jpnn.com - Indonesia menjadi tuan rumah konferensi para pemimpin agama internasional dalam Forum R20.
Forum yang berlangsung di Bali (2-3/11) ini merupakan bagian dari pertemuan negara-negara yang tergabung dalam G20.
BACA JUGA: Sederet Tokoh Perempuan Dunia Sampaikan Gagasan di Forum R20
Ide dari forum R20 ini adalah supaya agama menjadi bagian penting dalam pembangunan ekonomi internasional yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan.
Forum R20 digagas oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.
BACA JUGA: Republik Islam Iran Korban Terbesar Aksi Terorisme di Dunia
Seluruh negara anggota G20 mengirim delegasinya ditambah dengan 35 delegasi di luar keanggotaan G20.
Para tokoh lintas agama hadir dalam pertemuan itu.
BACA JUGA: Di Depan Para Pemimpin Agama Dunia, Menag Yaqut Bicara Soal Politik Identitas
Selama ini agama dianggap sebagai faktor yang menjadi kendala pembangunan ekonomi.
Setidaknya agama tidak memainkan peran dalam pembangunan ekonomi.
Agama—dalam hal ini Islam—sering dianggap sebagai faktor detrimental dalam pembangunan ekonomi.
Kekerasan atas nama agama terjadi sepanjang sejarah manusia.
Bukan hanya di kalangan Islam, di kalangan Yahudi, Kristen, Hindu, dan agama-agama lain juga muncul banyak sekali tindak kekerasan atas nama agama.
Di Indonesia, karena mayoritas penduduk beragama Islam, kekerasan atas nama Islam sering kali muncul, baik dalam skala besar seperti bom Bali, maupun skala kecil seperti kasus perempuan yang masuk pintu gerbang Istana Merdeka.
Kekerasan atas nama agama bukan monopoli Islam.
Karen Armstrong melakukan studi ekstensif mengenai kekerasan dan agama dalam bukunya ‘’The Field of Blood’’ (2010).
Buku ini merupakan tanggapan terhadap pandangan umum bahwa agama merupakan sumber kekerasan, dan bertanggung jawab terhadap berbagai teror atas nama kelompok agama yang kian sering terjadi akhir-akhir ini di pelbagai tempat.
Armstrong memperlihatkan bahwa alasan sesungguhnya bagi perang dan kekerasan sepanjang sejarah manusia sangat sedikit terkait dengan agama.
Kekerasan terjadi sebagai reaksi terhadap kekuasaan negara, kapitalisme, dan modernisme berbungkus bahasa agama.
Kekerasan itu sebenarnya merupakan reaksi terhadap rasa terpinggirkan dan terkalahkan oleh gelombang kapitalisme dan modernisme.
Rasa kalah itu kemudian dibungkus dengan idiom-idiom agama.
Graham Fueller dalam buku ‘’The World Without Islam’’ juga menemukan bahwa tuduhan bahwa Islam identik dengan kekerasan yang terjadi dalam bentuk terorisme--di Timur Tengah dan beberapa wiayah dunia--adalah tuduhan yang tidak berdasar dan sekaligus tuduhan yang tidak mempunyai landasan sejarah.
Tanpa Islam pun kekerasan-kekerasan besar di dunia tetap terjadi. Begitu kesimpulan Fueller.
Karen Armstron melusuri beberapa fenomena aktual di Inggris.
Dia mengilustrasikan dua anak muda Inggris yang bergabung dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dengan berbekal pengetahuan Islam yang pas-pasan.
Kedua anak muda itu membekali diri dengan memesan dua buku dari Amazon, yaitu ‘’Islam for Dummies’’ dan ‘’The Koran for Dummies’’.
Berbekal dua buku petunjuk praktis itu dua anak muda itu berangkat jihad.
Kedua anak muda itu tidak tahu banyak tentang Islam, tetapi mereka ingin melakukan jihad karena berbagai alasan yang rumit.
Alasan itu bisa jadi karena mereka tidak bahagia sebab merasa tidak diterima di lingkungan sosial Inggris, tidak punya pekerjaan, putus harapan untuk hidup yang lebih baik, miskin, serta alasan politik dan sosial yang tidak terkait langsung dengan agama.
Menurut Armstrong, hanya 20 persen di antara orang semacam kedua anak muda itu yang mempunyai pengetahuan Islam yang mencukupi.
Delapan puluh persen adalah mereka yang terlahir sebagai Islam, tetapi tidak mempelajari Islam, yang baru beralih agama, dan yang tiba-tiba belajar Islam hanya dari buku-buku sederhana itu.
Kata Armstrong, sebelum menyimpulkan bahwa agama sebagai sumber kekerasan, sebaiknya mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengapa seseorang atau sekelompok orang melakukan kekerasan dan mengklaim tindakan mereka atas nama agama.
Selama ini media dengan cepat menyebut tindak kekerasan seminim apa pun sebagai terorisme.
Armstrong mengingatkan bahwa mendefinisikan terorisme bukanlah hal yang sederhana.
Definisi terorisme sampai saat ini masih problematis.
Dalam pandangan Armstrong, terorisme sangat sulit untuk didefinisikan.
Ada begitu banyak formulasi yang bersaing dan bertentangan sehingga istilah ini sekarang diselimuti kebingungan terminologis.
Armstrong melihat istilah ini cenderung emotif dan merupakan salah satu istilah yang sering disalahgunakan dalam bahasa Inggris, dan merupakan celaan, paling mencela, yang mencirikan tindakan kekerasan.
Motif terorisme pun berbeda-beda. Akan tetapi, terdapat satu hal yang umum bahwa terorisme pada dasarnya dan secara inheren bersifat politis.
Terorisme selalu soal kekuasaan dalam hal memperoleh atau mempertahankannya.
Armstrong menggali jejak historis hubungan antara kekerasan dan agama sejak tiga ribu tahun sebelum kelahiran Isa Almasih sampai saat ini.
Dia menyimpukan bahwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, pemicu utamanya, sebenarnya, selalu saja berhubungan dengan nasionalisme sekuler.
Sebut saja peperangan yang terjadi di Palestina yang tidak kunjung selesai sampai kini.
Berbeda dengan persepsi umum. Armstrong melihat bahwa kekerasan yang dialami rakyat Palestina--perang Israel dengan tetangga-tetangganya, dan tindakan balasan palestina--tidak dimotivasi oleh agama, tetapi oleh nasionalisme sekuler.
PLO (Palestina Liberation Organization) yang didirikan Yasser Arafat bukanlah organisasi keagamaan melainkan organisasi nasionalis sekuler yang berjuang untuk memerdekakan diri dari Israel.
Hal yang sama dilakukan oleh Hamas yang lebih berdasarkan pada keyakinan aqidah Islam.
Demikian pula yang terjadi antara Pakistan dengan India, yang selalu dikemas dengan peperangan antara penganut Islam, Pakistan, dan Hindu-Budha, India. Padahal, pemicunya lagi-lagi persoalan politik.
Hampir semua agama di dunia mempunyai masa kelamnya masing-masing terkait dengan kekerasan berdasarkan motivasinya.
Seperti dikutip oleh Sigmun Freud (1856-1939), manusia termotivasi oleh keinginan untuk mati secara agama sama kuatnya dengan keinginan untuk berketurunan, sehingga, hal ini bisa dijadikan alat untuk melancarkan berbagai kepentingan dengan cara kekerasan.
Graham Fueller berpendapat kurang lebih sama.
Tanpa Islam pun kondisi dunia sebenarnya akan sama saja.
Alasannya sederhana, agama bukanlah faktor yang menyebabkan berbagai kekerasan itu.
Pemicu utamanya adalah kondisi geopolitik dan sosial, hegemoni yang mengesampingkan hak-hak komunal, serta kepentingan-kepentingan lain yang sepenuhnya sekuler.
Agama, dalam konteks ini sekadar justifikasi, atau alat agitasi.
Fueller memberi contoh peristiwa 9/11 sebagai titik mula sejarah.
Relasi Timur dan Barat, gejolak di Timur Tengah, dan peristiwa-peristiwa perlawanan harus dilihat secara runut jauh ke belakang bahkan sebelum Islam lahir.
Dia memaparkan bagaimana skisma di dunia kekristenan muncul, bagaimana rekam jejak penganut tiga agama samawi saling berinteraksi selama puluhan abad, dan bagaimana relasi dunia Islam dahulu dengan peradaban besar non-barat seperti Rusia, China, dan India.
Fueller menunjukkan bahwa masalahnya tidak terletak pada agama.
Empat kali perang salib yang menjadi peristiwa ikonik dan menjadi justifikasi adanya konflik agama, motifnya tidak melulu soal agama.
Yang terjadi terhadap kaum muslimin, sebenarnya juga terjadi terhadap kaum ortodoks dan bangsa-bangsa pagan pra Kristen.
Armstrong dan Fueller sering disebut—dengan agak pejoratif—sebagai pembela Islam.
Akan tetapi, studi komprehensif yang dilakukan oleh dua ilmuwan itu membuktikan bahwa kekerasan yang terjadi atas nama agama terjadi di semua agama dan bukan monopoli Islam.
Para pemimpin agama di forum R20 harus sama-sama mengakui secara jujur bahwa agama mereka sama-sama mempunyai sejarah terhadap kekerasan.
Jika diperlukan adanya moderasi beragama, maka bukan hanya Islam yang harus melakukannya, tetapi semua agama harus melakukan moderasi. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror