Melbourne sedang melakukan tes virus corona besar-besaran untuk mengendalikan kasus penularan yang baru terjadi dalam beberapa hari terakhir.

Tetapi di media sosial, peningkatan jumlah tes disertai juga dengan meningkatnya informasi yang keliru dan teori konspirasi soal keamanan prosedur tes COVID-19.

BACA JUGA: Sejumlah ASN Menghindar Saat Dilakukan Tes Usap Massal

Dalam beberapa unggahan disebutkan jenis tes COVID-19 yang dilakukan saat ini tidak dapat mendeteksi virus dan malah disebut berbahaya.

Sebagian besar konten dari Facebook dan Instagram yang dikirimkan ke ABC terkait dengan tes COVID-19 yang dikenal sebagai tes polimerase, atau PCR.

BACA JUGA: Pasien Positif Covid-19 di Secapa AD Tinggal 948 Orang

Photo: Kebanyakan orang di Australia yang tidak mau dites adalah karena ketidaknyaman saat harus melakukan swab di lubang hidung atau telinga mereka. (ABC News: Jerry Rickard)

 

Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus SARS-CoV-2 lewat metode 'swab' yang dimasukkan ke satu atau kedua lubang hidung atau ke bagian belakang tenggorokan.

BACA JUGA: Wakil Bupati OKU Selatan Positif Terjangkiti Virus Corona

Di Victoria, Juru bicara untuk Departemen Kesehatan (DHHS) mengatakan sebanyak 1.068.000 tes COVID-19 telah diproses sampai hari ini.

"Yang dilakukan di Victoria adalah tes PCR, salah satu cara yang biasanya dilakukan untuk mendeteksi virus corona," katanya.

"Tes ini dianggap sebagai tes yang paling biasa diandalkan dan secara teratur diperiksa efektivitasnya sebagai bagian dari studi validasi di laboratorium." 'Lockdown' Melbourne babak kedua: Pasang surut bisnis warga Indonesia di Melbourne saat 'lockdown' kedua diberlakukan Warga Melbourne disarankan menggunakan masker bila keluar rumah dan jika tak bisa jaga jarak Muslim di Melbourne: naiknya penularan COVID-19 tidak ada kaitannya dengan agama

 

Tapi masih banyak orang yang menolak dites di saat terjadi lonjakan kasus penularan di beberapa wilayah di Australia.

Belum jelas apakah karena informasi yang salah tersebut menyebabkan mereka yang pernah menjalani karantina di hotel atau di wilayah lockdown di Victoria menolak dites.

Pekan lalu, Menteri Kesehatan Negara Bagian Victoria, Jenny Mikakos, menghubungkan penolakan dites dengan teori konspirasi yang dipercaya warga.

Namun, Juru bicara DHHS belakangan mengatakan kepada situs 'The Guardian' jika teori konspirasi bukan jadi alasan mengapa ada warga yang menolak dites.

"Orang-orang telah menolak tes karena alasan-alasan seperti tidak mau di-swab melalui lubang hidungnya dan lebih memilih tes air liur, juga karena kendala bahasa, yang sedang berusaha diatasi tim kali," kata juru bicara DHHS. Infographic: Misinformation about PCR tests is being circulated on Facebook in various forms. (ABC News: Facebook post)

  'Menebarkan rasa takut'

Seorang warga Australia, David Sommerville merasa frustrasi saat melihat orang-orang menyebarkan informasi yang salah tentang tes virus corona di Facebook.

Ia khawatir jika kebingungan tentang tes akan menurunkan tingkat pengetesan, sehingga membuat orang berisiko sakit, bahkan meninggal dunia.

"Saya melihat teman dan kenalan membagikan informasi palsu yang membuat resah, padahal beberapa diantaranya jelas-jelas dilakukan di Amerika karena menggunakan istilah seperti Q-tips," kata David.

Artikel yang mengandung informasi yang salah itu telah dibaca oleh puluhan ribu orang dan menyebabkan keraguan tidak berdasar soal efektivitas tes PCR.

Data dari perusahaan analisis media sosial BuzzSumo menunjukkan 5 dari 10 konten web terkait pengetesan dalam satu bulan terakhir, yang paling banyak menarik pembaca adalah artikel yang secara keliru menyatakan penemu PCR, pemenang hadiah Nobel Kary Mullis, membantah tes ini dapat secara efektif mendeteksi virus menular. Kabar warga Indonesia di Victoria
Ada banyak warga Indonesia yang tinggal di kawasan 'hostpot' penularan virus corona di Australia.

 

Situs web yang mempromosikan klaim ini termasuk penerbit berita independen dan blog anti-vaksin.

Menurut 'Reuters Fact Check', hal itu tidak benar, karena Kary telah dikutip dengan salah dan yang ia katakan bukan tentang tes COVID-19.

Colin Klein dari Australian National University telah meneliti bagaimana teori konspirasi menyebar di dunia online.

Ia mengatakan, masuk akal ada kelompok-kelompok yang meragukan keseriusan COVID-19 terkait dengan teori konspirasi.

"Meraka sudah lebih dulu meyakini hal seperti ini," kata Dr Klein.

"Saya menganggap bagian inti dari sebagian besar teori konspirasi adalah: bukan saja kamu sedang dibohong, tetapi ada sesuatu yang disembunyikan."

Versi lain dari informasi yang salah dan beredar dalam Grup Facebook Teori Konspirasi Australia adalah klaim jika tes PCR dapat "menghancurkan penghalang darah di otak" dan membiarkan "bakteri dan racun lain masuk ke otak Anda dan menginfeksi jaringan otak sehingga dapat menyebabkan peradangan dan kadang-kadang kematian ".

Posting itu telah ditandai sebagai informasi palsu oleh Facebook dan dibantah oleh tim Pemeriksa Fakta Associated Press, yang menegaskan jika metode 'swab' tidak menyentuh penghalang darah-otak. Photo: Untuk urusan baterai iPhone, ada banyak teori konspirasi yang beredar. (Japanexperterna.se/Flickr (CC BY-SA 2.0))

 

Menurut data Crowdtangle, tautan tersebut telah dibagikan oleh puluhan halaman Facebook yang terkait dengan teori anti-vaksinasi dan konspirasi QANON, dengan hampir 200.000 pengikut.

Orang-orang yang percaya pada konspirasi dimotivasi oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan merasa yakin jika mereka sudah ditipu, kata Dr Klein, sehingga teori yang mereka buat juga tidak konsisten. Alasan banyak orang menolak dites

Lonjakan informasi yang salah ini terjadi ketika Australia menghadapi tingginya kembali penularan virus corona di negara bagian Victoria dan di saat pemerintah mendorong warga untuk dites

Jane Williams, seorang peneliti dari Sydney Health Ethics di University of Sydney, baru-baru ini menulis dalam The Conversation tentang mengapa orang mungkin menolak dites COVID-19.

Dia mengatakan masih tidak cukup tahu motivasi dari mereka yang menghindari tes, apakah mereka merasa kebingungan, ketakutan atau masalah keuangan, dan saat ini kita juga tidak dapat mengukur apakah kesalahan informasi online berdampak pada keputusan tersebut.

Dr Williams mengatakan, ada baiknya melihat kasus penolakan vaksinasi sebagai perbandingan.

"Informasi yang salah mendorong beberapa orang untuk tidak melakukan vaksinasi, tetapi sebagian besar dari mereka yang tidak divaksinasi bukan karena kepercayaan, melainkan faktor kepraktisan," katanya, seperti kemudahan dan biaya akses. Baca juga artikel terkait: Angka kematian di Indonesia sudah lebih dari 10 ribu jika dihitung berdasarkan pedoman WHO Pemerintah Indonesia dianggap menggunakan pendekatan militeristik dalam menangani virus corona Alasan tingginya kematian tenaga kesehatan di Indonesia di tengah pandemi virus corona

 

Beberapa grup di Facebook yang membagikan informasi salah soal pengetesan memiliki rekam jejak menyebut virus itu sebagai hoaks, serta menyebarkan teori konspirasi di balik aturan jarak sosial dan 'lockdown'.

Peneliti dari University of Melbourne George Buchanan telah mengamati diskusi online tentang COVID-19 pada platform seperti YouTube dan Twitter.

Dalam beberapa minggu terakhir, ia telah mengamati meningkatnya kekhawatiran tentang tes yang disebarkan di media sosial.

Beberapa orang juga menyebarkan kekhawatiran tentang dampak fisik setelah dites.

Secara umum, ia mengamati unggahan anti-tes sebagian besar berasal dari luar negeri, bukan dari Australia.

"Banyak kelompok anti-tes datang dari orang-orang yang memperdebatkan satu dari dua hal: antara 'kondisi ini tidak benar-benar terjadi' dan 'mengapa harus dites kalau tidak perlu?'" katanya.

"Atau, ada orang-orang yang mengklaim bahwa tenaga medis dan politisi melebih-lebihkan [situasi] untuk membuat orang takut."

Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di Australia hanya di ABC Indonesia

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasien Sembuh dari Covid-19 di DIY Bertambah

Berita Terkait