Tergantung Impor, Neraca Pembayaran Terancam Defisit

Jumat, 24 Februari 2012 – 02:22 WIB

JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyebut sejumlah tantangan yang perlu dihadapi di tengah sejumlah prestasi makro ekonomi. Indonesia tengah menghadapi prospek terjadinya defisit transaksi berjalan dalam neraca pembayaran. Kondisi ini terjadi karena belum tersedianya kebutuhan barang modal.

Defisit transaksi berjalan terjadi seiring dengan tingginya aktivitas ekonomi domestik yang meningkatkan impor. Namun di sisi lain indikasi perlambatan ekonomi global berdampak pada turunnya kinerja ekspor.
Biasanya, kondisi defisit transaksi berjalan muncul di saat pertumbuhan sedang tinggi.

 "Kali ini, diprediksi akan terjadi pula kondisi yang lebih khusus. Yaitu defisit transaksi berjalan akan terjadi di sektor migas," kata Darmin dalam Seminar Indonesian Economic Policy in a Challenging Global Economy di Jakarta, Kamis (23/2).

Meski demikian, selama investasi asing langsung (FDI) bisa menutup defisit transaksi berjalan, neraca pembayaran masih akan aman. Darmin mengatakan kondisi itu kerap berulang terkait dengan karakteristik sektor manufaktur domestik yang belum mampu menyediakan kebutuhan barang modal untuk produksi.

Termasuk, untuk pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan listrik. "Kebutuhan ini mau tidak mau memang harus ditutupi dengan impor," katanya.

Darmin juga menyoroti peran sektor keuangan dalam menggerakkan perekonomian lebih dominan melalui pihak yang memiliki dana dan bisnis. "Sementara kelompok menengah ke bawah yang memiliki akses ke lembaga-lembaga keuangan masih terbatas," katanya.

Dia mengatakan sejumlah insentif finansial mesti diperlukan agar lebih banyak masyarakat miskin yang mampu memanfaatkan fasilitas keuangan. Terutama, kredit secara luas dan murah.

Darmin mengatakan dengan suku bunga ke arah lebih rendah, investasi makin meningkat. Namun, lanjut dia, tingginya minat investasi belum diimbangi ketersediaan instrumen yang sepadan. Sehingga, untuk memitigasi risiko asset price bubble, perlu upaya mendalamkan pasar keuangan. "Terutama dengan IPO dan emisi obligasi baru perlu semakin diperkuat," katanya.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Miranda Swaray Goeltom mengatakan Indonesia lebih siap menghadapi krisis dibandingkan lebih dari satu dekade silam. "Sekarang situasi kita berbeda dengan krisis tahun 1997. Kita saat ini sudah investment grade, di mana banyak sekali capital inflow yang masuk," kata mantan Deputi Gubernur Senior BI yang kini menjadi tersangka kasus dugaan suap cek pelawat itu.(sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perda Retribusi Belum Kelar, Takut DAU Dipotong


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler