Ternyata, Ngeri Banget Dampak Kecanduan Chatting dan Game

Kamis, 20 April 2017 – 00:06 WIB
Andika Yunianto, dosen Universitas Persada Indonesia yang juga praktisi psikologi teknologi informasi. Dia kebanjiran pasien. Foto: JAWA POS PHOTO

jpnn.com - Praktisi psikologi teknologi informasi (TI) makin sibuk menangani para korban efek negative era digital. Contohnya, Andika Yunianto yang kini mempunyai banyak pasien.

AGUS DWI PRASETYO, Jakarta

BACA JUGA: PT NEXT INS Indonesia Garap Pasar IT Perbankan Nasional

’’Makanan itu racun, awas kamu mau dibunuh makanan,’’ ucap pria berkulit putih melarang temannya yang hendak menyantap makanan di sebuah restoran siap saji di Jakarta Barat.

Sontak, temannya tersebut kaget. Sebab, kalimat yang diucapkan si pria itu tidak lazim dan cenderung ngawur. ’’Makanan itu juga akan membunuh saya,’’ imbuh pria tersebut makin ngawur.

BACA JUGA: Menhub Minta Satelit Unisat Dukung IT Sektor Transport

Beberapa hari berikutnya, pria 28 tahun itu kembali berperilaku aneh saat hendak menyeberang jalan.

Tiba-tiba dia menunjukkan gestur seperti orang sedang ketakutan. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan berlindung di balik badan temannya.

BACA JUGA: Sektor Digital Bakal Jadi Magnet Bagi Investor

’’Tempat ini menyeramkan,’’ ucapnya dengan mimik ketakutan.

Melihat perilaku aneh si pria tersebut, teman kantornya itu jadi penasaran. Dia lalu mencari tahu apa yang membuat si pria lajang tersebut mendadak seperti orang sakit jiwa.

’’Sakit jiwanya sudah akut. Dia harus dibawa ke psikiater,’’ ujar Andika Yunianto menirukan saran yang pernah dia sampaikan kepada teman pria itu, Jumat (14/4).

Pria berkulit putih yang diceritakan itu adalah pegawai administrasi marketing sebuah perusahaan di Kebon Jeruk, Jakarta.

Kalimat-kalimat ngaco yang keluar dari mulut dia, papar Dika –panggilan Andika–, merupakan halusinasi akut akibat gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi yang lemah. Dalam bahasa psikologi disebut skizofrenia.

Setelah dilakukan pemeriksaan dan pendekatan, diketahuilah bahwa penyakit kejiwaan yang dialami pria itu muncul karena dampak kemajuan teknologi digital.

Sejak SMA, pasien yang dirahasiakan namanya itu kecanduan online game. Hampir setiap hari selepas sekolah dia main game dalam jaringan (daring) tersebut.

Kecanduan itu semakin parah setelah dia lulus SMA. Dia makin asyik di depan monitor komputer, lagi-lagi untuk main game. Bahkan sampai tidak mengenal waktu. Waktunya habis hanya untuk main game.

Kebiasaan itulah yang membuat pria tersebut kemudian sering dilanda kecemasan saat memasuki dunia kerja. Salah satu gejalanya, berperilaku aneh dan mengeluarkan kalimat-kalimat ngawur.

”Dia seperti dapat bisikan-bisikan di kupingnya,” ujar Dika.

Pria itu hanya satu di antara sejumlah korban keganasan era digital yang ditangani Dika. Banyak korban lain yang kerap datang untuk berkonsultasi dan minta disembuhkan oleh Dika.

Mayoritas penggemar peranti elektronik (gadget holic) berusia 15–30 tahun. Usia itu didominasi pelajar dan mahasiswa yang memang rentan terhadap serangan pengaruh negatif TI.

Dampak buruk itu, antara lain, berupa ketergantungan bermain online game, kecanduan menggunakan media sosial (medsos), kriminalitas siber (cybercrime), intimidasi siber (cyberbullying), sampai terorisme siber (cyberterrorism).

Di antara serangan itu, kecanduan chatting di medsos paling umum dialami para pengguna teknologi digital. ”Kebanyakan chatting itu bahaya, lho,” terang Dika.

Dika sudah menangani ratusan kasus kejiwaan yang dialami para pengguna perangkat digital itu. Uniknya, banyak di antaranya sosialita yang gemar chatting di medsos. Mereka umumnya pendatang baru di era digital, tapi terus kecanduan.

Kepada Dika, mereka mengaku sering cemas bila seharian tidak memegang gadget. Seperti ada yang kurang dalam hidup mereka.

Ujung-ujungnya, mereka lalu menutup diri dari lingkungan sekitar, tidak terkecuali orang-orang terdekat.

Biasanya, orang-orang yang menuhankan gadget itu jarang mau berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Mereka lebih asyik dengan dunia barunya itu.

Mereka juga merasa bisa memecahkan masalah sendiri dengan mencari bantuan di fitur-fitur gadget dan chatting dengan sesama pecandu gadget. Hal itu lambat laun akan berpengaruh terhadap kondisi psikis mereka.

”Mereka lalu menarik diri dari pergaulan masyarakat,” ucap dosen psikologi Universitas Persada Indonesia tersebut.

Beberapa cara dilakukan Dika untuk ”mengobati” pasien-pasiennya itu. Bagi pasien yang sudah akut, dia akan merujuk ke psikiater dan menyarankannya untuk mengonsumsi obat khusus bagi psikopat. Sedangkan pasien yang belum parah akan dia dampingi langsung untuk penyembuhan.

”Saya juga akan minta bantuan teman pasien untuk ikut memantau perkembangannya,” tutur Dika.

Gejala-gejala gangguan psikologis akibat TI itu menarik perhatian Dika sejak masuk bangku kuliah pada 2007. Awalnya, pria kelahiran Magetan, Jawa Timur, tersebut mengambil jurusan teknologi informasi di kampus tempat mengajarnya sekarang.

Setelah melakukan penelitian tentang tingkat kesadaran diri terhadap disiplin, Dika memutuskan untuk memperdalam ilmu psikologi.

”Ternyata, orang yang tidak disiplin itu, salah satunya, karena faktor teknologi,” ujar pria 29 tahun tersebut.

Begitu lulus dan mendalami persoalan kejiwaan akibat TI, banyak ”korban” teknologi digital yang datang kepadanya. Baik untuk sekadar konsultasi maupun terapi guna menyembuhkan penyakit akut itu.

”Banyak yang tahu saya dari mulut ke mulut. Ada juga mahasiswa yang sadar telah kecanduan, lalu datang ke saya,” tuturnya.

Selain memberikan konsultasi atau merujuk pasien kepada psikiater, Dika lebih banyak melakukan pendampingan pasien untuk penyembuhan. Sebab, mereka juga pasien penyakit tertentu yang membutuhkan perawatan intensif dari dokter.

Namun, semua dikembalikan kepada para pasien. Apakah mereka ingin benar-benar sembuh atau sekadar ingin tahu.

”Peran orang tua dan lingkungan sekitar, seperti teman dan kondisi sosial masyarakat, juga berpengaruh dalam proses penyembuhan,” imbuh Dika. (*/c5/c11/ari)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler