jpnn.com, MEDAN - Wakil Ketua DPD RI Prof Darmayanti Lubis mencium ada aroma bahwa pemerintah pusat akan melemparkan persoalan honorer ke pemerintah daerah.
“Kelihatannya, pusat mau melempar ke daerah. Karena yang menerima honorer ini juga daerah,” ujar Damayanti pada acara Silaturahmi dan Diskusi dengan Ratusan tenaga honorer Deli Serdang bertajuk “Upaya mencari solusi penyelesaian honorer yang sejahtera” pada Sabtu (3/11)
BACA JUGA: Damayanti: Kebijakan Pemerintah Jauh dari Harapan Honorer
Dalam diskusi tersebut, hadir pula sebagai narasumber adalah anggota DPR RI HR Muhammad Syafii dan Badan Kepegawaian Daerah Deli Serdang serta Dinas Pendidikan Deli Serdang.
Lebih lanjut, Damayanti menyebutkan persoalan honorer ini sebenarnya sudah sangat lama. Bahkan honorer ini, ada yang bekerja sudah 15 hingga 20 tahun. Artinya sepanjang waktu tersebut, sudah banyak kebijakan yang dijanjikan.
BACA JUGA: Penjelasan Terbaru Menteri Syafruddin tentang Honorer K2
Menurut Darmayanti, para honorer ini berharap menjadi PNS. Pada tahun 2005, mereka juga sudah didata dan diikutkan tes untuk CPNS.
“Lulus tapi sedikit jadi ini sisa dari proses itu. Sisanya saja pun sekarang sudah 439 ribu di forum k2 ini. Tapi jika ditotal semua bisa mencapai 1 juta,” imbuhnya.
BACA JUGA: Dokter Curhat soal Sulitnya jadi CPNS
Lambatnya penyelesaian masalah honorer, ujarnya, salah satunya disebabkan tidak ada data yang valid antara Kementreian Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) maupun Badan Kepegawaain Daerah (BKD) dan pemerintah daerah juga.
“Tahun lalu kita sudah mengundang Menpan & RB untuk bicara langsung. Intinya mereka meminta waktu karena masih melakukan pendataan,” ujar Prof Darmayanti yang menilai penyelesaian persoalan lambat tidak terlepas dari political will dari pengambil kebijakan di negara ini.
Meski begitu, Damayanti mengatakan pemerintah memiliki keingian untuk menyelesaikan masalah ini, namun dengan data yang dimiliki lembaga terkait dia mengaku pesimis hal ini akan tuntas. “Karena mereka juga tidak memiliki data yang valid,” ujarnya.
Selain itu, sambungnya, persoalan honorer ini kembali memuncak di tahun 2017 dengan keluar UU Nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara (AS) yang salah satu didalamnya tentang penerimaan PNS dibatasi pada usia 35 tahun. Karenanya, UU ASN bakal dilakukan revisi dengan memasukkan batas 35 tahun atau dikasilah mereka kebijakan affirmative action.
“Kalau diamati ada kesalahan, seharusnya di UU ini ada peralihan. Disitulah honorer itu dalam posisi tidak terpayungi secara hukum. Dia lepas dari payung hukum,” ujarnya.
Padahal, kita dia, masa baktinya sudah ada yang 15 hingga 20 tahun. “Kan rasanya jadi tidak masuk diakal, tidak pantas jika tidak kita bela. Jadi sekarang, pemerintah memberikan beberapa solusi. Tapi itu pun lari dari harapan honorer ini,” ujarnya.
Damayanti mengakui pemerintah sudah mengeluarkan beberapa alternatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Salah satunya dengan kebijakan pengangkatan pegawai dengan Perjanjian Kerja (P3K), namun langkah ini dinilai belum memberikan solusi atas tuntutan honorer yang berharap diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
“Kenapa dia mengeluarkan sesuatu tapi tidak memberikan solusi. PNS tidak boleh, revisi UU bakal lama,” ujarnya dan P3K juga tidak memberikan kepastian bagi honorer. Bahkan kebijakan P3K ini juga belum memiliki regulasi yang jelas.
Darmayanti pun mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer ini.
“Sebenarnya kita marah. Ini berarti tidak benar-benar mencari solusi. Kita baca ini akan diproses. Akan-akan nasib orang, sudah 15 tahun,” ujarnya.
Meski begitu, Prof Darmayanti pun menyerahkan keputusan kepada tenaga honorer. “Kita tidak mendesak, sekarang kita serahkan ke honorer mau ambil sikap yang mana,” ujarnya.
Dia pun mengingatkan agar honorer bersikap tegas. “P3K solusi terakhir, kalau tidak diangkat jadi PNS. Karena mereka ini bukan pencari kerja, karena sudah mengabdi bertahun-tahun,” imbuhnya sehingga wajar jika mereka ingin tahu seperti apa nasib mereka.
Sementara itu, anggota DPR RI HR Muhammad Syafii dalam kesempatan tersebut menuturkan berdasarkan pengalamannya dalam pembahasan APBN 2019 menunjukkan, negara tidak punya kemampuan keuangan untuk mengambil kebijakan khusus untuk tenaga honorer.
Selain itu, dia juga sangat menyesalkan langkah pemerintah yang mengalokasikan dana sebesar Rp 3 triliun ke kelurahan. Padahal regulasinya belum ada. Sementara jika nilai tersebut diserahkan untuk peningkatan kesejaheraan honorer sangat memungkinkan, minimal sama dengan upah minimum provinsi (UMP).
Koordinator Wilayah Forum Honorer Indonesia (FHI) Sumut, Andi Surbakti menyebutkan kegiatan yang digelar ini, sebagai upaya untuk memberikan masukan bagi pengambil kebijakan.
“Kita memang mengundang semua komponen terkait peningkatan kesejahteraan honorer, guru dan tenaga kependidikan. Kita berharap diskusi dan silaturrahmi ini dapat memberikan warna bagi pengambil kebijakan,” ujarnya dan berharap para pengambil kebijakan tergugah hatinya.
Selain itu acara silaturrahmi dan diskusi yang dihadiri honorer baik guru maupun tenaga kependidikan ini, diharapkan dapat memberikan informasi yang benar kepada honorer yang ada di Deli Serdang.
“Pertemuan ini juga merupakan tindak lanjut dari kegagalan demo yang dilakukan kawan-kawan di Jakarta 30 dan 31 Oktober lalu, yang tidak menghasilkan apapun,” ujarnya untuk mencari solusi dalam peningkatan kesejahteraan honorer.(adv/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemberian Subsidi untuk Buruh DKI Patut Diapresiasi
Redaktur & Reporter : Friederich