JAKARTA- Meski memicu polemik, pemerintah tetap meneruskan kewajiban membuat jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan mahasiswa. Mendikbud Mohammad Nuh menegaskan, kebijakan tersebut akan diterapkan mulai bulan Agustus mendatang.
"Dalam waktu satu semester sudah cukup untuk sosialisasi," jelas Nuh ditemui di Taman Ismail Marzuki, kemarin (11/2).
Nuh memaparkan, persyaratan jurnal ilmiah tersebut sangat penting untuk meningkatkan produktivitas mahasiswa Indonesia. Menurut dia, negara ini memiliki potensi yang luar biasa di bidang keilmuan. Namun, pada kenyataannya produk ilmiah mahasiswa Indonesia masih rendah.
"Di Indonesia ini ada 53 juta mahasiswa kita. Ini potensi yang luar biasa harus kita kelola. Karena faktanya produk ilmiah kita masih harus digenjot,"jelasnya.
Terkait sejumlah pihak yang menentang kebijakan tersebut, Mantan Rektor ITS itu tidak ambil pusing. "Banyak yang bilang, biarkan saja mereka (mahasiswa) nanti nulis sendiri. Tapi, ini sudah beberapa tahun, ndak bikin, mana hasilnya," tegasnya.
Nuh menuturkan, keberadaan jurnal ilmiah tersebut tidak akan menyulitkan pihak mahasiswa dan perguruan tinggi. Meski tidak ada subsidi khusus bagi jurnal ilmiah tersebut, kedua pihak tersebut tetap bisa mengunggah jurnal tersebut secara online. "Kalau katanya jurnal yang berupa hardcopy itu mahal, kan ada jurnal online. Bisa langsung di-upload gratis," jelasnya.
Soal biaya penelitian yang dikhawatirkan bakal membebani mahasiswa, Mantan Menkominfo itu menekankan jurnal ilmiah tersebut bisa berupa skripsi yang sudah menjadi syarat mutlak kelulusan sarjana S-1. "Minimal syarat kelulusan S-1 kan skripsi. Karya ilmiah itu lalu dirangkum dalam bentuk jurnal atau paper lalu dipublikasikan,"kata dia.
Nuh melanjutkan, adanya publikasi jurnal ilmiah tersebut akan menekan angka plagiarisme di kalangan mahasiswa. Setidaknya para mahasiswa yang akan membuat skripsi bisa terlebih dahulu mempelajari jurnal ilmiah yang telah dipublikasikan.
"Jadi, saat dicek ternyata membahas hal yang sama, dia bisa mencari topik lain. Bisa juga mengembangkan dari yang sudah ada,"lanjut dia.
Ketika ditanya apakah kebijakan tersebut sengaja dibuat untuk menekan kebebasan berekspresi para mahasiswa, Nuh langsung membantah. Menurut dia, tidak ada hubungan antara kewajiban membuat jurnal ilmiah dengan kebebasan berekspresi mahasiswa yang kerap dilakukan dalam bentuk demo. "Tidak ada kaitannya itu.
Mahasiswa tetap bisa berekspresi kok. Yang jelas kebijakan ini dibuat bukan untuk menghambat jumlah lulusan. Tapi justru untuk meningkatkan kualitas lulusan. Awalnya mungkin belum terbiasa, tapi lama kelamaan juga terbiasa menulis,"ujarnya.
Seperti diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Dirjen Pendidikan Tinggi, mengeluarkan kebijakan baru terkait syarat kelulusan bagi mahasiswa. Mahasiswa (S-1, S-2, dan S-3) diwajibkan membuat jurnal ilmiah serta mempublikasikan dalam jurnal sebagai syarat kelulusan.
Kebijakan tersebut tertuang dalam surat edaran bernomor 152/E/T/2012, yang diedarkan kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS di seluruh Indonesia. Surat tersebut ditandatangani Dirjen Dikti Djoko Santoso dan akan mulai berlaku pada Agustus 2012. (ken/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gaji Guru Tidak Tetap Tak Layak
Redaktur : Tim Redaksi