Sidang terbuka program doktor Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Sabtu (26/1) lalu menghadirkan warga Palestina Nedal A.M. Jabari sebagai promovendus. Dia mengadakan penelitian untuk pengembangan universitas terbuka di negerinya yang terus dilanda konflik bersenjata.
------------------------------------------
RIO F. RACHMAN, Surabaya
------------------------------------------
NEDAL A.M. Jabari terlihat tangkas saat mempresentasikan disertasi yang berjudul Adaptive Virtual Classroom Model (AVCM) Based on Student Modeling and Course Sequencing. Dia cukup tenang menyampaikan detail penelitian itu di hadapan tim penguji. Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz N. Mehdawi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh turut menyaksikan sidang terbuka itu.
Setelah dia memaparkan hasil penelitian dalam bahasa Inggris selama 20 menit, tim penguji mengajukan sejumlah pertanyaan. Ayah dua anak ini pun menjawabnya secara meyakinkan. Karena itu, promotor Prof Mauridhi Hery Purnomo dan kopromotor Mochammad Hariadi beserta penguji lain sepakat untuk memberikan nilai cum laude. "Disertasi saya soal sistem yang bisa beradaptasi dengan pemakainya," kata suami Hanadi Jabari itu.
Dia mengatakan, sistem itu akan dipakai untuk proses perkuliahan di Universitas Terbuka (UT) Palestina. Cara kerjanya relatif simpel. Pertama, mahasiswa menjawab pertanyaan berupa placement test. Jawaban mahasiswa akan berbeda-beda sesuai kecenderungannya. Apakah mahasiswa itu cenderung suka teks, gambar, atau eksperimen.
Jika ternyata dia suka teks, pembelajaran online akan lebih pas memakai basic teks. Demikian pula jika dia gemar dengan model gambar, bahan pelajaran yang menemaninya di perkuliahan online berupa gambar atau visualisasi yang menarik. Adapun jika dia senang bereksperimen, metode yang disiapkan dalam perkuliahan adalah cara bereksperimen.
"Perbedaa n hanya pada cara penjelasannya. Tapi, tujuan perkuliahannya sama. Misalnya, pertanyaan saat ujian mungkin berbeda modelnya sesuai kecenderungan masing-masing. Namun, jawabannya tetap sama," ungkapnya.
Untuk sementara, sistem itu baru dibuat bagi mahasiswa jurusan multimedia di Palestina. Sebab, bahan pekuliahannya masih dari dirinya. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan sistem itu diterapkan di jurusan lain, bahkan bagi mahasiswa UT di Indonesia. Intinya, model pembelajaran ini dimaksudkan untuk lebih menyenangkan mahasiswa sesuai kecenderungan masing-masing.
"Di Palestina, mahasiswa memiliki background berbeda-beda. Usianya juga sangat variatif. Ada yang masih 18 tahun, ada juga yang sudah 40 tahun bahkan 50 tahun. Karena itu, perlu dibuatkan sistem yang bisa beradaptasi dengan pemakai dari beragam latar belakang.
Nedal mengambil doktor di ITS memanfaatkan beasiswa dari Biro Perencanaan Kerja Sama Luar Negeri Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Dia mulai kuliah pada awal 2010. Dengan demikian, hingga lulus dia membutuhkan tiga tahun untuk menyelesaikannya. Termasuk, penelitian yang dia lakukan di tanah kelahirannya.
Dia memang harus bolak-balik Surabaya"Hebron (Palestina) untuk menyelesaikan kuliah doktornya. Tapi, dia harus balik ke Hebron tanah kelahirannya karena hasil disertasi itu akan diaplikasikan di sana.
Nedal mengaku, sejauh ini tak ada hambatan berarti dalam perkuliahan jarak jauhnya di ITS. Hambatan justru terjadi saat dia berada di kampung halaman, Hebron. Pasalnya, komunikasi Indonesia-Palestina sering terputus. Line internet di sana juga kerap macet atau diblokir.
Meninggalkan istri dan empat anak di kota yang sedang dikepung desing peluru tentu tidak mudah. Secara psikologis, Nedal pasti selalu waswas. Namun, itu harus dilakukannya untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.
Di sisi lain, dia kerap mendengar kabar bahwa di kampung kelahirannya beberapa kali terjadi baku tembak. "Banyak kawan saya yang dipenjara tanpa alasan yang jelas. Misalnya, kebetulan mereka melintas di suatu lokasi dan ada insiden di sana. Mereka ikut-ikutan ditangkap," kata dia.
Kondisi keamanan di Palestina juga masih tidak menentu. Sejumlah mahasiswa di kampus tempat dia bekerja, Palestine Technical College-Aroub (PTCA), juga menjadi korban baku tembak. Tidak sedikit yang terluka parah. "Salah satu mahasiswi saya beberapa hari lalu meninggal setelah ditembak militer Israel," ujarnya.
