jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah perusahaan terdeteksi masih terus mengirimkan bahan bakar pesawat atau avtur ke Myanmar di tengah kejahatan perang yang terus dilakukan oleh militer, kata Amnesty International dan Global Witness, Rabu (1/3).
Kedua lembaga tersebut mengidentifikasi bahwa sejumlah perusahaan telah terlibat dalam rantai pasok itu, kata Amnesty International dalam pernyataan tertulis di situs webnya.
BACA JUGA: Gembong Narkoba Myanmar Ditangkap, Kedekatan dengan Bos Junta Terungkap
“Kami telah melacak pengiriman baru bahan bakar penerbangan yang kemungkinan berakhir di tangan militer Myanmar, yang secara terus-menerus melakukan serangan udara yang melanggar hukum,” kata Monste Ferre, Peneliti dan Penasihat Bisnis dan HAM Amnesty International.
Serangan-serangan tersebut, lanjut Ferrer, telah mengakibatkan terbunuhnya warga sipil, termasuk anak-anak.
BACA JUGA: Menteri dan Taipan Myanmar Terkena Sanksi Uni Eropa
“Sejak kudeta militer pada 2021, junta militer secara brutal menekan para pengkritiknya dan menyerang warga sipil dari darat dan udara. Pasokan bahan bakar pesawat yang sampai ke militer memungkinkan kejahatan perang ini terjadi. Pengiriman ini harus dihentikan sekarang,” kata dia.
Dalam laporannya, Amnesty International bekerja sama dengan Global Witness dan Burma Campaign Inggris menyebut ada beberapa perusahaan Asia dan Eropa yang kemungkinan terlibat dalam transaksi bahan bakar avtur dengan militer Myanmar.
BACA JUGA: Indonesia Pimpin ASEAN, Fadli Zon Punya Saran soal Upaya Akhiri Kekerasan di Myanmar
Kapal tanker minyak Prime V, yang berlayar dari Sikka di India pada 28 November 2022, diketahui menurunkan bahan bakar pesawat kelas Jet A-1 di pelabuhan Thilawa, Myanmar.
Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan itu adalah Reliance Industries Ltd dari India.
Sementara itu, Sea Trade Marine dari Yunani menjadi penerima manfaat Prime V, sedangkan perusahaan P&I Club dari Jepang terlibat dalam menyediakan asuransi perlindungan dan ganti rugi.
Amnesty International mengatakan telah menghubungi perusahaan-perusahaan tersebut.
Namun, hanya Japan P&I Club yang merespons dan mengatakan bahwa mereka mematuhi sanksi yang berlaku pada saat itu. Mereka juga mengatakan pertanggungan asuransinya dapat diakhiri jika sebuah kapal terlibat dalam aktivitas ilegal.
Tidak ada kesan bahwa Prime V melanggar hukum yang berlaku dalam pengiriman itu.
Kapal tanker lain, Big Sea 104, juga terdeteksi melakukan pengiriman bahan bakar ke Myanmar. Kapal tersebut berangkat dari Kilang Minyak Bangchak di Pelabuhan Bangkok, Thailand pada sekitar 8 Oktober 2022.
Adapun kilang tersebut dimiliki oleh perusahaan publik Thailand, Bangchak Corporation Plc.
Perusahaan Thailand lainnya, Prima Marine Plc., adalah penerima manfaat dari Big Sea 104, sedangkan P&I Club yang berbasis di Luxemburg menyediakan asuransinya.
Amnesty International mendesak negara-negara untuk bertindak, menangguhkan ekspor dan pengiriman bahan bakar penerbangan ke Myanmar.
Penyelidik senior di Global Witness Hanna Hindstrom, yang turut membantu penelitian, mengatakan bahwa pihaknya juga mendesak perusahaan-perusahaan untuk menyetop memasok bahan bakar yang dapat memfasilitasi militer Myanmar untuk terus melakukan kekejaman.
“Kami meminta lebih banyak negara untuk memberlakukan atau memperkuat kontrol untuk mencegah pasokan ini,” ujar Hindstrom.
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif