jpnn.com, JAKARTA - Olahraga lari merupakan aktivitas fisik yang bermanfaat bagi tubuh terutama untuk kesehatan jantung.
Kebutuhan oksigen meningkat saat berlari sehingga jantung memompa darah lebih cepat dan membantu mempercepat metabolisme tubuh.
BACA JUGA: Penderita Diabetes Boleh Olahraga Lari dengan Syarat Tertentu
Namun, bukan berarti aktivitas lari minim risiko kesehatan. Beberapa kali ditemukan kasus nyata pelari yang meninggal dunia saat sedang atau setelah mengikuti event olahraga lari.
Telah terjadi beberapa contoh kasus. Pertama yang dialami seorang pelari hobi berinisial IW. Laki-laki berusia 53 tahun dari Serang Banten itu meninggal dunia setelah tiba-tiba terjatuh di kilometer 19 pada Minggu pagi, 16 Oktober 2022 lalu.
BACA JUGA: Cara Mudah Hindari Cedera Saat Olahraga Lari
Kala itu, almarhum IW sedang mengikuti kegiata Mandiri Jakarta Marathon di kategori half marathon.
Kasus lain dialami pelari veteran berinisial MJ, laki-laki berusia 46 tahun dari Samarinda Kalimantan Timur.
BACA JUGA: 4 Manfaat Olahraga Lari untuk Kesehatan Mental
MJ juga meninggal dunia setelah tiba-tiba pingsan di kilometer ke-7 pada hari Minggu pagi, 4 September 2022 saat mengikuti event Balikpapan 10K.
Kasus yang sama juga dialami pelari berinisial SA dari Blitar Jawa Timur. SA ditemukan telah tidak bernyawa Senin malam, 15 Agustus 2022, di kamar hotelnya di Yogyakarta setelah menyelesaikan lari Marathon 42 km pertama dan terakhirnya dalam event Mandiri Jogja Marathon pada Minggu, 14 Agustus 2022.
Rentetan kejadian tersebut tentu membuat kita bertanya-tanya mengapa rajin berolahraga lari justru menimbulkan risiko kematian?
Menurut dokter umum dr. Aidil Adlha, kematian jantung mendadak atau Sudden cardiac death memang terjadi secara mendadak karena hilangnya fungsi jantung dalam waktu yang singkat.
Hal ini bisa terjadi pada seseorang dengan maupun tanpa kelainan jantung.
"Penyakit jantung diperkirakan menyebabkan kematian 17 juta orang per tahun yang mana 25 persen terjadi 1 jam setelah gejala awal timbul. Hal tersebut merupakan salah satu kriteria kematian jantung mendadak," ujar dr. Aidil pada JPNN.com.
Menurut dr. Aidil gejala yang dialami korban di antaranya mengalami penurunan kesadaran atau pingsan ketika jantung berhenti memompa darah ke seluruh tubuh termasuk ke otak.
Sebelumnya bisa didahului nyeri dada, sesak napas, berdebar-debar, atau pusing.
Artikel dari pusat jantung nasional menjabarkan perbedaan penyebab kematian jantung mendadak pada usia muda dengan usia lebih tua melalui otopsi forensik retrospektif.
Pada usia muda penyebab utama adalah channelopathy (gangguan ion channel jantung) dan kardiomiopati (kelainan otot jantung), miokarditis (radang otot jantung) dan akibat penggunaan obat-obatan.
Sebaliknya pada usia lebih tua, penyebab kematian jantung mendadak terutama adalah penyakit jantung kronik dan degeneratif (penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung, dan gagal jantung).
"Dari situ bisa kita simpulkan tidak semua kematian jantung mendadak disebabkan oleh serangan jantung akibat penyakit jantung koroner saja. Kematian jantung mendadak dapat pula disebabkan oleh kelainan jantung turunan atau bawaan. Masalah menjadi makin rumit karena kebanyakan kelainan jantung turunan ini tidak menimbulkan gejala sampai orang tersebut mengalami henti jantung," sambung dr. Aidil.
Kematian jantung mendadak memang bisa terjadi pada semua kelompok usia.
Namun, ada beberapa faktor risiko yang membuat seseorang lebih rentan mengalami kematian jantung mendadak.
Di antara lebih pada terjadi pada jenis kelamin pria, usia yang lebih tua, riwayat penyakit jantung iskemik sebelumnya, tekanan darah tinggi, kolesterol darah tinggi, kegemukan, diabetes, dan kelainan jantung turunan.
Menurutnya, itu termasuk juga pada orang yang memiliki riwayat keluarga mengalami kematian jantung mendadak, serta kebiasaan merokok.
"Mari kita kembali pada pertanyaan awal kita, bagaimana hubungan antara kematian jantung mendadak dan olahraga lari? Penelitian menunjukkan kematian jantung mendadak yang terjadi saat olahraga, termasuk lari, berkisar 5 persen dari seluruh kejadian kematian jantung mendadak," kata dr. Aidil
Dia mengakui memang olahraga terutama lari membawa manfaat besar untuk fungsi kardiovaskular.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rutin berlari berhubungan dengan risiko kematian jantung mendadak yang lebih rendah dalam jangka panjang.
Penelitian lain juga menunjukkan aktivitas fisik dalam intensitas tertentu dapat menurunkan angka kematian secara keseluruhan termasuk karena jantung mendadak.
"Dari seluruh kejadian kematian jantung mendadak yang terjadi saat olahraga, hanya 6 persen terjadi pada usia dewasa yang rutin berolahraga lari dan atlet, dibandingkan dengan 94 persen pada kelompok orang dewasa yang berolahraga lari hanya sebagai rekreasi alias tidak rutin sehingga perbandingan antara manfaat dan risiko olahraga lari pada kedua kelompok tadi berbeda," paparnya.
Pada kelompok dewasa muda, kata dia, memang olahraga lari tidak secara langsung meningkatkan angka kematian, tetapi lebih berperan sebagai pemicu terjadinya henti jantung pada individu yang memang memiliki kondisi atau kelainan kardiovaskular yang belum terdeteksi sebelumnya.
Seperti kelainan koroner kongenital (bawaan lahir), kardiomiopati, dan penyakit arteri koroner prematur.
Kondisi-kondisi tersebut membuat orang dari kelompok itu rentan mengalami gangguan irama jantung yang mengancam nyawa (misalnya aritmia ventrikel) pada saat seseorang melakukan olahraga lari.
"Sedangkan olahraga lari yang terlalu berat pada orang dewasa yang lebih tua akan meningkatkan insiden sindroma koroner akut bahkan serangan jantung pada individu yang tidak berolahraga secara teratur. Namun, apabila olahraga lari tersebut dilakukan secara teratur dengan porsi yang terukur justru akan mencegah terbentuknya penyempitan arteri koroner, sehingga bisa menurunkan risiko terjadinya sindroma koroner akut dan serangan jantung yang pada akhirnya akan mencegah kematian jantung mendadak," lanjutnya.
Selain olahraga teratur, bisa dilakukan juga pencegahan kematian mendadak jantung. Di antaranya dengan mengevaluasi riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, level aktivitas fisik yang akan dijalani, serta latihan fisik sebelumnya sebelum memulai aktivitas olahraga lari.
Selain itu, deteksi dini seperti pemeriksaan rekam jantung (elektrokardiografi atau ekokardiografi) secara rutin, misalnya setahun sekali, dapat pula dilakukan untuk mendeteksi kelainan jantung lebih dini.
"Sebagai tambahan, penting juga mensosialisasikan cara melakukan resusitasi kardiopulmoner (CPR) pada masyarakat terutama peserta event olahraga lari karena jika tidak segera diobati, maka henti jantung mendadak dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan medis yang cepat dan tepat, pengidapnya masih sangat mungkin untuk tetap hidup," tegasnya.
Sebuah artikel oleh Mayo Clinic menyebutkan dengan memberikan resusitasi kardiopulmoner (CPR), bila dua orang tersedia untuk membantu, yang satu harus memulai CPR segera, sementara yang lain menelepon layanan medis darurat dan mempersiapkan defibrillator eksternal otomatis.
Memberikan bantuan tekanan pada dada saja (Hands-Only CPR) sudah bisa meningkatkan peluang bertahan hidup pada korban sampai petugas medis tiba.
"Kesimpulannya, olahraga lari jelas bermanfaat dalam mencegahan penyakit jantung, bahkan secara jangka panjang juga menghindarkan dari terjadinya kematian jantung mendadak terkait olahraga. Namun, perlu diperlukan screening yang sesuai dengan masing-masing individu sebelum memulai suatu latihan atau olahraga agar kelainan jantung bisa dideteksi sejak dini dan sebaiknya dibuatkan program latihan rutin dengan porsi yang sesuai dengan kondisi fisik masing-masing individu," pungkas dr. Aidil. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi