jpnn.com, LOMBOK TIMUR - AG dan Y merupakan satu di antara 15 pasangan yang menikah di bawah umur dalam catatan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Lombok Timur, NTB.
Sepanjang 2020, sebelas dari 15 pernikahan itu terjadi pada Mei, Juni, dan Juli. Ya, ketika pandemi Covid-19 menghantam Indonesia.
BACA JUGA: Tips agar Siswa Disabilitas Intelektual Tetap Bugar saat Belajar dari Rumah
Y adalah siswi sebuah SMP, kelas IX. AG dua tahun di atasnya.
Cinta mereka bersemi dari sebuah pertemuan sederhana.
BACA JUGA: Belum Menikah di Usia 52 Tahun, Jeremy Teti: Aku Mencari Kebahagiaan dengan Caraku Sendiri
Saat itu Y memanfaatkan waktu luang jalan-jalan bersama sejumlah kawannya di sekitar tempat tinggalnya, kawasan Kecamatan Selong, Lombok Timur.
AG melihatnya, terpikat, meminta nomor ponselnya, dan tak terlalu lama kemudian Y sudah jadi istri AG.
BACA JUGA: Mbah Mijan: Menikah Hanya Seumur Jagung, Artis Muda Bakal Cerai
"Inilah janji saya. Sudah takdir," kata AG kepada Lombok Post yang menemuinya di kediaman keluarga Y.
Mereka menikah secara agama pada 13 Mei lalu. Belum sah secara negara karena menurut Undang-Undang Pernikahan, batas usia pernikahan adalah usia 19 tahun.
Namun, AG dan Y tak terlalu mempermasalahkan hal itu.
"Ibu saya mengizinkan,” ujar Y yang turut mendampingi sang suami saat menemui Lombok Post.
AG yang sehari-hari tinggal bersama sang ayah di kawasan kecamatan yang sama dengan Y, memilih tidak melanjutkan ke SMA. Dia bekerja sebagai buruh harian.
Sementara Y, merupakan anak kedua di antara enam bersaudara. Dia tinggal bersama sang ibu, sedangkan ayahnya sudah lama merantau ke Malaysia.
Kata AG, keinginan untuk menikahi Y tiba-tiba saja muncul di pikirannya. Waktu itu, dia langsung mengutarakan keinginan tersebut kepada ibunda Y. Awalnya main-main, tetapi ditanggapi serius dan terjadilah.
M, ibunda Y, tak berkata banyak saat ditanya mengenai pilihan putri keduanya untuk menikah di usia 15 tahun.
"Yang penting dia yakin dan bisa memberikan yang terbaik untuk suaminya,” katanya.
Niat pasangan itu sebenarnya sempat dicegah UPTD PPA (unit pelaksana teknis daerah pemberdayaan perempuan dan anak), DP3AKB, dan pihak sekolah bersama kelurahan.
Namun, upaya berbagai pihak tak membuahkan hasil.
R, kepala lingkungan tempat AG tinggal, mengatakan, setiap kali ada kasus pernikahan anak, pada saat itu juga dirinya merasa seperti berada di ujung dua mata pisau yang siap melukainya.
"Di satu sisi, ada aturan yang harus ditegakkan. Di sisi lain, masyarakat harus diamankan,” katanya.
Berdasar pengalamannya, saat mediasi terjadi, keluarga perempuan mengatakan bisa saja anaknya dikembalikan. Namun, mereka juga menegaskan pihak lelaki harus bersedia menanggung risikonya.
Persoalannya, kata R, risiko yang dimaksud penuh ancaman. Kalau denda, mungkin tinggal disebutkan dan dengan mudah bisa dibayar.
"Namun, bagaimana jika risiko yang dimaksud adalah ancaman yang bisa saja membahayakan warga saya,” jelasnya.
Di kelasnya, Y merupakan siswi ketiga yang menikah selama pandemi ini.
Dia menggelengkan kepala saat ditanya apakah mereka bersepakat menikah bersama atau memengaruhi satu sama lain.
Katanya, justru banyak temannya yang belum mengetahui bahwa dirinya kini sudah menikah.
Y juga mengaku bahwa minatnya bersekolah berkurang setelah dua bulan lebih tidak masuk, hanya belajar dari rumah.
Namun, tidak hanya itu. Alasan lainnya tentu ada.
"Namun, kalau waktu itu sekolah, pasti saya tidak ketemu sama suami saya ini. Karena libur sekolah, saya bisa jalan-jalan pagi, lalu ketemu (dan terjadilah pernikahan ini),” terangnya.
GA tak terlalu cemas soal menafkahi sang istri kendati tak punya pekerjaan tetap.
Justru pernikahan itu jadi kiat menyemangati dia untuk mencari uang.
"Di mana ada pekerjaan harian, di sana saya bekerja,” jelas AG.
Selain itu, pikirannya lebih fokus dan tenang daripada saat masih lajang. Dia juga bakal sabar menunggu sampai pernikahannya dengan Y disahkan negara. (*/c7/ttg/r6)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Adek