteran di Inggris dan menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik Syria. Kematian sang kakak, Basil, dalam kecelakaan mobil pada 1994 mengubah jalan hidupnya.
 
Sepeninggal Basil yang digadang-gadang untuk menjadi  penerus sang ayah sebagai presiden, Assad terpaksa pulang ke Syria. Dalam enam tahun, Hafez mempersiapkan suami Asma al-Akhras itu menjadi presiden. Di bawah tekanan berbagai pihak, Assad yang dokter ahli mata itu belajar politik sembari terjun langsung. Pada 2000, setelah Hafez wafat, Assad naik takhta dan menjabat sebagai presiden.
 
Di awal kepemimpinannya, Assad menjanjikan Syria baru yang jauh lebih transparan dan demokratis. Sebagai mahasiswa yang menuntut ilmu di Inggris, Assad pun lebih moderat dari sang ayah yang dikenal kaku. Setidaknya, dia kenal gaya kepemimpinan Barat yang tak sekolot ayahnya. "Saya akan upayakan yang terbaik sebagai pemimpin demi kebaikan bangsa ini dan harapan semua orang," janjinya kala itu.
 
Di tahun-tahun pertama, Assad memang memerintah dengan hati. Dia pun membangun zona perdagangan bebas untuk memaksimalkan potensi ekonomi Syria. Di bidang pendidikan, dia memberikan peluang kepada swasta untuk membangun sekolah dari yang terendah hingga universitas. Dia juga mengizinkan media non-pemerintah. Rakyat Syria pun merasakan perubahan yang sangat signifikan.
 
Sayangnya, bulan madu pemerintahan Assad berakhir dengan cepat. Segala bentuk reformasi yang dia lakukan di awal pemerintahannya itu tak berlanjut. Pada praktiknya, masyarakat tetap tak bisa secara bebas menggali informasi. "Pemerintah terlalu mengekang media non-pemerintah dan memonitor serta menyensor informasi via internet," kritrik lembaga HAM Human Rights Watch (HRW) seperti dirilis CNN Selasa lalu (31/1).
 
Ketidakmampuan Assad lepas dari bayang-bayang gaya pemerintahan sang ayah menuai komentar dari dua mantan sekutunya. Mantan Wakil Presiden Abdel Halim Khaddam yang kini menyeberang ke oposisi menyebut Assad sebagai ssosok yang labil.

"Saat masih kecil, dia selalu menjadi bulan-bulanan Basil. Sang ayah pun kurang memperhatikan pertumbuhan pribadinya," kata Khaddam. Karena itu, dia maklum jika Assad menjadi presiden yang plin-plan.
 
Khaddam mengatakan bahwa bapak tiga anak itu adalah pemimpin yang tak punya prinsip. "Dia selalu mendengar masukan, tetapi juga selalu menyangkal dan melupakan masukan-masukan itu dengan cepat. Pagi ini, Anda bisa jadi telah menyepakati satu topik dengan dia. Setelah itu, ada orang lain yang memberi masukan atas topik tersebut dan dia akan langsung berubah pikiran," lanjutnya.
 
Komentar sama diungkapkan Rifaat, paman Assad yang terlibat dalam kudeta gagal melawan Hafez dan terpaksa meninggalkan Syria sejak 1984. "Sebenarnya, dia sosok berbeda dengan ayahnya. Hafez adalah seorang pemimpin, sedangkan Bashar (Assad) bukan siapa-siapa. Dia bahkan tak pernah muncul dalam ring utama rezim Hafez. Kini, dia hanya berperan sebagai pemimpin dan menjalankan konsep yang sudah digariskan rezim pendahulunya," urainya.
 
Di sisi lain, lanjut dia, Assad adalah tokoh keturunan suku minoritas Alawi di Syria. "Suku Alawi selalu waswas akan menjadi sasaran genosida. Jadi, sepanjang hidupnya, Assad selalu merasa terancam dan ketakutan," ujar Rifaat. Alhasil, dia pun terbiasa dengan kekerasan.
  
Untuk mempertahankan diri, lanjut dia, Assad lantas tumbuh sebagai pribadi yang brutal. Demikian pula dengan seluruh keturunan lain Hafez al-Assad. Mereka cenderung keji dan keras kepala jika bersinggungan dengan eksistensi.
 
Beberapa waktu lalu, dalam wawancara dengan reporter TV ABC Barbara Walters, Assad membantah terlibat dalam serangkaian konflik berdarah yang merenggut sekitar 6.000 nyawa di Syria selama 11 bulan terakhir. "Mereka bukan pasukan saya. Mereka pasukan pemerintah. Mereka bukan milik saya. Saya presiden. Negara ini bukan milik saya. Jadi, mereka bukan pasukan saya," tandasnya. (RTR/CNN/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Trump Dukung Romney


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler