jpnn.com, JAKARTA - Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipid Siber) Bareskrim mengungkap bahwa The Family of Muslim Cyber Army (TFMCA) merupakan kelompok elite dengan sembilan anggota yang mengorganisir sejumlah grup.
Dittipid Siber Bareskrim sedang mendalami target utama mereka, salah satunya menjauhkan masyarakat dari pemimpinnya.
BACA JUGA: Lagi, Satu Anggota Muslim Cyber Army Diciduk di Tasikmalaya
Siapa sosok di balik TFMCA juga sedang dikejar. Namun, Direktur Dittipid Siber Brigjen Fadil Imran memberikan peringatan pada salah seorang punggawa TFMCA berinisial TM.
”Saya minta untuk salah seorang admin berinisial TM untuk bisa menyerahkan diri,” tegasnya ditemui di kantor Dittipid Siber Bareskrim, Rabu (28/2).
BACA JUGA: Ini Respons Kiai Said soal Muslim Cyber Army
TFMCA ini grup yang begitu elit dengan jumlah member sembilan orang, admin grup ini adalah M. Luth.
Sembilan orang ini merupakan orang-orang yang memiliki pengaruh di grup-grup dengan skala lebih umum dengan jumlah yang lebih besar.
BACA JUGA: Tak Saling Kenal, Ini yang Mempersatukan Anggota MCA
”TFMCA ini yang menjadi dapur dalam memviralkan sebuah hoaks dan ujaran kebencian. Perencanaan dan pengaturan di grup rahasia ini,” terangnya.
Di bawah TFMCA terdapat tiga grup lain yang hampir sejajar posisinya. Yakni, Sniper Team, CM Defeat Hoax dan United CMA.
Sniper team memiliki anggota sebanyak 177 orang dengan admin berinisial Ramdani Saputra.
CM Defeat Hoax memiliki jumlah member 145 orang. ”Admin CMDH ini jumlahnya lima orang dan dalam penyelidikan,” tuturnya.
Terakhir, grup United MCA merupakan kelompok paling banyak jumlah membernya, yakni 102.064 orang.
Admin dan moderator grup tersebut mencapai 20 orang. ”Kami akan lihat semua kemungkinan keterlibatan para admin,” paparnya.
Untuk modus operasi dari TFMCA tersebut diketahui melakukan berbagai hal, diantaranya perang akun dengan memblokir akun yang dianggap lawan, menyebar virus yang merusak perangkat komunikasi, membentuk beberapa grup dengan tugas khusus dan berkomunikasi dengan perangkat khusus aplikasi Zelo. ”Namun, apapaun yang dilakukan, kami tetap bisa menangkap mereka,” tegasnya.
Mereka juga melakukan rekrutmen secara ketat, TFMCA ini mengajak secara provokatif dan bahkan setiap orang untuk masuk harus dilakukan baiat. ”Semua anggota satu komando dari tim inti ini,” terangnya.
Sejumlah isu dilemparkan TFMCA, seperti penculikan ulama, larangan adzan, pengrusakan tempat ibadah dan sebagainya.
Dari semua isu itu terlihat bahwa TFMCA berkeinginan menjauhkan pemerintah dari rakyatnya.
Dikonfirmasi terkait itu, Fadil menuturkan bahwa dari isu yang dimunculkan pasti ada target. ”Dari situ terbaca dengan jelas,” paparnya.
Dia menjelaskan, saat ini petugas sedang berupaya untuk mendalami siapa sosok yang memesan ujaran kebencian dan hoax tersebut. ”Penyuruh dan pemberi modal tentu akan dikejar,” ungkapnya.
Bila sebelumnya, hanya disebutkan lima yang ditangkap. Kali ini Dittipid Siber telah menangkap satu orang lagi bernama Tara Arsih Wijayani.
Tara merupakan dosen dari sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di Jogjakarta. ”Keterlibatannya menjadi tim inti yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax. Serta, menyebar virus,” paparnya.
Soal kemungkinan TFMCA ini berkembang dari kampus ke kampus, dia mengaku belum bisa berkomentar. Namun, basis utama rekrutmennya memang media sosial. ”Belum sampai ke sana,” ungkapnya.
Sebelumnya, penangkapan secara berantai dilakukan selama dua hari sejak Senin lalu (26/2) hingga Selasa (27/2).
Pelaku-pelaku itu tersebar di lima kota, yakni M. Luth di Jakarta, R.S. Dharma di Pangkal Pinang, R. Saputra di Bali, Yuspiadin di Sumedang dan R. Chealsea di Palu.
Salah seorang tersangka, Ramdani Saputra sempat mengakui kesalahannya dalam menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Menurutnya, setelah berdiskusi dengan salah satu polisi berinisial S, dirinya mulai sadar.
”Saya diskusi bersama lima teman saya dengan polisi. Kami akhirnya sadar kalau salah,” ungkapnya singkat.
Sementara itu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) M. Nasir menuturkan bahwa sudah ada pendataan terhadap dosen-dosen yang berpotensi menyebarkan paham radikal.
Tanggung jawab itu diberikan kepada rektor masing-masing perguruan tinggi. Agar para dosen yang berfikiran radikal itu tidak menyebarkannya pada mahasiswa.
”Kita berikan tanggung jawabnya rektor untuk memilah-milahkan ini. dan mereka harus kami berikan pemahaman dan penegrtian tidak boleh berjalan sendiri,” ujar Nasir usai Silaturahmi Kebangsaan Mantan Napi Terorisme dengan Korban Terorisme di Hotel Borobudur, kemarin (28/2).
Nasir mengungkapkan bahwa dari pendataan itu kini sedang dipantau kondisi para dosen-dosen tersebut.
Misalnya dosen tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap mahasiswa yang tidak sepaham dengan dirinya. Berkaitan dengan itu, mahasiswa akan memberikan feedback atau laporan kepada pimpinan kampus.
”Ada beberapa laporan, kemarin ada pelaporan seseorang, disuruh dipanggil,” ungkap dia. Pelaporan itu masih berkaitan dengan seorang dosen yang pernah masuk HTI. Tapi, setelah HTI dibubarkan orang tersebut pun dianggap sudah tidak ada lagi.
Berkaitan dengan penyebaran kebencian yang dilakukan oleh dosen, Nasir mengungkapkan bahwa sudah ada undang-undang ITE yang tegas mengaturnya.
Menurut dia yang perlu terus dilakukan adalah literasi media sosial agar dosen termasuk mahasiswa tidak mudah menyebarkan berita bohong atau provokatif.
”Long life learning. Jangan sampai ujaran kebencian, mengembangkan ujaran kebencian. Jangan sampai mendistribusikan ujaran kebencian,” kata Nasir. (idr/jun)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bu Dosen UII Ikut MCA, Ini Kata Pihak Kampus dan Tetangga
Redaktur & Reporter : Soetomo