Terinspirasi Nasib Tragis Teman, Dapat Apresiasi dari BNN

Jumat, 26 Desember 2014 – 19:17 WIB
SUDAH TOBAT: Dari kiri, Kusworo, Didik Ali Rusdi, Ari Indra, dan Muslimin. Foto: Indiani Kusuma/Jawa Pos

jpnn.com - MENJADI pecandu putau biasanya berujung pada beban keluarga, jadi sampah masyarakat, dan meninggal mengenaskan. Namun, tidak bagi sejumlah pecandu putau di kawasan Sawahan. Mereka bisa sembuh dan kini aktif berkampanye antinarkoba. Metodenya lebih mengena karena mereka tahu psikologis pecandu

 

-------------
Laporan Indiani K.W, Surabaya
-------------
MATA sayu. Kulit mbesisik, tak terawat. Sama sekali tidak ada aura positif dan gairah hidup yang terpancar dari mereka. Itulah penampilan para pecandu putau. Penampilan itu juga pernah melekat pada diri sepuluh penduduk Sawahan yang kini menjadi pendekar kampanye antinarkoba yang tergabung dalam Komunitas Mantan Pecandu Putau Sawahan.

BACA JUGA: Asyiknya Lihat Sekolah Meliarkan Orang Utan

Mereka adalah Kusworo dari Kupang Krajan, Silas Handoko asal Simogurung Kramat, Achmad Ilham yang tinggal di Kupang Gunung Barat, Didik Ali Rusdi asal Kupang Krajan, dan Ari Indra Kusuma dari Ketintang.

BACA JUGA: Agus Sutikno, Pendeta Bertato Pendamping Orang-Orang Pinggiran

Selain itu, Ainun Rofik dari Wonorejo, Tema Nufianto asal Jakarta yang tinggal di Bronggalan, Candra dari Wonorejo, serta M. Subar dan Nur Alimun yang berasal dari Kupang Krajan.

Menurut Kusworo, salah seorang inisiator komunitas tersebut, kelompoknya memang beranggota bekas pecandu putau. Termasuk, dirinya sendiri. ’’Jadi, kami tahu persis rasanya seperti apa dan tidak enaknya seperti apa,’’ ucap Kusworo lantas tersenyum.

BACA JUGA: Jutaan Akrilik Simbolkan Hati Umat Manusia

Kisah kecanduan mereka terhadap narkoba nyaris sama dengan pecandu lain. Yakni, coba-coba dari pil koplo dulu, kemudian meningkat ganja. Setelah itu, sabu-sabu dan putau. Narkoba jenis terakhir tersebut memang sangat jahat.

Sekali kecanduan, ketergantungan yang dialami bukan hanya sugesti, tetapi juga fisik. Tak heran, pecandunya seperti vacuum cleaner. Mereka mengisap materi kekayaan diri dan keluarga. Barang harus selalu ada. Kalau tidak, sekujur tubuh terasa sakit. ’’Ini yang paling jahat memang,’’ ucapnya.

Selain habis-habisan soal materi, pengguna putau rentan terjangkit HIV/AIDS. Sebab, untuk menghemat barang, mereka tidak lagi mengonsumsinya dengan cara di-drug (istilah mereka untuk menyebut teknik membakar dan menghirup asap putau, Red), tetapi di-cucauw (disuntikkan). Nah, karena menggunakan jarum suntik bergantian dengan teman, para pecandu itu rentan terkena penyakit yang menghilangkan kekebalan tubuh tersebut.

Setelah satu-dua tahun menjadi pecandu, korban pun berjatuhan. Kalau tidak terkena meningitis(radang otak, Red), rata-rata pecandu meninggal karena HIV/AIDS. Itulah yang membuat sepuluh orang tersebut tergerak. ’’Efeknya mengerikan,’’ tambah Kusworo.

Akhirnya mereka memberanikan diri untuk mengikuti sosialisasi bahaya HIV dan cara pencegahan maupun penanganannya. Ketika itu, ada sosialisasi di puskesmas setempat. Akhirnya mereka tergerak untuk menjalani pengobatan agar tidak kembali mengonsumsi putau.

Kusworo yang saat itu menjadi ketua RW III Sawahan dan sudah bebas dari kecanduan memfasilitasi para pecandu yang ingin bertobat tersebut. Pada 2010 Kusworo membentuk komunitas.

’’Sulit bagi pecandu bisa sendirian lepas dari ketergantungan. Dia perlu lingkungan yang terus-menerus mengingatkan dan menjaganya. Hanya, keluarga mungkin malu, maka komunitas inilah jawabannya,’’ paparnya.

Di bawah tangan dingin Kusworo, komunitas tersebut mengumpulkan beberapa pecandu di kawasannya untuk berhenti dan bertobat. Usaha mengajak pecandu untuk tobat selama tiga tahun itu pun membuahkan hasil.

Pada awal 2011 komunitas itu diformalkan melalui deklarasi kecil-kecilan di Balai RW III Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Namanya adalah Kompas (Komunitas Mantan Pecandu Putau Sawahan). Meski sangat sederhana, acara tersebut dihadiri Wali Kota Surabaya saat itu Bambang Dwi Hartono.

’’Walaupun sederhana, wali kota, Kapolsek, camat, kepala BNN Kota Surabaya, dan semua anggota Kompas hadir dalam deklarasi ini,” jelas Kusworo, pembina Kompas, ketika ditemui di balai RW III.

Ketika itu, sepuluh orang tersebut rata-rata sudah lebih dari sepuluh tahun mengonsumsi narkoba. Kebanyakan mereka adalah pengguna putau. Sekitar pertengahan 2010, mereka yang kerap memakai putau bersama dan nongkrong bareng sadar bahwa yang dilakukan adalah salah.

Mereka tidak hanya ingin menyembuhkan diri, tetapi juga membantu pengguna lain supaya bisa sembuh.

Modalnya adalah ilmu dan masukan dari sejumlah LSM. Mereka pun menjadi pasukan khusus yang mengampanyekan penyembuhan kepada para pengguna yang biasa mangkal di kawasan Sawahan. Kampanye mereka cukup efektif. Sebab, sebagai bekas pecandu, mereka paham betul bagaimana berkomunikasi dengan mereka.

Buktinya, tahun itu mereka berhasil menjaring 50 pecandu. ’’Di antara jumlah itu, ada 15 orang yang sudah sembuh. Selebihnya masih mengikuti program rehabilitasi,” ucap Ari Indra, salah seorang anggota komunitas tersebut.

Semakin hari, jumlah anggota terus meningkat. Bahkan, akhir 2012 jumlah anggota mencapai 200 orang. Tapi, sekarang sudah kembali lagi menjadi 50 orang. ’’Sebagian sudah sembuh. Ada juga yang meninggal dunia dan sudah pindah tempat tinggal di luar kota,’’ tuturnya.

Hingga 2013, terhitung sudah ada 30 anggota komunitas yang meninggal dunia akibat narkoba. Jumlah itu mendominasi jika dibandingkan dengan daerah lain di Surabaya. Sebab, secara keseluruhan ada sekitar 100 warga Surabaya yang meninggal akibat narkoba dan 30 di antaranya adalah warga Sawahan.

Rata-rata, menurut Ari, yang meninggal dunia itu tidak tertolong karena terlambat dalam penanganannya. Biasanya pengguna itu tertutup serta enggan bercerita apa adanya kepada pendamping.

Pada 2014 komunitas tersebut masih aktif menjaring dan mengajak para pecandu untuk sembuh. Selain mendampingi dan mengajak para pengguna sembuh melalui pendekatan pertemanan, mereka mengadakan kegiatan resmi.

Termasuk, sosialisasi ke pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum tentang bahaya narkoba. Mereka juga mengadakan pelatihan keterampilan bagi mantan pecandu, pendampingan hukum, pelatihan memandikan jenazah korban narkoba, dan berbagai kegiatan lain.

Kabar kerja keras mereka akhirnya sampai ke telinga Badan Narkotika Nasional (BNN). Mereka mengirimkan utusan untuk melihat langsung dan memberikan support ke Balai RW III Kelurahan Kupang Krajan.

’’Inisiatif masyarakat seperti ini sangat berharga. Sebab, mereka ujung tombak untuk pemberantasan narkoba di tingkat terbawah,’’ kata Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar. (*/c7/ano)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ramalannya Jitu, Ingatkan Potensi Gempa Selat Sunda


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler