jpnn.com - JAKARTA - Tekanan terhadap rupiah belum juga mereda. Sepanjang pekan ini, rupiah sudah melemah hingga 197 poin. Bahkan, di pasar spot, rupiah sempat menembus level 12.000 per dolar AS (USD).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah sepanjang pekan ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama antisipasi kebijakan Bank Sentral AS (The Fed).
BACA JUGA: REI Lakukan Kajian Konsep Hunian Berimbang
"Karena itu, kita lihat yang melemah tidak hanya rupiah, tapi juga (mata uang) regional," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR kemarin (18/6).
Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI menunjukkan, rupiah kemarin (18/6) ditutup di level 11.978 per USD, melemah dibanding penutupan Selasa (17/6) yang di posisi 11.863 per USD.
BACA JUGA: Kepala BKPM Sebut Pilpres Belum Pengaruhi Iklim Investasi
Padahal, akhir pekan lalu (13/6), rupiah masih ada di level 11.781 per USD. Posisi 11.978 per USD itu merupakan yang terendah sejak 13 Februari 2014 lalu. Ketika itu, rupiah ada di level 12.073 per USD.
Sementara itu, di pasar spot, data Bloomberg menunjukkan jika nilai tukar rupiah kemarin sempat diperdagangkan di level 12.027 per USD sebelum akhirnya ditutup di 11.996 per USD, melemah 0,87 persen dibanding penutupan Selasa (17/6) yang di posisi 11.892 per USD. Pelemahan ini merupakan yang terbesar diantara mata uang utama Asia Pasifik.
BACA JUGA: Jelang Puasa, Tingkatkan Kewaspadaan pada Makanan Kadaluarsa
Hampir semua mata uang di Asia Pasifik kemarin memang kompak melemah. Dari 13 mata uang utama, hanya Dolar Singapura (SGD) yang tercatat menguat tipis terhadap USD, adapun 12 lainnya melemah dengan persentase bervariasi.
Menurut Tirta, membaiknya data perekonomian AS membuat pasar memproyeksi segera berlanjutnya pemangkasan stimulus quantitative easing. Imbasnya, aliran dana ke negara-negara emerging markets diperkirakan akan menyusut. "Apalagi, ada indikasi suku bunga di AS akan naik," katanya.
Tirta menegaskan, posisi rupiah yang mendekati 12.000 per USD saat ini masih dianggap wajar oleh BI karena lebih banyak dipengaruhi sentimen negatif eksternal. Apalagi, sebenarnya aliran modal ke Indonesia masih cukup tinggi.
Data BI menunjukkan, sepanjang Januari - Juni 2014, nilainya mencapai USD 12 miliar, sehingga ketersediaan valas di pasar masih cukup baik. "Jadi, BI belum perlu intervensi (ke pasar)," ucapnya.
Tirta menyebut, yang paling penting bagi BI adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Karena itu, meskipun melemah, tapi jika pelemahannya tidak drastis, maka masih bisa diterima oleh pasar ataupun pelaku usaha. "Kalau volatilitasnya tajam, itu akan menyulitkan pelaku pasar," ujarnya.
Sebelumnya, ekonom Senior yang juga Managing Director Standard Chartered Indonesia Fauzi Ichsan mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini terjadi karena beberapa faktor.
Selain faktor eksternal yang mempengaruhi mata uang regional, juga ada faktor lain yang diperkirakan berpengaruh. "Misalnya, tekanan akibat munculnya sentimen anti (investasi) asing," katanya.
Menurut Fauzi, sentimen anti investasi asing itu dipicu oleh debat calon presiden antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo pada Minggu (15/6).
Dia menyebut, ke dua calon presiden itu secara jelas menyatakan prioritas kebijakan ekonominya adalah mendorong tumbuhnya pelaku usaha dalam negeri. "Bagi investor (asing), itu tentu kurang menguntungkan," katanya.
Sebagaimana diketahui, dalam debat calon presiden, Prabowo Subiantor berkali-kali menyebut kedaulatan ekonomi yang tidak tunduk pada kepentingan pihak luar.
Sementara, Joko Widodo secara eksplisit menyebut strategi untuk mempersulit masuknya investor asing di sektor-sektor tertentu atau yang dikenal dengan istilah non tariff barrier. Meski strategi itu sudah jamak dilakukan negara-negara lain, namun tetap saja direspons negatif oleh investor. (owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hong Kong-Denpasar Rute Terakhir Mandala Airlines
Redaktur : Tim Redaksi