jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid menyebut selama reses ini dirinya banyak mendengar suara publik yang merasa heran dengan terbitnya SE Menag Nomor: 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Dia pun memahami keheranan tersebut. Sebab, pedoman seperti SE Kemenag sebenarnya sudah ada sebelumnya.
BACA JUGA: Pengeras Suara Masjid Diatur, PKS Nilai Menag Tak Paham Kehidupan Pedesaan
Aturan itu tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Kemudian, instruksi Dirjen Bimas Islam tadi diperkuat pada 2018 melalui Surat Edaran Nomor B.3940/DJ.III/Hk.007/08/2018.
BACA JUGA: Polemik SE Pengeras Suara di Masjid, Kiai Maman Angkat Bicara
"Itu dahulu kelasnya dirjen, kok, sekarang dinaikkan jadi kelas Menteri," kata Hidayat saat dihubungi, Selasa (22/2).
Dia kemudian mempertanyakan alasan Menag sampai membuat pedoman atas dasar demi menghadirkan harmonisasi.
BACA JUGA: Menag Batasi Volume Pengeras Suara Masjid, Ada Apresiasi dari MUI
Toh, kata Hidayat, selama 2018 sampai kini atau sebelum berlakunya SE Menag Nomor 05 Tahun 2022, tidak ada masalah antara masjid dengan lingkungan sekitar.
"Dari 2018 sampai 2022, dari surat edaran tingkat Dirjen Binmas Islam sampai sekarang tingkat menteri, memang apa ada eskalasi luar biasa sehingga perlu ditingkatkan dari edaran Dirjen ke menteri," beber legislator Fraksi PKS itu.
Hidayat menyebut ada dua pembahasan yang tergolong baru muncul dari SE Menag Nomor 05 Tahun 2022 dengan Instruksi Dirjen Binmas Islam pada 2018.
Pertama, terkait penggunaan pelantang di bagian luar masjid dan musala sebelum azan subuh.
Instruksi Dirjen Binmas pada 2018 menyatakan pelantang di bagian luar masjid bisa digunakan 15 menit sebelum azan Subuh.
Sementara itu, SE Menag Nomor 05 Tahun 2022 menyatakan bahwa pelantang di bagian luar masjid bisa digunakan 10 menit sebelum azan Subuh.
Menurut Hidayat, berarti ada pengurangan lima menit dalam menggunakan pelantang di masjid dan musala.
Dirinya lantas mempertanyakan basis atau dasar kajian yang membuat Menag mengurangi durasi penggunaan pelantang tersebut.
"Apakah ada kajiannya sehingga dikurangi lima menit? Termasuk juga ada pembatasan desibel maksimal. Apa ada kajiannya? Misalnya kemudian terjadi demonstrasi, masyarakat menggugat masjid, kan, enggak pernah ada juga," tutur Hidayat.
Wakil Ketua MPR itu menyebut Kemenag seharusnya bisa mengurusi hal lain ketimbang mengatur pelantang masjid dan musala.
Misalnya, membuat sistem keamanan lebih baik dengan memberikan bantuan kamera pengintai untuk dipasang di masjid.
"Busa juga diberikan insentif untuk keamanan dan pengamanan dalam masjid, sehingga para imam, kiai, dan ustaz bisa memperoleh rasa aman," tutur Hidayat.
Menurut dia, tidak sedikit terjadi penyerangan terhadap imam masjid setelah beribadah, seperti di Jawa Tengah hingga Riau.
Belum lagi aksi vandalisme hingga pencurian kotak amal di masjid dan musala. Dirinya mencatat banyak sekali kejadian tersebut.
"Kenapa urusan yang konkret ini tidak menjadi perhatian Kemanag," kata Hidayat bertanya-tanya.
Legislator Daerah Pemilihan II DKI Jakarta itu kemudian mempertanyakan kebijaksanaan menerbitkan SE Menag Nomor 05 Tahun 2022.
Sebab, kata dia, pedoman soal pelantang di masjid dan musala diberlakukan di seluruh Indonesia, termasuk di daerah dengan mayoritas penduduknya pemeluk Islam.
"Semestinya keinginan menghadirkan harmonisasi itu dilakukan dengan bijak. Jangan dilakukan generalisasi, jangan dilakukan hal yang malah tidak menghadirkan harmoni," beber Hidayat. (ast/jpnn)
Redaktur : Friederich
Reporter : Aristo Setiawan