Dia amat terkejut saat mendapat kabar via e-mail tentang kematian mahasiswi yang masih berusia 22 tahun itu. Mahasiswi tersebut dalam perjalanan pulang dari kampus. Saat hendak meninggalkan kampus, tiba-tiba sebuah mobil berisi tentara Israel berhenti. Seorang di antaranya keluar dan menembak si mahasiswi.
"Si tentara berdalih terpaksa menembak korban karena curiga bahwa mahasiswi itu membawa bom molotov dan siap menyerang. Tapi, rasanya itu tidak mungkin," ujar Nedal tanpa bersedia menyebutkan nama mahasiswi tersebut. "Tragedi inilah yang menginspirasi dan memotivasi saya untuk segera menyelesaikan kuliah dan melakukan penelitian ini," ujarnya.
Nedal menambahkan, menjadi mahasiswa di Palestina tak semudah di Indonesia. Konflik bersenjata di daerah tertentu membuat masyarakat waswas dan takut keluar rumah. Bahkan, di rumah pun bisa menjadi korban peluru atau bom nyasar.
Nedal pernah berjalan kaki hingga 10 km dari rumah menuju kampusnya karena jalan-jalan raya diblokade tentara Israel. Dia harus menyusuri jalan-jalan kecil yang aman meski harus memutar jauh.
Kendati begitu, dia tidak pernah berputus asa untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sebab, dia percaya, pendidikan bisa mengubah keadaan. Pendidikan bisa membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.
"Kami tidak punya senjata. Kami tidak punya kekuatan. Tapi, dengan pendidikan yang bagus, kami yakin bisa berubah menjadi lebih baik," terangnya.
Dengan modal hasil penelitiannya itu, Nedal berjanji memaksimalkan peran UT untuk meningkatkan mutu pendidikan di negeri Yasser Arafat tersebut. Kuliah secara online bakal lebih optimal. Sebab, metode ini dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan setiap mahasiswa. Dengan demikian, perkuliahan bisa lebih menyenangkan.
"Terima kasih untuk pemerintah Indonesia yang sudah memberikan beasiswa ini. Insya Allah, tahun ini ada 10 warga Palestina lagi yang lulus di kampus-kampus di Indonesia," katanya.
Selain di ITS, mahasiswa asal Palestina menjalani pendidikan di Universitas Gadjah Mada (Jogja), Universitas Diponegoro (Semarang), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Brawijaya (Malang), dan sebagainya.
"Saya senang bekerja sama dengan Palestina. Insya Allah kami akan melanjutkan kerja sama ini. Ingat, ikatan hubungan Indonesia dan Palestina ini lahir dan batin," kata Mendikbud M. Muh. (*/c2/ari)
------------------------------------------
RIO F. RACHMAN, Surabaya
------------------------------------------
NEDAL A.M. Jabari terlihat tangkas saat mempresentasikan disertasi yang berjudul Adaptive Virtual Classroom Model (AVCM) Based on Student Modeling and Course Sequencing. Dia cukup tenang menyampaikan detail penelitian itu di hadapan tim penguji. Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz N. Mehdawi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh turut menyaksikan sidang terbuka itu.
Setelah dia memaparkan hasil penelitian dalam bahasa Inggris selama 20 menit, tim penguji mengajukan sejumlah pertanyaan. Ayah dua anak ini pun menjawabnya secara meyakinkan. Karena itu, promotor Prof Mauridhi Hery Purnomo dan kopromotor Mochammad Hariadi beserta penguji lain sepakat untuk memberikan nilai cum laude. "Disertasi saya soal sistem yang bisa beradaptasi dengan pemakainya," kata suami Hanadi Jabari itu.
Dia mengatakan, sistem itu akan dipakai untuk proses perkuliahan di Universitas Terbuka (UT) Palestina. Cara kerjanya relatif simpel. Pertama, mahasiswa menjawab pertanyaan berupa placement test. Jawaban mahasiswa akan berbeda-beda sesuai kecenderungannya. Apakah mahasiswa itu cenderung suka teks, gambar, atau eksperimen.
Jika ternyata dia suka teks, pembelajaran online akan lebih pas memakai basic teks. Demikian pula jika dia gemar dengan model gambar, bahan pelajaran yang menemaninya di perkuliahan online berupa gambar atau visualisasi yang menarik. Adapun jika dia senang bereksperimen, metode yang disiapkan dalam perkuliahan adalah cara bereksperimen.
"Perbedaa n hanya pada cara penjelasannya. Tapi, tujuan perkuliahannya sama. Misalnya, pertanyaan saat ujian mungkin berbeda modelnya sesuai kecenderungan masing-masing. Namun, jawabannya tetap sama," ungkapnya.
Untuk sementara, sistem itu baru dibuat bagi mahasiswa jurusan multimedia di Palestina. Sebab, bahan pekuliahannya masih dari dirinya. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan sistem itu diterapkan di jurusan lain, bahkan bagi mahasiswa UT di Indonesia. Intinya, model pembelajaran ini dimaksudkan untuk lebih menyenangkan mahasiswa sesuai kecenderungan masing-masing.
"Di Palestina, mahasiswa memiliki background berbeda-beda. Usianya juga sangat variatif. Ada yang masih 18 tahun, ada juga yang sudah 40 tahun bahkan 50 tahun. Karena itu, perlu dibuatkan sistem yang bisa beradaptasi dengan pemakai dari beragam latar belakang.
Nedal mengambil doktor di ITS memanfaatkan beasiswa dari Biro Perencanaan Kerja Sama Luar Negeri Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Dia mulai kuliah pada awal 2010. Dengan demikian, hingga lulus dia membutuhkan tiga tahun untuk menyelesaikannya. Termasuk, penelitian yang dia lakukan di tanah kelahirannya.
Dia memang harus bolak-balik Surabaya"Hebron (Palestina) untuk menyelesaikan kuliah doktornya. Tapi, dia harus balik ke Hebron tanah kelahirannya karena hasil disertasi itu akan diaplikasikan di sana.
Nedal mengaku, sejauh ini tak ada hambatan berarti dalam perkuliahan jarak jauhnya di ITS. Hambatan justru terjadi saat dia berada di kampung halaman, Hebron. Pasalnya, komunikasi Indonesia-Palestina sering terputus. Line internet di sana juga kerap macet atau diblokir.
Meninggalkan istri dan empat anak di kota yang sedang dikepung desing peluru tentu tidak mudah. Secara psikologis, Nedal pasti selalu waswas. Namun, itu harus dilakukannya untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.
Di sisi lain, dia kerap mendengar kabar bahwa di kampung kelahirannya beberapa kali terjadi baku tembak. "Banyak kawan saya yang dipenjara tanpa alasan yang jelas. Misalnya, kebetulan mereka melintas di suatu lokasi dan ada insiden di sana. Mereka ikut-ikutan ditangkap," kata dia.
Kondisi keamanan di Palestina juga masih tidak menentu. Sejumlah mahasiswa di kampus tempat dia bekerja, Palestine Technical College-Aroub (PTCA), juga menjadi korban baku tembak. Tidak sedikit yang terluka parah. "Salah satu mahasiswi saya beberapa hari lalu meninggal setelah ditembak militer Israel," ujarnya.
Dia amat terkejut saat mendapat kabar via e-mail tentang kematian mahasiswi yang masih berusia 22 tahun itu. Mahasiswi tersebut dalam perjalanan pulang dari kampus. Saat hendak meninggalkan kampus, tiba-tiba sebuah mobil berisi tentara Israel berhenti. Seorang di antaranya keluar dan menembak si mahasiswi.
"Si tentara berdalih terpaksa menembak korban karena curiga bahwa mahasiswi itu membawa bom molotov dan siap menyerang. Tapi, rasanya itu tidak mungkin," ujar Nedal tanpa bersedia menyebutkan nama mahasiswi tersebut. "Tragedi inilah yang menginspirasi dan memotivasi saya untuk segera menyelesaikan kuliah dan melakukan penelitian ini," ujarnya.
Nedal menambahkan, menjadi mahasiswa di Palestina tak semudah di Indonesia. Konflik bersenjata di daerah tertentu membuat masyarakat waswas dan takut keluar rumah. Bahkan, di rumah pun bisa menjadi korban peluru atau bom nyasar.
Nedal pernah berjalan kaki hingga 10 km dari rumah menuju kampusnya karena jalan-jalan raya diblokade tentara Israel. Dia harus menyusuri jalan-jalan kecil yang aman meski harus memutar jauh.
Kendati begitu, dia tidak pernah berputus asa untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sebab, dia percaya, pendidikan bisa mengubah keadaan. Pendidikan bisa membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.
"Kami tidak punya senjata. Kami tidak punya kekuatan. Tapi, dengan pendidikan yang bagus, kami yakin bisa berubah menjadi lebih baik," terangnya.
Dengan modal hasil penelitiannya itu, Nedal berjanji memaksimalkan peran UT untuk meningkatkan mutu pendidikan di negeri Yasser Arafat tersebut. Kuliah secara online bakal lebih optimal. Sebab, metode ini dilaksanakan sesuai dengan kecenderungan setiap mahasiswa. Dengan demikian, perkuliahan bisa lebih menyenangkan.
"Terima kasih untuk pemerintah Indonesia yang sudah memberikan beasiswa ini. Insya Allah, tahun ini ada 10 warga Palestina lagi yang lulus di kampus-kampus di Indonesia," katanya.
Selain di ITS, mahasiswa asal Palestina menjalani pendidikan di Universitas Gadjah Mada (Jogja), Universitas Diponegoro (Semarang), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Brawijaya (Malang), dan sebagainya.
"Saya senang bekerja sama dengan Palestina. Insya Allah kami akan melanjutkan kerja sama ini. Ingat, ikatan hubungan Indonesia dan Palestina ini lahir dan batin," kata Mendikbud M. Muh. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Melihat Fasilitas Pemusatan Latihan Timnas di Medan
Redaktur : Tim Redaksi