jpnn.com, JAKARTA - Pierre Togar Sitanggang, mantan General Manager (GM) Bagian General Affair, PT Musim Mas menegaskan Persetujuan Ekspor (PE) minyak sawit mentah yang diberikan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), diperoleh melalui prosedur yang ada.
Dia menolak pendapat Jaksa yang menganggap PE yang diterima pihaknya, diperoleh melalui cara-cara yang tidak sesuai aturan.
BACA JUGA: Dituntut Mengganti Anggaran BLT Rp 6 T, Terdakwa Kasus Minyak Goreng Tidak Terima
Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 2 tahun 2022, Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 8 Tahun 2022, serta Perdirjendaglu No. 2/2022, PE bisa didapatkan antara lain setelah perusahaan mengalokasikan sebagian minyak goreng untuk kepentingan masyarakat Indonesia, atau Domestic Market Obligation (DMO). Pierre Togar Sitanggang menegaskan PE diperoleh karena pihaknya sudah memenuhi hal tersebut.
“Dengan demikian, menjadi jelas dan terang bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan ekspor yang dilanggar dalam permohonan dan penerbitan PE untuk Musim Mas Group, dan tidak ada perbuatan terdakwa yang terbukti menghalang-halangi pemerintah, dalam mengendalikan persediaan barang kebutuhan pokok,” menurut Pierre Togar Sitanggang seperti dikutip dari pledoinya.
BACA JUGA: Promo JSM Alfamart, Banyak Diskon, Ada Beras hingga Minyak Goreng
Kebijakan DMO ditetapkan awal tahun 2022, sebagai langkah untuk menanggulangi krisis minyak goreng.
Namun, Jaksa menganggap perusahaan-perusahaan yang mengajukan PE, yang saat ini sejumlah petingginya terjerat kasus minyak goreng, telah menyampaikan laporan yang tidak akurat. Perusahaan-perusahaan tersebut berhasil melakukan ekspor, sementara di dalam negeri krisis minyak goreng terus berlangsung.
BACA JUGA: BPDPKS Angkat Suara Soal Utang Rp 300 Miliar Terkait Subsidi Minyak Goreng
Jakaa menganggap perusahaan-perusahaan yang memperoleh PE namun sebelumnya sempat menyampaikan laporan yang tidak akurat, telah memperparah krisis minyak goreng di dalam negeri.
Alhasil, pemerintah menggelontorkan program Bantuan Tunai Langsung (BLT), yang totalnya mencapai lebih dari Rp 6 triliun.
Dalam pledoinya, Pierre Togar Sitanggang menyampaikan bahwa Jaksa telah keliru menafsirkan aturan soal DMO.
Dia menegaskan aturan soal DMO, tidak mewajibkan perusahaan untuk mendistribusikan minyak goreng sampai ke pengecer terakhir.
Oleh karena itu, anggapan Jaksa bahwa PT. Musim Mas tidak memenuhi syarat DMO namun tetap bisa memperoleh PE, adalah anggapan yang tidak patut.
PT. Musim Mas menurutnya sudah mendistribusikan minyak goreng, yang jumlahnya sudah dilaporkan ke Kemendag sebagai salah satu syarat memperoleh PE.
Distribusi dilakukan hingga tingkat distributor pertama. Hal tersebut antara lain dikarenakan pihaknya tidak memiliki jaringan yang bisa mengatur distribusi minyak hingga ke pengecer terakhir. Pierre Togar Sitanggang menganggap negara melarang perusahaan membangun jaringan dari hulu hingga hilir, karena akan memicu oligopoli.
Fakta hukumnya, kata Pierre Togar Sitanggang, Tim Verifikator Kementerian Perdagangan RI yang bertugas untuk melakukan proses verifikasi dokumen persyaratan permohonan PE dan juga realisasi kewajiban DMO, juga memiliki pemahaman bahwa verifikasi penyaluran minyak goreng yang diajukan sebagai kewajiban DMO, tidak sampai ke tingkat pengecer atau retail atau konsumen, melainkan cukup sampai ke distributor pertama.
“Dan, tidak ada larangan penyaluran minyak goreng ke distributor terafiliasi untuk digunakan sebagai realisasi kewajiban DMO,” ujarnya.
Selain Pierre Togar Sitanggang, sejumlah orang lainnya juga ikut didakwa terlibat kasus minyak goreng. Mereka antara lain adalah Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor, mantan Dirjen Daglu Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana, tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, serta Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA.
Master Parulian Tumanggor, dalam pledoinya yang dia bacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, pada Selasa lalu (27/12/2022), menegaskan bahwa Jaksa telah keliru menganggap ekspor minyak sawit memperparah krisis minyak goreng di dalam negeri.
Dalam pledoinya, Tumanggor menegaskan bahwa krisis minyak goreng terjadi akibat kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET), yang diatur dalam Permendag 6 Tahun 2022 tentang Penetapan HET Minyak Goreng Sawit.
“Bukan karena produksi maupun ekspor, melainkan rantai distribusi. Bapak-bapak penuntut umum kejaksaan bisa melihat fakta penyebab terjadinya kelangkaan minyak goreng adalah kebijakan kontrol, price control policy yang tidak didukung dengan ekosistem yang baik. Itulah yang menyebabkan kelangkaan," ujarnya.
Menurut dia, minyak goreng masih bisa ditemukan saat krisis berlangsung. Namun harganya relatif tinggi, karena mengikuti kecenderungan harga minyak sawit dunia yang saat itu memang tengah sangat tinggi. Namun setelah diterbitkannya aturan HET, semua produk minyak goreng justru hilang dari pasaran.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari